TERDAPAT cukup banyak juga sikap khas dan menarik dalam perilaku bangsa Indonesia. Salah satunya adalah kemampuan mentertawai diri sendiri dalam himpitan kesulitan. Lainnya, mampu santai dalam menghadapi masalah seserius apa pun. Dan dalam upaya menyenangkan hati orang lain ada kebiasaan menyampaikan kata-kata hiburan meski seringkali memerlukan sedikit bumbu kebohongan. Dalam situasi dan dosis tertentu, ini semua tidaklah buruk.
Kemampuan mentertawai diri sendiri meski sedang dihimpit kesulitan, bisa membuat masyarakat tak mengalami tekanan batin atau terhinggap stress. Sikap santai dalam batas tertentu membuat tugas berat bisa terasa ringan dan lebih mudah diselesaikan. Penghiburan kepada sesama, khususnya kepada yang sedang mengalami kedukaan, membuat kehidupan sosial lebih sejuk karena anggota masyarakat merasa tak sendirian memikul beban duka.
Namun dengan berjalannya waktu, terjadi begitu banyak perubahan dalam berperilaku di tengah masyarakat. Khususnya akibat makin derasnya arus dan gelombang persaingan politik kekuasaan yang disertai pertarungan ekonomi untuk memperbesar akumulasi dana pribadi dan kelompok. Dua medan pertarungan ini bertalian satu sama lain karena saling memperkuat dan pada waktu yang sama menciptakan ketidakadilan. Melalui dua medan pertarungan ini perilaku masyarakat terkontaminasi dengan penguatan aspek negatif, bagai virus sedang bermutasi.
Kemampuan mentertawai diri sendiri berubah menjadi kemampuan mentertawai, mengejek dan berbagai tindak pembunuhan karakter orang lain yang dianggap berada di seberang. Sikap santai menjelma menjadi sikap seenaknya menangani masalah ketika berada di posisi unggul kekuasaan politik dan kekuasaan ekonomi. Karena yakin takkan ada yang sanggup menuntut pertanggungjawaban. Tak ada lagi persoalan yang dianggap serius karena semua bisa diselesaikan dengan mudah melalui kekuatan kekuasaan dan kekuatan uang. Kebohongan tak lagi menjadi sekedar bumbu melainkan telah menjadi senjata penting dalam pertarungan politik dan pertarungan ekonomi. Sosiologi bangsa seakan porak poranda, makin banyak yang berperilaku asosial, tak berbudaya dan tak beretika.
Ujian yang sesungguhnya
SAMPAI, saatnya tiba ujian yang sesungguhnya. Sesuatu yang belum tentu bisa ditaklukkan sekedar dengan kekuatan kekuasaan dan kekuatan uang, melainkan harus disertai dengan sense of crisis yang kuat, ketangguhan profesional kedokteran, kemampuan berkomunikasi secara prima dan kecerdasan managerial dan ekonomi. Sang penguji adalah virus mutasi ‘baru’ bernama Corona. Dia ada di kampung sebelah sejak Desember tahun lalu, kemudian bertamu ke kampung-kampung yang jauh maupun yang bertetangga dekat dengan kita. Sewaktu-waktu bisa bertamu ke beranda rumah-rumah di kampung kita lalu mengetuk pintu. Tetapi tiba-tiba tanpa ketuk pintu ternyata sudah berada di ruang tamu dan ruang-ruang lain di beberapa rumah di kampung kita. Terbawa oleh manusia carrier dan tak mudah terdeteksi.
Saat sang tamu telah berada di beberapa rumah di kampung kita, barulah kita semua sadar sepenuhnya menghadapi sebuah dilema –apakah menutup rapat pintu atau tidak, dalam ancaman sejumlah risiko. Lalu tersentak dan bertindak dadakan untuk keselamatan diri yang belum tentu terukur.

Tudingan agent of fear vs transparansi
KITA mencatat beberapa sikap sangat minim sense of crisis –atau tumpul kemampuan analisa masalah– di kalangan sejumlah tokoh dalam kekuasaan politik, kekuasaan negara maupun kekuasaan sosial. Dimunculkan kepercayaan diri palsu –mirip tahayul– melalui retorika tak bernalar bahwa orang Indonesia itu memiliki kekebalan terhadap virus Corona antara lain karena iklim tropis dan kelembaban negeri kita. Muncul juga candaan bahwa manusia Indonesia tahan virus itu karena makan Nasi Kucing. Tokoh lainnya, berkali-kali menyampaikan ke publik bahwa Indonesia zero Corona Virus atau Covid 19. Tak kalah menarik perhatian adalah ide Wakil Presiden RI untuk menerbitkan Sertifikat Bebas Corona. Ada pula tokoh yang ketus membantah pendapat akademisi asing yang menyebut Indonesia tak mungkin belum kemasukan Covid 19 dan tak kalah rentan dibanding negara lain. Ada yang memarahi WHO agar jangan mendikte bagaimana cara Indonesia sebagai negara berdaulat menghadapi virus Corona. Ternyata sebagian besar dari mereka yang ‘optimis’ ini harus lebih dulu ke rumah sakit dan diperiksa untuk memastikan apa mereka terpapar atau tidak.
Sementara itu mereka yang mengingatkan bahaya yang sedang dihadapi dan menyerukan transparansi dituding sebagai agent of fear –penebar ketakutan– yang hanya akan menimbulkan kepanikan luar biasa. Padahal, menurut ilmu komunikasi dan psikologi sosial, informasi dan kehadiran dadakan suatu bahaya akan lebih berpotensi menimbulkan kepanikan luar biasa daripada transparansi informasi yang dilakukan teratur dan cermat. Tak sedikit ahli komunikasi memberi peringatan bahwa komunikasi pemerintah soal Covid 19 adalah keliru. Sebaliknya, sementara itu sejumlah buzzer politik sepertinya dengan topangan pemilik sisa dendam politik lama, memanfaatkan situasi untuk misalnya menyerang habis-habisan Gubernur DKI Anies Baswedan yang justru kebetulan lebih cepat tanggap menghadapi bahaya virus Corona. Right or wrong Anies Baswedan dalam pengertian terbalik. Ini perlu diperhatikan dan dihentikan.
Kritik tajam dari Rizal Ramli
SALAH satu kritik paling tajam disampaikan ekonom Rizal Ramli. Memang terasa terlalu tajam, namun esensi kritiknya bisa disepakati. Saat negara lain sejak dua setengah bulan lalu mulai membatasi orang asing masuk ke Indonesia, pemerintah Indonesia malah mengambil kebijakan super ngawur (ILC tvOne 17 Maret). Kebijakan yang dimaksud Rizal adalah keputusan Presiden Joko Widodo bersama kabinetnya mengerahkan influencer dengan bayaran 79 milyar rupiah untuk menarik para wisatawan asing tetap masuk ke Indonesia. Kemudian menyubsidi airlines agar bisa menurunkan harga tiket. Rizal juga menganggap ada kesungkanan pemerintah kepada China sebagai pemberi utang besar ke Indonesia.
Serbuan virus Corona, menurut Rizal Ramli jelas akan berdampak terhadap ekonomi Indonesia. Tetapi tanpa serbuan virus Corona pun sebenarnya pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 “bakal anjlok ke 4 persen”. Indonesia ini mabuk hutang. Ibarat petinju “kita kena jab gagal bayar.” Andaikan pun penanganan virus Corona berlangsung efektif, kata Rizal, ekonomi Indonesia tetap akan anjlok, angkanya minus 1 persen, sehingga pertumbuhan menjadi hanya 3 persen. Tetapi berdasarkan penelusuran hingga hari ini, “penanganan itu belum efektif.” Sehingga bisa-bisa pertumbuhan ekonomi anjlok minus 2 persen.” Artinya pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 akhirnya hanya 2 persen. Rizal memberi jalan keluar. “Ini waktunya untuk menyetop semua proyek-proyek infrastruktur yang besar. Ini kan kebanyakan ambisi berlebihan, dibiayai dengan ugal-ugalan, dengan pinjaman yang sangat besar, kebanyakan itu bermasalah.”
Bersama menjaga diri, dan lapang dada
Apapun, terlepas dari kritikan yang ada, di atas segalanya per saat ini semua perlu bahu membahu menghadapi dan melawan virus Corona. Karena ternyata virus-virus ini tak mengenal kasta, status sosial, perbedaan gender maupun usia. Siapapun di antara kita bisa terpapar di esok hari bila tak menjaga daya tahan tubuh dan tak menerapkan social distancing.
Mereka yang dikritik harus lapang dada, bersedia menerima dan memperbaiki kesalahan bila dalam kritik itu ada kebenaran. Tak perlu ada yang merasa akan dijatuhkan dari kekuasaan, lalu bereaksi tidak proporsional. Itu kan masih soal nanti, yang akan menjadi bagian dari hak demokrasi rakyat untuk melakukan penilaian pada waktunya…. (media-karya.com) #mediakaryaanalisa