SEBAGAI satu kekuatan politik, Golkar selama hampir 55 tahun telah melalui tiga babak sejarah politik kontemporer Indonesia. Lahir 1964 di masa Soekarno, membesar bersama Soeharto selama tiga dekade dan nyaris kembali ke titik nol setelah 1998. Melihat usianya, Golkar yang kini menjelma sebagai sebuah partai, adalah sebuah kendaraan politik tertua yang masih operasional bersama PDIP yang adalah jelmaan PDI dari bibit awal PNI.
Dulu, di masa Soeharto, kendaraan bernama Golkar ini adalah pembawa penumpang terbanyak dari seluruh Indonesia ke rute jurusan Senayan dan menjadi kendaraan pilihan eksekutif utama rute Istana. Namun kini, dua puluh tahun terakhir, kendaraan bermesin ‘tua’ ini tak lagi punya rute ke Merdeka Utara dengan destinasi Istana Kepresidenan. Kata orang bengkel, kendaraan ini perlu overhaul besar-besaran agar kembali kuat melayani rute menuju Merdeka Utara. Selain itu, pengemudi dan keneknya harus lebih berketrampilan. Para penumpangnya pun harus diingatkan agar bisa lebih ‘berbudaya’ dan punya rasa memiliki. Kalau bisa, jangan hanya menganggap kendaraan ini sekedar tumpangan atau bahkan sekedar kendaraan sewa dalam sebuah wisata politik. Bisa ditinggalkan sewaktu-waktu.
Kemandirian yang selalu dipertanyakan
Usia boleh tua, dan sempat bertradisi ‘juara’ sebelum 1998, tapi kemandirian Golkar selalu dipertanyakan. Di dua tahun terakhir masa Soekarno, Golkar dianggap berada di bawah asuhan kelompok perwira Angkatan Darat anti komunis dan menjadi ujung tombak sipil politik tentara. Di masa sesudah Soekarno berada di kawasan pembinaan Soeharto dan para jenderalnya. Pasca Soeharto sejenak diperkirakan mau tak mau sepenuhnya akan mandiri, namun nyatanya berada di bawah kendali kelompok kader generasi kedua atau ketiga yang bersumber dari eksternal. Bukan kader dari Kino-kino yang historis tercatat sebagai pendiri Golkar. Antara lain, dari sebuah ormas yang dikenal sebagai HMI cq Kahmi (Korps Alumni HMI). Satu dan lain hal, itu menyebabkan adanya anggapan bahwa sektarianisme telah masuk ke sungsum Golkar. Tapi sebaliknya, para alumni HMI merasa wajar saja sebagai kader bangsa masuk ke berbagai institusi dan posisi. Kader-kader eks HMI faktual sejak masa DPP pimpinan Akbar Tandjung menjadi tulang punggung dan dominan dalam kepemimpinan Partai Golkar sampai tingkat daerah.

Setelah Akbar Tandjung, tokoh eks HMI lainnya, yang dulu berkiprah di daerah, Muhammad Jusuf Kalla tampil mengambilalih kepemimpinan Golkar melalui Munas Golkar 15-20 Desember 2004 di Bali, setelah sebelumnya berhasil menjadi Wakil Presiden bagi Susilo Bambang Yudhoyono, Oktober tahun yang sama. Kala itu, Akbar sempat kembali mencoba mencalonkan diri, namun pragmatisme yang kuat di tubuh Golkar membuka pintu itu hanya bagi Jusuf Kalla. Lalu Jusuf Kalla menjadi Ketua Umum DPP Golkar periode Desember 2004 hingga Oktober 2009. Salah satu sebab, tentu tak lain karena Jusuf Kalla berhasil menjadi Wakil Presiden. Ini tepat dengan situasi kegamangan umumnya tokoh Golkar yang gentar berada di luar lingkaran kekuasaan. Mendukung Jusuf Kalla berarti membawa Golkar bisa kembali ikut dalam lingkaran kekuasaan.
Pergantian kepemimpinan Golkar dari Akbar Tandjung ke Jusuf Kalla, dengan sendirinya tak memutus kiprah para tokoh ex HMI –terutama yang bergabung dalam Kahmi dan mungkin juga ICMI– di Golkar. Sampai masa kepemimpinan Aburizal, relatif kelompok ex HMI tetap berperanan di Golkar.
Akan tetapi, sebagai tulang punggung, para alumni HMI pun tak bisa dikatakan selalu tangguh atau setidaknya tak selalu ambil peranan membendung ‘intervensi’ dari luar. Buktinya, dalam masa dualisme kepemimpinan, Golkar berhasil diaduk-aduk kalangan kekuasaan melalui tangan Menteri Hukum dan HAM. Situasi dualisme 2014-2016 dengan adanya DPP tandingan di bawah Agung Laksono, menggiring Aburizal mendekati dan menemui Presiden Joko Widodo 11 Januari 2015. Di situ Aburizal menyatakan mendukung pemerintah –meski tak serta merta menyatakan keluar dari Koalisi Merah Putih. Dalam nasib dan pola serupa, partai lainnya yang juga semula ada di KMP, yakni PPP pun beralih merapat mendukung Joko Widodo. Dimulai kubu Romahurmuziy, disusul kubu Djan Faridz Januari 2016.
Pertarungan dan rising star
Pertarungan dalam selimut Golkar antara Aburizal Bakrie versus Agung Laksono, memang tak membuat sarung koyak, namun memunculkan tokoh lain, Setya Novanto, sebagai pemimpin baru Golkar. Di masa kepemimpinan Aburizal, ia sempat diorbit menjadi Ketua DPR 2014-2019, tapi mengundurkan diri 16 Desember 2015. Ini berkaitan isu keterlibatannya dalam peristiwa pengatasnamaan Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla meminta saham PT Freeport Indonesia.
Seperti halnya di DPR, masa jabatan Setya Novanto Sebagai Ketua Umum Golkar juga cukup singkat. Dalam Munaslub Bali 17 Mei 2016, politisi kaya raya Novanto, menang gemilang mengumpulkan 277 suara jauh melampaui 7 kandidar lainnya. Saingan terdekat, Ade Komaruddin hanya memperoleh 173 suara. Lainnya, Azis Syamsuddin 48 suara, Syahrul Yasin Limpo 27, Airlangga Hartarto 14, Mahyudin 3, Priyo Budi Santoso 1 dan Indra Bambang Utoyo 1. Seyogyanya, pemilihan berlanjut ke babak kedua antara Novanto dengan Ade. Tapi Ade memilih mengundurkan diri. Namun kemudian lagi-lagi Setya Novanto harus undur diri dari posisi. Kali ini karena ditersangkakan KPK dalam kasus gratifikasi E-KTP, yang akhirnya membawanya ke LP Sukamiskin dan kemudian ke LP Gunung Sindur.
Airlangga Hartarto yang diangkat Presiden Joko Widodo menjadi Menteri Perindustrian 27 Juli 2016 –sekitar dua bulan setelah Munaslub Golkar– tiba-tiba menjadi the rising star di Golkar. Tokoh yang mendapat 14 suara dalam Munaslub Bali 17 Mei 2016, dianggap bisa menjadi jembatan baru kaum pragmatis Golkar untuk serta dalam kekuasaan, lalu dipilih mengganti Setya Novanto. Ditetapkan melalui keputusan pleno di DPP Golkar 13 Desember 2017, memimpin Golkar hingga Desember 2019. Keputusan Pleno itu kemudian disahkan pada Munaslub 19-20 Desember 2017, secara aklamasi. Di bawah kepemimpinan Airlangga Hartarto, Partai Golkar makin mengokohkan diri dalam Koalisi Indonesia Kerja yang mendukung Joko Widodo-Ma’ruf Amin dalam Pilpres 2019.
Saat ini kuat terdengar upaya mengajukan Airlangga Hartarto melanjutkan memimpin Golkar melalui Munas Desember 2019. Ada ancang-ancang memutuskannya secara aklamasi. Sebagai calon pesaing adalah Bambang Soesatyo (Bamsoet) yang kini menduduki posisi Ketua DPR-RI. Salah satu andalan Bambang Soesatyo adalah dukungan tokoh-tokoh ex HMI yang selama beberapa tahun terakhir ini de facto cukup dominan di sekujur tubuh kepengurusan Golkar, di pusat dan daerah. Tapi mari membandingkan ex HMI dan Kahmi itu sebagai faktor dengan apa yang dikatakan pengamat politik Burhanuddin Muhtadi beberapa hari lalu, bahwa Presiden Joko Widodo adalah faktor yang akan menentukan siapa Ketua Umum Golkar mendatang. Dalam konteks per saat ini, semua akan menoleh ke sosok Airlangga Hartarto yang punya kedekatan dengan sang Presiden. Namun, apapun, dua-duanya berasal-usul dari arah eksternal.
Kemajemukan mengakar vs sektarianisme
Usai Pemilihan Umum lalu, Dewan Pembina Golkar 25 Juni 2019 memberikan arahan dan nasehat yang tertuang dalam dua halaman tertulis. Pada butir akhir, Dewan Pembina menyampaikan pendapat menarik. Dengan tetap menyadari kedudukannya sebagai bagian koalisi pemerintahan, Dewan Pembina mengingatkan posisi politik Golkar hendaknya diselaraskan dengan penggarisan Anggaran Dasar partai yakni mandiri, responsif, majemuk dan mengakar. “Partai Golkar hendaknya menghindari ketergantungan kepada kekuasaan, merespon secara kritis kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan menjaga kemajemukan dalam masyarakat. Dengan demikian Partai Golkar dapat mendudukkan diri sebagai partai yang disegani kawan dan dihormati lawan serta mengakar dan mempunyai konstituen yang loyal di masyarakat.”
Tapi hanya berselang tiga hari, 28 Juni 2019, mantan Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung, menyampaikan pandangan dengan aroma yang praktis berbeda dengan jalan pikiran Dewan Pembina Golkar yang menganjurkan menjaga kemajemukan di masyarakat. Berbicara pada halal bil hal Kahmi di rumah dinas Ketua DPR-RI Bambang Soesatyo, Akbar dikutip “Saya dengar adinda Bambang Soesatyo yang saat ini Ketua DPR ingin maju sebagai Ketua Umum Partai Golkar.” Harus pandai-pandai, ujar Akbar. “Saya dukung karena kita sepakat kader-kader kita harus menduduki berbagai posisi penting.” (Namun belakangan, Akbar membantah menyatakan mendukung Bamsoet di forum itu). Menyebut diri sebagai alumni HMI keempat yang berhasil menghuni Widya Chandra –kompleks menteri dan pejabat tinggi negara– Bambang Soesatyo lalu menanggapi soal positioning kader ex HMI, sebagai hal “menarik untuk menjadi renungan bagi kita semua keluarga besar HMI.”
Dewan Pembina menganjurkan menjaga kemajemukan. Akbar Tandjung seakan mendorong sektarianisme. Ini pasti menarik dan perlu dikaji lanjut. Bila Golkar ingin bangkit lagi, seperti kata Marzuki Darusman, tentu harus bebas dari aneka kontradiksi. Juga untuk yang serupa ini… (media-karya.com) #mediakaryaanalisa