Bersama Joko Widodo, Partai Golkar Berhasil atau Gagal?

KENDATI perolehan suara Partai Golkar dalam Pemilihan Umum 2019 ada di urutan ketiga setelah PDIP dan Gerindra, dalam distribusi kursi DPR, Golkar berada di urutan kedua. PDIP dengan perolehan suara 27.053.961 (19,33%) memperoleh 128 kursi DPR. Gerindra dengan perolehan suara 17.594.839 (12.57%) hanya mendapat 78 kursi. Sedangkan Partai Golkar dengan perolehan suara 17.229.789 (12,31%) bisa mendapat 85 kursi. Ini dimungkinkan terjadi dalam sistem pemilihan umum Indonesia yang semi distrik dan semi proporsional.

Dengan perolehan kursi DPR Pemilu 2019 ini, PDIP dan Golkar untuk kesekian kalinya menjadi partai yang menempatkan jumlah anggota terbesar di lembaga tersebut. Pasca Soeharto, memang kedua partai ini yang bergantian memiliki fraksi terbesar di DPR. Dengan demikian, terpetakan bahwa kedua Partai Politik ini telah menjadi semacam jangkar politik nasional, yang mungkin masih akan berlanjut beberapa waktu ke depan. Meski selalu terdapat pula kemungkinan kegagalan, bila terjadi hambatan bagi tokoh-tokoh dengan reputasi baik dan memiliki integritas teruji untuk berperan memperkuat partai.

Kelebihan Golkar di sini, adalah bahwa partai ini sudah terlembaga, relatif tak begitu tergantung lagi kepada ketokohan pimpinan partai, walaupun sesekali ada juga penyimpangan berupa gejala oligarki di tubuhnya atau tak sedikitnya kelompok oportunis ikut menumpang. PDIP sebaliknya masih harus melalui proses uji, manakala tiba saatnya terjadi regenerasi dalam partai ini. Namun ke depan, plus minus sudah bisa tergambar bahwa dua partai inilah yang silih berganti menjadi penyelenggara pemerintahan nasional.

Kehilangan posisi inisiator

Satu dan lain sebab, karena itulah yang terpenting sekarang adalah membentuk visi baru Golkar untuk memimpin bangsa melangkah lebih jauh memasuki abad 21. Tetapi tentu menggelitik juga, kenapa dalam beberapa pemilihan presiden yang telah terselenggara sejak 2004, Partai Golkar untuk sebagian menjadi semacam follower dalam pengajuan calon Presiden. Memang Golkar kali ini ikut mendukung seorang calon Presiden, yang sejauh ini dianggap menjadi pemenang –meski kepastiannya masih harus menunggu sidang Mahkamah Konstitusi 14-28 Juni 2019. Golkar mengklaim ikut punya andil. Tapi dalam persepsi publik bagaimanapun Joko Widodo itu adalah capres ‘milik’ PDIP.

AIRLANGGA HARTARTO DAN JOKO WIDODO BERSAMA DOMBA_DOMBA. Dalam Pemilihan Presiden 2019, Airlangga Hartarto dan Golkar lebih tertuju untuk menempatkan diri sebagai calon Wakil Presiden. Ternyata Golkar belum cukup ‘kuat’ untuk suatu ‘bargaining’ politik, menghadapi subjektivitas kuat di lingkaran pelamar pendamping Joko Widodo. Kendati menjadi pemegang 14,75% suara hasil Pemilu 2014, Golkar tenggelam dalam kerumunan partai-partai lain –PKB, Nasdem, PPP, Hanura dan beberapa partai kecil lain– yang berduyun-duyun mendukung Joko Widodo. (Foto-foto original download) #MediaKarya

Pada dua pemilihan presiden berturut-turut, tahun 2014 dan 2019, Partai Golkar memang kehilangan posisi inisiator. Dengan inisiatif sendiri, mantan Ketua Umum DPP Golkar (2004-2009) Muhammad Jusuf Kalla maju menjadi calon Wakil Presiden bagi Joko Widodo dalam pemilihan Presiden 2014. Ketua Umum Golkar kala itu, Aburizal Bakrie, justru memilih bergabung dengan Gerindra yang mengajukan Calon Presiden Prabowo Subianto. Aburizal dipersalahkan, terutama setelah Prabowo-Hatta Rajasa dikalahkan. Dianggap salah pilih. Semula Aburizal mempersiapkan diri maju ke gelanggang, namun mengalami aborsi.

Sementara itu, untuk Pemilihan Presiden tahun 2019 ini, upaya Airlangga Hartarto dan Golkar lebih tertuju untuk menempatkan diri sebagai calon Wakil Presiden. Ternyata Golkar belum cukup ‘kuat’ untuk suatu ‘bargaining’ politik, menghadapi subjektivitas kuat di lingkaran pelamar pendamping Joko Widodo. Kendati menjadi pemegang 14,75% suara hasil Pemilu 2014, Golkar tenggelam dalam kerumunan partai-partai lain –PKB, Nasdem, PPP, Hanura dan beberapa partai kecil lain– yang berduyun-duyun mendukung Joko Widodo. Dan, kurang percaya diri dalam konteks pragmatisme politik, untuk mencipta alternatif. Sikap gamang dan kekuatiran berada di luar kekuasaan agaknya kembali bekerja, ditambah semacam trauma di sekujur tubuh Golkar pasca diaduk-aduk dari luar oleh intervensi berbalut kain sutra pada 2016-2018.

Dalam hal mencipta alternatif, mungkin Gerindra lebih berani. Tetapi partai yang untuk sebagian adalah derivasi dari Golkar ini, kelihatannya kurang konsepsional dan lebih mengandalkan instink. Gerindra kembali terjun ke Pemilu 2019 dengan memajukan calon presiden, tetapi ternyata tak membawa nilai lebih bagi perolehan kursinya di DPR, dan harus berakhir pada posisi tiga kendati berada di urutan kedua dalam perolehan suara. Instink tajam perlu, kekuatan otot perlu, tapi aspek konseptual pun perlu. Namun setidaknya, masih perlu menunggu hasil sidang Mahkamah Konstitusi 28 Juni untuk menilai Gerindra dan koalisinya.

Berhasil atau gagal?

Apakah Partai Golkar gagal dalam Pemilihan Umum 2019 ini? Para elite pengendali partai berusaha memberi gambaran keberhasilan di tengah kemerosotan perolehan suara maupun perolehan kursi di parlemen. Mereka mencoba mengungkapkan adanya keberhasilan kualitatif di balik penurunan kuantitatif. Ketua Umum Airlangga Hartarto misalnya, mengatakan “untuk pertama kali pasca-reformasi, Partai Golkar memenangkan capres yang diusung.” Tokoh muda dari AMPG, Abdul Azis, berbeda. Ia menyebut perlunya suatu percepatan Munas untuk mendengar pertanggungjawaban Ketua Umum Golkar atas kemerosotan perolehan suara partai. “Agar Golkar segera dapat melakukan konsolidasi demi mengembalikan marwah partai yang sekarang terpuruk di bawah Partai Gerindra.” Seakan menjawab klaim sejumlah elite partai bahwa ada keberhasilan, Azis lebih jauh mengatakan “Kalau memang pencapaian ini dianggap berhasil kenapa takut untuk melaksanakan Munas secepatnya. Atau apabila tidak berani melaksanakan Munas saya sarankan lebih baik Ketum Airlangga Hartarto mundur saja.”

Golkar yang semula dikenal sebagai partai konsepsional, kini lebih banyak hanyut terbawa arus miskonsepsi. Persoalan utama partai-partai politik saat ini memang adalah kegagalan konsepsional, yang dengan sendirinya juga berarti dikebelakangkannya syarat integritas dan unsur kecerdasan sumberdaya manusia dan atau rekrutmen. Antara lain, akibat terimbas pragmatisme berlebih-lebihan, sejalan menguatnya budaya bahwa uang adalah segalanya. Suatu hal yang banyak ‘diajarkan’ melalui pergulatan dalam kehidupan ekonomi yang kapitalistis. Semacam kebudayaan materi, dengan orientasi utama pemenuhan kebutuhan materi, yang itupun berlangsung pincang dan hanya dinikmati kelompok kecil. Minus keadilan dan pemerataan bagi mayoritas rakyat. Pada saat yang sama perhatian terhadap kebutuhan rohani begitu kecil. Dengan keterbatasan kualitas sumber daya manusia –karena kecenderungan mengejar kuantitas demi memperbesar otot partai– partai-partai cenderung gagal menjawab tantangan situasi.

Tikus dan tantangan masa depan

Dalam rangka survival tak sedikit orang menjadi semacam tikus, perorangan maupun bersama dalam persekongkolan ‘mencari makan’. Dan, secara empiris, ternyata partai lah yang menjadi salah satu pilihan terkemuka sebagai wadah persekongkolan. Vice versa secara politis maupun ekonomis. Ahli filsafat Amerika yang juga menekuni psikologi Edwin Guthrie berkata: Once a rat has discovered a source of food, it knows where to come when it is hungry. Sekali tikus berhasil menemukan sumber makanan, ia tahu ke mana harus datang saat lapar. Tapi karena manusia pada dasarnya bukan tikus, maka naluri karena dorongan rasa lapar pelan tapi pasti berkembang menjadi kerakusan yang merupakan salah satu sisi buruk manusiawi.

Mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair pernah menyebut Indonesia berada dalam jajaran beberapa negara utama di masa depan. Karena jumlah penduduk yang banyak –keempat terbesar di dunia– Indonesia seakan ditakdirkan menjadi negara yang ikut dihitung. Sampai dua dekade lampau, penguasa negara melakukan akselerasi depolitisasi untuk memudahkan integrasi ke dalam sistem ekonomi internasional. Pada waktu ini, yang diperlukan adalah akselerasi tingkat daya tahan politik, Indonesia harus menjadi negara berstatus industri. Inilah tantangannya, karena bersama diketahui bahwa daya tahan politik Indonesia masih bermasalah seperti disaksikan bersama beberapa tahun terakhir.

Selama hampir dua dekade Golkar nyaris tak ambil peran dalam pencerahan keadaan, untuk tidak menyebutnya malah banyak terbawa arus pragmatisme. Bukannya mengubah, melainkan diubah oleh situasi. Inilah tantangan internal untuk dibenahi Golkar sebelum maju ambil peran sebagai kekuatan nasional dalam menjawab tantangan dunia…. (media-karya.com) #mediakaryaanalisa

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s