Tag: Azyumardi Azra

Kisah Presiden Joko Widodo di Medan Perang Corona

DALAM perang melawan virus Corona, Presiden Indonesia Joko Widodo ibaratnya adalah salah satu raja atau pemimpin klan dalam drama fantasi Game of Thrones. Harus mengenyampingkan sisa emosi perebutan hegemoni antar klan saat harus berperang melawan ancaman terhadap semua, zombie White Walkers dari balik tebing es raksasa The Wall di utara. Dan sesungguhnya di dunia nyata yang bukan fantasi, saat ini bahaya virus Corona nyata sudah ada di ruang-ruang hidup kita, setelah pintu masuk negara kita –yang sempat terbuka lebar tak terjaga baik– terlewati. Melakukan transmisi lokal di tempat-tempat yang tak selalu bisa kita duga. Membawa kematian dan kesembuhan yang nyaris berbagi dua peluangnya.

Tentu saja panglima tertinggi dalam perang melawan bahaya ‘merah’ dari utara itu, tak bisa tidak adalah Presiden Joko Widodo. Akan tetapi terhadap sang ‘panglima tertinggi’, terlontar banyak kritik. Dianggap terlambat bertindak dan gagap, meski sang presiden sendiri mengatakan sejak mula sebenarnya sudah berkerja dalam senyap. Pohon paling tinggi, tentu paling banyak diterpa angin. Continue reading “Kisah Presiden Joko Widodo di Medan Perang Corona”

Fenomena Radikalisme Anti Radikalisme

MEMASUKI periode kedua masa kepresidenan Joko Widodo, semangat anti radikalisme di kalangan kekuasaan meningkat, melebihi masa sebelumnya. Semangat anti radikalisme itu makin tersulut ketika pertengahan November terjadi teror bom bunuh diri di Markas Kepolisian Resor Kota Besar Medan. Tak lain karena radikalisme dianggap induk dari aksi-aksi terorisme. Dr Azyumardi Azra menulis di sebuah harian nasional terkemuka (21/11), “Semua pihak –pemerintah, aparat kepolisian, warga, dan kelompok masyarakat sipil, serta ormas– harus bahu-membahu menanggulangi ideologi dan praksis radikalisme-terorisme.” Justru di sini persoalannya. Jangankan bahu-membahu, hingga sejauh ini menyamakan bahasa dan pemahaman saja mengenai radikalisme belum berhasil dilakukan.

Dalam mendefinisikan apakah radikalisme dan terorisme itu, serta kaitan-kaitannya, semua pihak –khususnya dan terutama kalangan kekuasaan– entah mengapa cenderung terkungkung dalam solipsisme. Terlalu berpegang kepada kebenaran subjektif diri sendiri, tak membuka ruang dialog yang cukup. Dan secara umum, mereka yang mengatakan dan mengklaim diri terdepan dalam anti radikalisme dan terorisme, seringkali malahan terdorong untuk ekstrim subjektif. Continue reading “Fenomena Radikalisme Anti Radikalisme”

Rahman Tolleng dan Faktor Islam

Oleh: Rum Aly

DALAM banyak waktu, nama dan kegiatan Rahman Tolleng kerapkali sampai ke telinga sebagian generasi baru, namun wajahnya nyaris tak ‘dikenali’ terbuka, terutama di tengah-tengah hiruk pikuk politik pasca reformasi. Akan tetapi pada sisi lain di saat yang sama sejumlah generasi muda lainnya dalam berbagai tingkat usia, sangat lekat dan intens mengikuti pikiran-pikirannya melalui beberapa forum khusus. Ini semacam misteri juga.

Dalam situasi seperti itu, pada tahun 2008 nama A. Rahman Tolleng tiba-tiba muncul dalam sebuah iklan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Terletak di urutan ketiga di antara 297 nama penandatangan. Huruf A di depan nama Rahman Tolleng adalah singkatan dari Abdul –salah satu nama awal yang lazim diberikan keluarga Islami di Sulawesi Selatan kepada anak laki-laki. Iklan tersebut berisi pernyataan bertanggal 10 Mei namun baru tampil di berbagai media nasional terkemuka pada tanggal 30 Mei 2008, sepuluh hari setelah perayaan peringatan seratus tahun Hari Kebangkitan Nasional.

Peritiwa 1 Juni 2008 di Monas

Pernyataan 10 Mei 2008 ini, mengecam kekerasan yang dipraktekkan dalam kehidupan beragama, oleh sekelompok orang penganut garis keras yang dianggap mengatasnamakan umat Islam. Aliansi menganggap penganut kekerasan ini pada akhirnya “akan memaksakan rencana mereka untuk mengubah dasar negara Indonesia, Pancasila, mengabaikan konstitusi, dan menghancurkan sendi kebersamaan kita.” Aliansi kala itu menyerukan agar pemerintah, para wakil rakyat, dan para pemegang otoritas hukum, untuk tidak takut kepada tekanan yang membahayakan ke-Indonesia-an. Continue reading “Rahman Tolleng dan Faktor Islam”

Joko Widodo dan Faktor Islam di Kancah Politik 2019

SEBELUM terjadi aksi massa Islam massive 411 dan 212 di bagian akhir 2016, tak terbayangkan bahwa Joko Widodo akan tiba-tiba tampil dengan manuver politik yang sarat retorika ke-Islam-an. Soalnya, sebelum itu beberapa tokoh partai pendukung utamanya, PDI-P, kerap melontarkan narasi-narasi yang dimaknai sebagai anti Islam.

Secara historis, mengacu kepada pembagian masyarakat (Jawa) menurut Clifford Geerzt, cikal bakal utama PDI-P yakni PNI pada hakekatnya memang berakar pada kaum abangan selain kaum priyayi. Di seberangnya, adalah kaum santri. Secara historis pula, PNI sebagai unsur Nas pada masa Nasakom Soekarno tercatat memiliki kedekatan yang kental dengan unsur Kom. Banyak berkonfrontasi mendampingi unsur Kom terhadap unsur A yang terjepit di tengah.

Namun, dalam realita saat ini, bandul politik Joko Widodo yang tampil memperjuangkan masa kepresidenan kedua, telah mengayun keras dari kiri hingga jauh ke kanan. Dari citra anti Islam ke citra mitra. Puncaknya, menempatkan tokoh ulama Kyai Ma’ruf Amin sebagai pasangan dalam Pemilihan Presiden 17 April 2019. Meski, secara tragis harus ‘mencampakkan’ tokoh berintegritas, Mahfud MD. Continue reading “Joko Widodo dan Faktor Islam di Kancah Politik 2019”

Dilema Kompetisi Demokrasi Indonesia: Politik Uang

DALAM gelanggang rumor, tergambarkan betapa politik uang menguasai kehidupan bernegara di Indonesia, dari dulu hingga kini. Semua tokoh politik dan kekuasaan mempunyai rumornya masing-masing dalam kaitan politik uang, baik sebagai pelaku aktif maupun sebagai pelaku pasif. Meminjam sebuah judul buku tentang sebuah skandal keuangan (dan politik) di Amerika Serikat, All The Devils Are Here (Bethany McLean & Joe Nocera, 2011), dalam konteks Indonesia semua setan ada di sini. Semua terlibat dalam peran bagaikan devil itu. Tetapi rumor adalah rumor, bisa terbukti benar pada waktunya, bisa juga tetap sebagai rumor yang mungkin tetap teringat tetapi mungkin juga terlupakan. Karena, jangankan rumor, suatu kebenaran berdasar fakta pun bisa terlupakan, saat tak ada penelusuran.

Di tengah arus pencitraan kuat para pendukung pemerintah bahwa kini Indonesia serba lebih bersih, cukup menyentak juga ketika Dr Said Didu Selasa (17/7) lalu dalam talkshow di sebuah TV memunculkan adanya benalu dalam kasus Freeport. Mantan Sesmen BUMN dan Staf Khusus Menteri ESDM ini, mengungkapkan negosiasi dalam kasus Freeport selalu terhambat karena selalu adanya benalu-benalu. Para benalu itu, bukan tokoh-tokoh dari luar, tetapi adalah tokoh-tokoh yang ada di Jakarta. Said Didu adalah salah seorang perunding awal dengan Freeport di tahun 2015, di masa Jokowi. Menurutnya, adalah mengagetkan ketika pihak Freeport bersedia memenuhi permintaan target pendapatan Indonesia paling tidak 60 persen dari revenue tambang, asal dibantu menghilangkan benalu-benalu itu. Akan tetapi perundingan 2015 itu tak dilanjutkan karena teguran Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Luhut Binsar Pandjaitan bahwa perundingan tak boleh dilakukan sebelum 2019. Tercatat bahwa setelah itu, muncul isu papa minta saham yang mengait-ngaitkan nama Presiden. Sayangnya, penyelidikan lanjut oleh Kejaksaan Agung tentang kasus itu tak terdengar lagi saat ini, sehingga publik pun tak bisa mengetahui duduk soal sesungguhnya. Terperiksa utama kala itu, Setya Novanto, belakangan malah terseret kasus lain, suap E-KTP, dan kini mendekam di LP Sukamiskin Bandung. Continue reading “Dilema Kompetisi Demokrasi Indonesia: Politik Uang”

Saat Masjid Dilanda Stigmatisasi

MELAKUKAN penelitian selama tiga pekan –29 September hingga 21 Oktober 2017– Lembaga Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dan Rumah Kebangsaan tiba pada kesimpulan bahwa terdapat 41 masjid dari 100 masjid di lingkungan kementerian, lembaga dan BUMN telah terpapar paham radikalisme. Kesimpulan itu disajikan ke publik dalam satu presentase di depan pers Minggu 8 Juli yang baru lalu.

Kesimpulan diambil berdasarkan data khutbah Jumat yang direkam audio dan video, serta data berupa buletin, kalender, majalah. Penelitian mengukur sikap terhadap khilafah, sikap terhadap agama lain, sikap terhadap minoritas, serta mencatat penyampaian-penyampaian ujaran kebencian. Disebutkan setiap minggu rata-rata terkumpul 90 persen rekaman audio. Perekaman audio dan video dilakukan ala spion, diam-diam agar jangan diketahui jamaah. Maka tak selalu berhasil ada rekaman, antara lain karena alasan keamanan (dicurigai) atau posisi terlalu mencolok sehingga tak mungkin melakukan perekaman. Continue reading “Saat Masjid Dilanda Stigmatisasi”

Gelombang Stigmatisasi Kampus Indonesia

TENTU tak perlu menutup mata bahwa paham radikalisme sudah mengarus masuk kampus-kampus Indonesia pada beberapa tahun terakhir. Namun,  stigmatisasi kampus berlabel radikalisme –dengan tema pro khilafah sekaligus anti Pancasila– bagaimana pun sangat berlebihan. Terkesan serampangan, tak selektif dalam penilaian, dan sedikit berbau anti akademis. Selain itu, juga berbau politik praktis kalangan kekuasaan, dan karenanya beraroma represif. Terasa represif terutama karena timing pelontaran isu dan penindakannya berdekatan dengan kegiatan demokratis pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden  2019.

Bila beberapa tahun sebelumnya, aparat keamanan hanya sebatas menuding terpaparnya kampus-kampus Indonesia dengan radikalisme, maka pada 2 Juni 2018 ini aparat BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) sudah masuk kampus melakukan penggrebegan terhadap yang mereka sebut kelompok radikal di Universitas Riau (UNRI). Selang beberapa hari setelahnya, dua perguruan tinggi negeri terkemuka melakukan semacam auto debet, memberhentikan (sementara) kalangan pengajarnya dari jabatan-jabatan masing-masing karena dianggap berpaham radikal dan atau anti Pancasila. Universitas Diponegoro 6 Juni 2018 memberhentikan Profesor Suteki –yang sudah menjadi pengajar Pancasila tak kurang 24 tahun lamanya– dengan tuduhan radikalisme setelah menjadi saksi ahli dalam kasus HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Menyusul, Universitas Gajah Mada, 8 Juni, melakukan tindakan serupa terhadap dua orang dosennya. Continue reading “Gelombang Stigmatisasi Kampus Indonesia”