Partai Golkar, Munas Dengan Tradisi ‘Quasi’ Perpecahan

TAMPIL sebagai partai sejak 7 Maret 1999, Partai Golongan Karya kerap dipuji sebagai kekuatan politik yang paling banyak memiliki kader berkualitas di antara partai yang ada. Tentu ini ada kaitannya dengan pengalaman panjang Golkar dalam perjalanan politik dan kekuasaan sejak kelahirannya 20 Oktober 1964. Tetapi di sisi lain, dalam catatan sejarah politiknya pasca Soeharto, Golkar adalah partai yang paling sering berada di ambang perpecahan internal. Setiap menghadapi Musyawarah Nasional untuk menentukan Dewan Pimpinan Pusat yang baru, bisa dipastikan nuansa perpecahan terasa. Katakanlah semacam quasi perpecahan. Seringkali fakta adanya ‘tradisi’ itu coba dijelaskan dan digambarkan dengan bahasa moderat sebagai tanda tingginya dinamika politik dan demokrasi di tubuh Golkar. Menghadapi Munas 3-6 Desember 2019 ini, Partai Golongan Karya seakan kembali mengalami deja vu.

Namun, karena di tubuh Golkar banyak orang pintar –yang oleh para pengamat disebut kader berkualitas– maka terjadi seperti kata sebuah iklan,  “Orang pintar minum Tolak Angin.” Artinya, partai ini selalu bisa memilih jamu ‘tolak angin’ yang tepat untuk menyembuhkan perpecahan. Tapi tak urung, pasca Pemilihan Presiden 2014, Golkar sempat menderita ‘masuk angin’ berkepanjangan lebih dari setahun. ‘Perpecahan’ Partai Golkar –berupa dualisme kepemimpinan– terjadi ketika sejumlah tokoh Golkar menyatakan ‘ketakpuasan’ atas ‘salah pilih’ perpihakan Aburizal Bakrie dalam Pilpres 2014. Aburizal memilih bergabung dan mendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, sementara yang menang kemudian ternyata Joko Widodo-Jusuf Kalla. Muncul DPP hasil Munas Ancol (Agung Laksono) sebagai tandingan terhadap hasil Munas Bali (Aburizal Bakrie).

Pernah mengalami intervensi

Pembelahan Golkar pasca Pilpres 2014 ini menjadi pintu masuk bagi campur tangan kekuasaan. Semacam intervensi berbalut kain sutera. Menteri Hukum dan HAM berhasil memanage situasi untuk menggiring Golkar bergabung sebagai pendukung bagi pemerintahan koalisi berkuasa –di bawah Joko Widodo– demi penciptaan mayoritas kerja di parlemen. Karena, pada mulanya, meski Joko Widodo-Jusuf Kalla memenangi Pemilihan Presiden, partai-partai pendukungnya tak berhasil meraih mayoritas kerja di DPR. Maka terpaksa dilakukan operasi-operasi khusus untuk mempergemuk dukungan di parlemen demi mayoritas kerja itu. Dan ada dua partai yang berhasil tergiring masuk yaitu Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan, dari dan melalui kancah perpecahan internal kedua partai. Sejak itu, hingga kini keduanya masih lengket bagai perangko di barisan kekuasaan.

AKAR RUMPUT GOLKAR. Beberapa tahun terakhir ini Golkar dikritik sebagai partai follower belaka. Berselancar di kawasan pantai milik partai (kekuatan) politik lain demi sejumput porsi kekuasaan dari sang pemenang. Bersamaan dengan itu, para tokoh Golkar terlalu sibuk bermain di gelombang pragmatisme politik. Maka politisi Golkar lebih mahir dalam bermain taktik dan improvisasi sesaat. Tak sempat lagi menelurkan pikiran-pikiran strategis yang bukan semata-mata untuk kepentingan politik partai belaka melainkan demi kepentingan bangsa seluruhnya. (Foto head; Abruzal Bakrie, Bambang Soesatyo dan Airlangga Hartarto. Foto-foto original, download) #MediaKarya

Suasana quasi perpecahan –yang bisa menjelma sebagai perpecahan sungguhan– bukan hanya terjadi dalam kaitan Munas, melainkan juga di seputar event politik penting semisal Pemilihan Presiden dan konvensi Golkar untuk  menentukan Calon Presiden-Wakil Presiden. Baik karena pokok soal yang prinsipil maupun yang sedikit banyak beralas kekecewaan pribadi terhadap Golkar. Atau makin terbatasnya peluang dan ruang gerak berkiprah di Golkar, saat partai ini makin diwarnai klik-klikan bahkan sektarianisme. Untuk yang disebut terakhir, bisa disebut nama-nama Edi Sudradjat, Prabowo Subianto, Surya Paloh dan Wiranto.

Edi Sudradjat yang tak terpilih menjadi Ketua Umum Golkar pasca Soeharto, mendirikan PKP Desember 1998. Ia meninggalkan Golkar karena menganggap Golkar tak mendukung reformasi. Prabowo dan Surya meninggalkan Golkar dan mendirikan partai baru, Gerindra (6 Februari 2008) dan Nasdem (26 Juli 2011), setelah beberapa tahun sebelumnya tak memenangkan konvensi Golkar. Sedang Wiranto meninggalkan Golkar dan mendirikan Partai Hati Nurani Rakyat (13 November 2006), sekitar dua tahun setelah gagal dalam putaran pertama Pilpres 2004. Wiranto menuding Golkar tak sepenuhnya tulus mengerahkan mesin partai untuk memenangkannya. Dalam Pilpres 2004 putaran pertama itu Wiranto (berpasangan Solahuddin Wahid) sebenarnya memperoleh suara lumayan 26.286.788 (22,15 persen), urutan ketiga setelah Megawati Soekarnoputeri-Hasyim Muzadi 31.569.104 (26,61 persen) dan Susilo Bambang Yudhoyono- Jusuf Kalla 39.838.184 (33,57 persen). Menurut analisa saat itu, faktor JK yang dianggap representan suara Golkar Indonesia Timur berperan terhadap tersedotnya suara Golkar.

Masih terkait Pemilihan Presiden 2004, Ketua Umum Akbar Tandjung September 2004 memecat 9 pengurus DPP Golkar –Marzuki Darusman, Fahmi Idris dan kawan-kawan– karena dinilai tidak mendukung kebijakan partai yang mengusung Megawati-Hasyim Muzadi dalam Pilpres 2004 putaran kedua menghadapi Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Marzuki-Fahmi sebaliknya mengecam inkonsistensi Akbar Tandjung yang sebelum putaran pertama menggariskan untuk membendung Mega tetapi tiba-tiba berbalik menyuruh kader partai untuk mendukung pada putaran kedua.

Pemecatan 9 kader ini belakangan bisa diselesaikan. Meski kecewa terhadap Akbar, baik Marzuki Darusman maupun Fahmi Idris meski sempat dipecat tetap menunjukkan integritasnya terkait Golkar, dan tak ada niat untuk mendirikan partai baru. Sementara itu, Prabowo Subianto, Surya Paloh dan Wiranto, sudah betul-betul patah arang terhadap Golkar dan mendirikan partai masing-masing.

Pragmatisme versus pemikiran strategis

Menjelang Munas Golkar di Ritz Carlton Jakarta ini, cukup banyak kritik diarahkan ke internal partai. Dari arah internal maupun dari arah eksternal. Sebagian tentu tak terlepas dari adanya persaingan sengit untuk posisi kepemimpinan partai lima tahun ke depan. Namun, beberapa kritik bagaimanapun perlu diperhatikan, terutama yang bersifat strategis terkait masa depan partai. Salah satunya adalah kemandirian Golkar dan posisi insiatif dan kepeloporan selaku partai politik modern. Beberapa tahun terakhir ini Golkar dikritik sebagai partai follower belaka. Berselancar di kawasan pantai milik partai (kekuatan) politik lain demi sejumput porsi kekuasaan dari sang pemenang. Bersamaan dengan itu, para tokoh Golkar terlalu sibuk bermain di gelombang pragmatisme politik. Maka politisi Golkar lebih mahir dalam bermain taktik dan improvisasi sesaat. Tak sempat lagi menelurkan pikiran-pikiran strategis yang bukan semata-mata untuk kepentingan politik partai belaka melainkan demi kepentingan bangsa seluruhnya.

Ketua Dewan Pembina Golkar, Aburizal Bakrie, dalam Rapimnas (14/11) lalu menyampaikan satu tujuan strategis, Golkar harus bisa mencalonkan presiden atau wakil presiden dari kader sendiri dalam Pemilihan Presiden 2024. “Kita tabuh gendang kita sendiri, kita menari di gendang kita sendiri.” Sebelumnya Dewan Pembina menyurati DPP Golkar agar menggunakan momentum Munas untuk melakukan evaluasi menyeluruh dengan 6 poin pikiran. Salah satunya agar mandiri, responsif, majemuk, mengakar. Golkar “hendaknya menghindari ketergantungan kepada kekuasaan, merespons secara kritis kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan menjaga kemajemukan dalam masyarakat.”

Menjelang Munas, Bambang Soesatyo –yang adalah salah satu calon Ketua Umum, pesaing kuat bagi incumbent Airlangga Hartarto– mengkritisi Airlangga menjalankan politik intimidasi. “Kepemimpinan intimidatif di tubuh partai harus segera dieliminasi,” ujarnya (2/12). “Retak dalam tubuh Partai Golkar selalu bermuara pada perilaku kepemimpinan intimidatif yang ternyata belum bisa dieliminasi oleh Partai Golkar.” Sejumlah anggota DPP pendukung Bambang Soesatyo menuduh, bahwa demokrasi Munas Golkar dirampok tiga menteri kabinet Joko Widodo. “Terungkapnya pertemuan Mensesneg, Menko Maritim, dan Menseskab, dengan para ketua DPD menandakan para menteri ini campur tangan terhadap Munas Golkar,” kata Taufik Hidayat, salah seorang pendukung Bambang Soesatyo, kepada pers Sabtu (30/11) –yang dibantah Istana. Namun sungguh mencengangkan, dalam hitungan jam menjelang pembukaan Munas, Bambang Soesatyo tiba-tiba menyatakan mundur dari pencalonan. Itu terjadi setelah bertemu di kantor Menko Maritim pada hari Selasa 3 Desember ini dengan Ketua Umum Airlangga Hartarto, Ketua Dewan Pembina Golkar Aburizal Bakrie dan Luhut Binsar Pandjaitan….. Bukan hal yang mudah per saat ini untuk segera mengetahui apa sebenarnya yang terjadi di belakang layar……. (media-karya.com) #mediakaryaanalisa

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s