Kisah 6 Tahun “Mandat Langit” Presiden Joko Widodo

SESUAI adagium klasik yang kuat bergema di Eropa Abad 8, “Suara Rakyat adalah Suara Tuhan” –Vox Populi Vox Dei– maka mereka yang memangku amanat rakyat sebagai pemimpin negara seringkali dianggap sebagai pemegang “mandat langit” di dunia. Karena, diberikan oleh suara terbanyak rakyat. Dalam konteks adagium tersebut, untuk Indonesia saat ini, pemegang mandat langit adalah Presiden Joko Widodo. Dipilih oleh “suara rakyat yang adalah suara Tuhan.”

Adagium Vox Populi Vox Dei itu sendiri sempat dicemaskan oleh Alcuin of York (735-804) seorang akademisi dan budayawan di York, Inggeris, saat Eropa Barat berada di bawah pengaruh Charlemagne –Karel yang Agung, raja orang Frank. Tak lain karena adagium itu bertentangan dengan posisi mutlak raja dalam sebuah adagium lain, “Raja adalah Wakil Tuhan di Muka Bumi” ataupun konsep Dewa Raja. Menyebut 4 kitab suci agama, seorang staf ahli utama Kantor Staf Presiden, 24 Mei 2018, mengatakan “pemerintah itu representasi Tuhan di muka bumi.” Berbeda dengan adagium Vox Populi Vox Dei. Mungkin saja adagium itu agak berlebihan, tetapi tak ada retorika terbaik selain adagium tersebut untuk menggambarkan bahwa dalam demokrasi, kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat.

Mengisi kekosongan sejarah, komik

Enam puluh lima hari sebelum Pemilihan Presiden 9 Juli 2014, socio-politica.com menurunkan tulisan “Mengejar Mandat Langit, Kisah Joko Widodo”. Tergambarkan di situ betapa kemunculan Joko Widodo tergolong suatu fenomena, cukup menakjubkan per saat itu. Diri dan ketokohannya tergambarkan bagai kisah 1001 malam. Satu setengah tahun sebelumnya, 20 September 2012, socio-politica.com juga menulis, keberhasilan Joko Widodo memenangkan kursi Gubernur DKI adalah karena ia tampil lebih sederhana. Tidak muluk-muluk dan tidak complicated. Dengan itu, bisa lebih dekat rakyat dan karenanya lebih berpeluang mendapat rasa percaya. Seakan “memenuhi rasa hampa yang selama ini dirasakan kalangan akar rumput Jakarta.” Kurang disapa, kurang diperhatikan, tak punya jalan mengadu kepada pemimpin. Pokoknya, per saat itu, ia adalah manifestasi serba pembalikan dari kelaziman kepemimpinan yang ada, sehingga memenuhi rasa dahaga rakyat.

JOKO WIDODO TANPA MASKER, BERBATAS AKRILIK,RAPAT TERBATAS 3 AGUSTUS 2020. Terakhir, sebuah pertanyaan. Setelah setidaknya dua kali memarahi para menteri, kapan reshuffle? Soalnya tersisa waktu 4 tahun untuk memenuhi janji ekonomi “meroket”….. (Gambar head, adegan komik Tukang Mebel Jadi Presiden/foto-foto orisinal download) #MediaKarya

Pada waktu menghadapi Pemilihan Presiden 2014, relatif Joko Widodo berada pada posisi minim beban sejarah, khususnya bila dibanding pesaingnya, Letnan Jenderal Purnawirawan Prabowo Subianto. Tetapi keterbatasan sejarah dirinya itu sempat terisi oleh sebuah komik buatan Gunawan, kelahiran 1985, yang diterbitkan Narasi, berjudul “Tukang Mebel Jadi Presiden – Kisah Perjalanan Jokowi dari Dunia Bisnis ke Panggung Politik”. Dunia bisnis yang digeluti Jokowi tentu saja bukan bisnis kelas atas dan raksasa seperti yang digeluti Aburizal Bakrie, Harry Tanoesoedibjo, atau adik Prabowo Subianto, Hashim Djojohadikoesoemo. Bisnis boleh kecil –per waktu itu– tetapi panggung politik yang tercipta untuk Joko Widodo saat itu, tidak tanggung-tanggung. Sebuah panggung menuju kursi RI-1.

Narasi pengisi kekosongan sejarah yang disajikan komik itu, betul-betul mewakili dongeng ala 1001 malam. Tersaji sebagai hiburan bagi rakyat, terutama di lapisan terbawah dan menengah. Sungguh “memukau” kalangan akar rumput. Fenomena ini mungkin cerminan betapa rakyat di lapisan tertentu di bawah, telah begitu kecewanya terhadap kepemimpinan negara yang sekian lama berlangsung di depan mata. Lalu, mencari sosok pujaan lain, yang terhadapnya mereka merasa dekat karena banyak kemiripan dengan diri dan mencerminkan nasib mereka sendiri. “Biarpun dia kurus dan gak ganteng, dia digadang-gadang rakyat agar kelak menjadi presiden.” Jadi, di punggung Joko Widodo, beban yang terlebih dulu ada ialah beban “harapan menjulang” sebagian rakyat. Bukan beban sejarah.

Dalam Pemilihan Presiden April 2019 Joko Widodo dan Prabowo Subianto kembali harus saling berhadapan. Pendukung kedua tokoh masih senantiasa mengedepankan pertempuran kata-kata melalui berbagai media, terutama di media sosial. Pertempuran dan pembelahan di tengah masyarakat yang sudah bermula sejak Pilpres 2014, pun tetap berlanjut. Seringkali para pihak tampil tanpa malu, tak memperdulikan lagi etika dan adab. Memuakkan para pembaca, memuakkan jutaan penonton bila pertempuran mengambil kesempatan tayang di televisi. Entah terkoordinasi, entah berjalan sendiri tanpa kendali. Atau setengah terkoordinasi, setengah liar tak terkendali. Pertengkaran politik makin diperparah penempatan para oportunis tipe geladak. Sanggup bertengkar dengan berbagai cara tanpa argumentasi, tak segan menggunakan data manipulatif dan informasi sesat.

Sekarang Joko Widodo telah “menang”. Bahkan telah memasuki periode kedua sejak 20 Oktober 1999 lalu, meski masih tersisa isu dan cerita kemenangan yang tak elegan. Ada tuduhan kecurangan yang masih menggantung kebenaran atau ketidakbenarannya di medan opini publik. Dan, di atas panggung kepresidenan itu, ibarat pohon yang tinggi, Joko Widodo mendapat terpaan angin (kritik) yang juga tinggi intensitasnya. Makin hari makin kencang, sampai tiupan tuntutan mundur.

Neraca keberhasilan dan kegagalan

Dan kini, Agustus tahun 2020, saat Indonesia akan memasuki usia ke-75 sebagai negara merdeka, Presiden ketujuh ini tak lagi minim sejarah. Neraca kelebihan dan kekurangannya, keberhasilan maupun kegagalannya selama enam tahun memangku kepemimpinan tertinggi di negara ini, telah menjadi bagian dari sejarah kontemporer politik dan kekuasaan Indonesia. Telah tersaji kepada kalangan akar rumput sampai ke tingkat elite bangsa –politik maupun ekonomi– yang selama ini telah menentukan jalan hidup bangsa ini.

Sejarah kontemporer Joko Widodo selama 6 tahun terakhir ini, bahkan juga telah tersaji ke dunia dengan segala keunikannya. Dunia kerapkali juga ingin tahu apa yang telah dicapai tokoh pemimpin yang bukan berasal dari kalangan elite tradisional dalam kehidupan politik Indonesia ini. Dalam sebuah jumpa pers di luar negeri, banyak pertanyaan gencar. Djawabnya dengan sederhana saja. “I want to test my ministers” dan ia pun mempersilahkan menterinya menjelaskan kemajuan Indonesia. Itulah kira-kira gunanya menteri bagi presiden. Bertemu Presiden AS, Donald Trump, di sela-sela KTT G-20 Hamburg 8 Juli 2017, ia berhasil menyenangkan hati presiden negara adikuasa itu dengan gaya khas Jawa. “First and importantly I must deliver to you warm greeting from your millions fans from Indonesia.” Trump tertawa-tawa. Dan sekali lagi Trump tertawa-tawa ketika Jokowi mengatakan,  “I can get into … trouble, if I don’t bring back some good news for your million of fans in Indonesia.

Adakah keberhasilan Joko Widodo sebagai pemegang “mandat langit” dalam 6 tahun terakhir? Tentu ada. Banyak infrastruktur baru dibangun, di Papua, di Sulawesi, di Sumatera dan di Pulau Jawa sendiri. Meski, ada kritik diabaikannya asas skala prioritas dalam keterbatasan dana. Beberapa di antaranya mangkrak sementara. Sementara itu di Kalimantan sedang dipersiapkan pembangunan ibukota baru, kendati prosedur hukum dan perundang-undangannya belum rampung terpenuhi. Masih berposisi sebatas keinginan Presiden saja. Ever onward never retreat.

Tanda-tanda kegagalan lain, tentu juga banyak. Hutang luar negeri makin membengkak. Resesi mengancam. Korupsi tetap “dinamis”, bahkan kini berskala triliunan. Sementara KPK dianggap berhasil dilemahkan para pemangku kepentingan konspiratif. Dalam pada itu, ada begitu banyak janji politik belum terpenuhi. Di berbagai media tersaji catatan panjang janji tak terpenuhi maupun kata-kata tak konsisten dan berubah-ubah. Mulai dari janji membeli kembali Indosat, sampai usaha menarik dana parkir 11.000 triliun rupiah yang sudah tahunan daftarnya ada di saku Presiden Joko Widodo.

Namun paling memprihatinkan adalah, selama 6 tahun terakhir pembelahan di masyarakat tak kunjung bisa disembuhkan. Artinya ada kegagalan nation and character building –meminjam retorika Soekarno. Revolusi Mental gagal, akibat tetap maraknya perilaku korupsi, kolusi, nepotisme. Bukan sekedar korupsi lama, tetapi tak sedikit adalah korupsi baru. Jika kehidupan ketatanegaraan berjalan sehat ke depan, tentu akan tiba saatnya memberi pertanggungjawaban untuk semua itu. Tak terkecuali penanganan COVID-19 –teknis maupun “imunitas” penggunaan anggaran– hingga soal hutang luar negeri dan kejelasan penggunaannya.

TERAKHIR, sebuah pertanyaan. Setelah setidaknya dua kali memarahi para menteri, kapan reshuffle? Soalnya tersisa waktu 4 tahun untuk memenuhi janji ekonomi “meroket”….. (media-karya.com) #mediakaryaanalisa

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s