Agama dan Pancasila: Membuka Belahan Luka Lama

SIAPA bisa menduga. Mendadak terjadi sebuah silang pendapat seputar Pancasila yang seakan membuka belahan ‘luka lama’ yang pernah terjadi di sekitar momen Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Padahal belahan luka itu sudah dirapatkan kembali dengan sikap bijak dan jiwa besar para pendiri bangsa dan republik ini. Pertama kali langsung di awal kemerdekaan. Dan yang kedua kali, dalam momen Dekrit 5 Juli 1959 yang disampaikan Presiden Soekarno dengan dukungan persetujuan Jenderal AH Nasution dan beberapa tokoh politik Islam.

Ironis bahwa toreh ulang atas luka justru tercipta karena ucapan tak cermat seorang Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila di tahun 2020 saat tokoh-tokoh kekuasaan gencar mengkampanyekan retorika ‘Saya Indonesia Saya Pancasila’ sejak akhir Mei dan awal Juni 2017. Kendati dengan susah payah coba diluruskan kemudian oleh sang Kepala BPIP dan orang-orang pemerintahan, ucapan yang menurut Franz Magnis Suseno (18/2) adalah sembrono, yang telah terekam di kepala khalayak itu, tak bisa ‘dibersihkan’ kembali. Malah, cara klarifikasi yang dilakukan sejumlah orang yang berpretensi sebagai ‘jurubicara’ pemerintah dengan pembenaran artifisial –yang menempatkan publik sebagai awam yang bodoh-bodoh– justru menambah tingkat kejengkelan.

Sebuah kesimpulan yang meloncat

Dalam wawancara dengan detik.com yang kemudian meluas dikutip pers (11/2), Kepala BPIP Profesor Yudian Wahyudi menuding adanya kelompok yang mereduksi agama sesuai kepentingannya sendiri yang tak selaras nilai-nilai Pancasila. Kelompok itu digambarkannya minoritas namun mengklaim diri mayoritas. “Si minoritas ini ingin melawan Pancasila dan mengklaim dirinya sebagai mayoritas. Ini yang berbahaya,” ujarnya. Lalu berdasar itu Professor Yudian tiba pada kesimpulan yang terasa terlalu meloncat, “Jadi kalau kita jujur, musuh terbesar Pancasila itu ya agama, bukan kesukuan.” Sesuatu yang sebenarnya janggal bagi seorang akademisi dengan tingkat kualitas seperti dirinya –seorang rektor dari perguruan tinggi yang bukan kualitas bawah. Kalimat kesimpulan inilah yang menjadi sumber kegaduhan sejak 12 Februari lalu hingga kini. Kalimat akhir itu definitif, jelas, tak mungkin lagi ditafsirkan lain dari apa yang tertulis, karena berposisi sebagai kesimpulan dari rangkaian narasi yang disampaikan sebelumnya. Kecuali, bila kemudian detik.com mengaku memanipulasi ucapan narasumbernya itu.

JENDERAL AH NASUTION DAN SOEKARNO. Menjelang dikeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, sebagai syarat dukungan kepada dekrit, Jenderal AH Nasution mengatakan kepada Presiden Soekarno, akan terlebih dahulu menanyakan sikap golongan politik Islam. Lalu Nasution bertemu Ketua Umum NU KH Idham Chalid dan Sekjen Sjaifuddin Zuhri. Ketika Nasution bertanya, Idham Chalid meminta Sjaifuddin Zuhri menjawab. Menurut Anhar Gonggong, Sjaifuddin menjawab dengan balik bertanya, “Di mana tempat Piagam Jakarta di dalam dekrit itu?”. (Gambar head: Momen pelantikan Kepala BPIP Prof Yudian Wahyudi oleh Presiden Joko Widodo, 5 Februari 2020. Foto-foto original, download) #MediaKarya

Kalau memang benar Kepala BPIP mengucapkan seperti itu –khususnya kalimat kesimpulan– menurut sejarawan Dr Anhar Gonggong dalam forum ILC tvOne (Selasa 18/2) “adalah sesuatu yang benar-benar tidak pantas untuk dikemukakan.” Mungkin persoalannya akan berbeda jika Professor Yudian Wahyudi mencukupkan diri sebatas konstatasi adanya kelompok –yang sebenarnya hanya minoritas namun mengklaim diri mayoritas– mereduksi agama lalu mempertentangkan agama dengan Pancasila atau sebaliknya.

Terlepas dari itu, apa yang terjadi dengan Kepala BPIP ini, mengisyaratkan perlunya para petinggi lembaga negara dan pemerintahan –khususnya yang berposisi pada tugas pembinaan ideologi Pancasila– untuk lebih mendalami sejarah, makna dan posisi Pancasila sebagai ideologi bangsa dan dasar filsafat bernegara. Secara khusus perlu pula mendalami sejarah interaksi politik antara apa yang disebut oleh Mr Muhamad Yamin sebagai nasionalis Islami dan nasionalis sekuler.

Orang-orang beragama dan sikap bijak

Meminjam uraian Dr Anhar Gonggong –pada forum ILC tvOne 18 Februari 2020– yang menciptakan republik ini sesungguhnya adalah orang-orang beragama. Soekarno Islam, Mohammad Hatta Islam. Kala itu memang tak ada tokoh bangsa yang tak beragama. Mereka sekaligus adalah orang-orang terdidik tercerahkan yang memiliki pemikiran yang hebat dan hati yang cair. Mereka yang melahirkan Indonesia Merdeka, mereka yang melahirkan Pancasila.

Usai proklamasi, 17 Agustus 1945 malam, tokoh beragama Kristen, Mr Johannes Latuharhary menemui Mohammad Hatta menyampaikan bahwa Indonesia Timur akan keluar dari republik bila Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dengan tujuh kata, akan disahkan sebagai Pembukaan UUD 1945 pada 18 Agustus keesokan hari. Sebuah versi lain menyebut seorang opsir Jepang juga menyampaikan hal yang sama kepada Mohammad Hatta malam itu (Dr Midian Sirait dalam Revitalisasi Pancasila, 2008). Terhadap aspirasi Latuharhary dan kawan-kawan, Mohammad Hatta berjanji untuk membicarakannya dengan tokoh-tokoh Islam. Ternyata dalam suatu pertemuan segera yang berlangsung kurang dari 15 menit, tokoh-tokoh Islam menyetujui penghapusan 7 kata –“dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” mengikuti kata Ketuhanan– dari Piagam Jakarta yang menjadi rancangan semula Pembukaan UUD 1945. Masalah selesai. “Ini adalah oleh karena kebijaksanaan pemimpin-pemimpin Islam,” kata Anhar Gonggong.

Menjelang dikeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, sebagai syarat dukungan kepada dekrit, Jenderal AH Nasution mengatakan kepada Presiden Soekarno, akan terlebih dahulu menanyakan sikap golongan politik Islam. Lalu Nasution antara lain bertemu Ketua Umum NU KH Idham Chalid dan Sekjen Sjaifuddin Zuhri. Ketika Nasution bertanya, Idham Chalid meminta Sjaifuddin Zuhri menjawab. Menurut Anhar Gonggong, Sjaifuddin menjawab dengan balik bertanya, “Di mana tempat Piagam Jakarta di dalam dekrit itu?”. Ternyata kemudian, dalam bagian akhir pengantar dekrit yang disampaikan Soekarno tercantum kalimat yang berbunyi “Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Djakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut.”

Dari dua peristiwa sejarah ini –pada 17 Agustus 1945 dan Dekrit 5 Juli 1959– seperti kata Anhar Gonggong, persoalan antara (kelompok) Islam dan Pancasila sebenarnya telah selesai. Dan sebenarnya begitu pula perbedaan-perbedaan antara nasionalis Islami dan nasionalis sekuler per saat itu. “Mari, kita jangan lagi mempersoalkan antara agama dan Pancasila, karena ini sudah selesai.” Menurut Anhar Gonggong yang lebih penting dipersoalkan kini adalah seberapa jauh kita telah memenuhi apa yang pernah dikatakan Soekarno bahwa kesejahteraan itu adalah prinsip.

Kemiskinan tetap ada

Sila-sila Pancasila jelas menunjukkan bahwa negara yang akan dibangun ini adalah menciptakan kehidupan bersama. Bahwa semua sila-sila itu tujuannya adalah persatuan. Tujuan utama membangun bangsa merdeka ini adalah untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyat. Definisi dan prinsip Soekarno tentang kesejahteraan ialah “tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka.” Jadi bilamana dalam konteks sekarang ini prinsip kesejahteraan itu tidak berjalan, kata Anhar Gonggong, itu berarti kemerdekaan masih timpang. Sering tidak disadari apa sebenarnya tujuan merdeka itu? Selalu dikatakan bahwa tujuan merdeka adalah mencapai masyarakat yang adil makmur, yang dihubungkan dengan Pancasila. “Saya bertanya kepada semua, termasuk kepada yang pernah memerintah, pernahkah ada yang menterjemahkan apa yang dimaksud dengan masyarakat yang adil dan makmur?” Menurut Anhar, sejauh ini belum pernah ada pemerintah yang bisa menterjemahkannya. “Telah 74 tahun merdeka, kemiskinan masih tetap ada.”

Pancasila tak cukup dilihat dalam konteks kekiniannya saja. Pancasila bermakna bersama berjalan ke depan mewujudkan suatu masyarakat merdeka. “Kita adalah bangsa merdeka. Kalau masyarakat yang kita ciptakan adalah masyarakat feodalistis, kita tidak merdeka. Bukan masyarakat merdeka. Kalau pemimpin kita bersifat feodalistis, bukan pemimpin untuk merdeka. Itu adalah penindas rakyat. Pancasila diciptakan untuk membebaskan kita dari keterjajahan, menjadikan kita bangsa yang punya harga diri sebagai bangsa yang merdeka Itu tujuan Pancasila, itu tujuan kita merdeka.”

Tak boleh dilupakan Indonesia diciptakan dengan dialog, tapi bukan dialog berbentuk pertengkaran. Nyatanya, bangsa ini masih selalu bertengkar satu dengan yang lainnya yang kerap membuka kembali belahan luka lama. Seperti sekarang. Maka menjadi pertanyaan, “Apakah bangsa ini masih akan bertahan pada saat mencapai usia 100 tahun, bila masih terus bertengkar?” (media-karya.com) #mediakaryaanalisa

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s