Tag: Bamsoet

Kisah Demokrasi Terpusat di Partai Golongan Karya

KEGIATAN demokratis 5 tahunan Partai Golongan Karya pekan lalu menjadi semacam antiklimaks. Munas ini menjadi ‘luar biasa’, siapa Ketua Umum praktis sudah bisa dipastikan sebelum munas itu sendiri dimulai. Melalui suatu lobi khusus, salah satu kandidat kuat dalam kontestasi, Bambang Soesatyo, ‘sukarela’ undur diri dari pencalonan demi “mencegah perpecahan di tubuh Golkar”. Berbeda pilihan siapa calon pemimpin partai, rupanya telah dicipta sebagai dogma baru sebagai pintu menuju perpecahan. Bermunduran pula calon-calon lain, sehingga praktis tersisa incumbent Airlangga Hartarto yang terus maju dan akhirnya ditetapkan secara aklamasi sebagai Ketua Umum untuk 5 tahun ke depan.

Ini menunjukkan fenomena telah terjadinya semacam demokrasi terpusat di Partai Golkar. Semua unsur dan perangkat partai di semua tingkatan memang dilibatkan ambil bagian dalam dialog tentang kebijakan dan arah partai namun harus mengikuti keputusan-keputusan yang dibuat di tingkat yang lebih tinggi. Pertanyaannya, apakah tingkat yang lebih tinggi itu hanya sebatas internal partai dan tak terterobos dari arah eksternal? Misalnya, dari kalangan kekuasaan negara.

Reaction formation, sepeda

Mundurnya Bambang Soesatyo setelah bertemu Jenderal Purnawirawan Luhut Binsar Pandjaitan –yang disebut sebagai salah satu ‘sesepuh’ Golkar ex jalur A masa lampau– bersama Aburizal Bakrie dan Airlangga Hartarto sebelum Munas dimulai, segera diterjemahkan di medan opini sebagai adanya intervensi Istana. Ada tekanan. Biasanya, dalam gelanggang politik, tekanan bisa efektif bila disertai ancaman semisal pengungkapan kesalahan tertentu. Tapi pihak Istana segera membantah. Tentu saja dibantah, itu bagian  dari mekanisme defensif. Pola bantah membantah untuk menghadapi prasangka seperti ini dikenal sebagai reaction formation. Perilaku yang ditampilkan dalam bereaksi bisa saja bertentangan dengan yang sebenarnya terjadi. Mana yang benar, prasangka atau bantahan, baru akan diketahui belakangan. Continue reading “Kisah Demokrasi Terpusat di Partai Golongan Karya”

Ke(tidak)mandirian Partai Golkar

SEBAGAI satu kekuatan politik, Golkar selama hampir 55 tahun telah melalui tiga babak sejarah politik kontemporer Indonesia. Lahir 1964 di masa Soekarno, membesar bersama Soeharto selama tiga dekade dan nyaris kembali ke titik nol setelah 1998. Melihat usianya, Golkar yang kini menjelma sebagai sebuah partai, adalah sebuah kendaraan politik tertua yang masih operasional bersama PDIP yang adalah jelmaan PDI dari bibit awal PNI.

Dulu, di masa Soeharto, kendaraan bernama Golkar ini adalah pembawa penumpang terbanyak dari seluruh Indonesia ke rute jurusan Senayan dan menjadi kendaraan pilihan eksekutif utama rute Istana. Namun kini, dua puluh tahun terakhir, kendaraan bermesin ‘tua’ ini tak lagi punya rute ke Merdeka Utara dengan destinasi Istana Kepresidenan. Kata orang bengkel, kendaraan ini perlu overhaul besar-besaran agar kembali kuat melayani rute menuju Merdeka Utara. Selain itu, pengemudi dan keneknya harus lebih berketrampilan. Para penumpangnya pun harus diingatkan agar bisa lebih ‘berbudaya’ dan punya rasa memiliki. Kalau bisa, jangan hanya menganggap kendaraan ini sekedar tumpangan atau bahkan sekedar kendaraan sewa dalam sebuah wisata politik. Bisa ditinggalkan sewaktu-waktu. Continue reading “Ke(tidak)mandirian Partai Golkar”