MEMASUKI 75 tahun Indonesia merdeka, rakyat Indonesia telah mengalami 7 masa kepresidenan. Berturut-turut 4 presiden mengakhiri kekuasaan dalam situasi tak nyaman, yaitu Soekarno, Soeharto, BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid. Lalu Presiden kelima, Megawati Soekarnoputeri yang hanya menjalani dua pertiga periode kepresidenan –melanjutkan sisa periode Abdurrahman Wahid yang dimakzulkan– tak berhasil melanjut memenangkan Pilpres 2004. Nyaris sama dengan BJ Habibie yang urung maju mencalonkan diri sebagai presiden karena pertanggung-jawabannya ditolak MPR-RI di tahun 1999. Hanya Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono yang bisa merampungkan dua periode kepresidenan, meski juga tak sepi dari isu pemakzulan.
Dan kini, ada Presiden ketujuh Joko Widodo. Berhasil memasuki periode kedua kepresidenannya, namun dalam bayangan pertanyaan apakah dia akan berhasil merampungkan periode kedua itu hingga 2024. Pengamat politik Rocky Gerung secara dini “meramalkan”, Joko Widodo takkan bertahan hingga 2024. Memang, memasuki masa kepresidenan yang kedua, kritik membanjir dan sudah mengarus sampai kepada kata “mundur” atau “dimundurkan”.
Soekarno dan Soeharto, sejarah berulang
L’Histoire se Répète –sejarah akan berulang? Apakah Joko Widodo akan dimakzulkan seperti dialami Soekarno dan Abdurrahman Wahid? Atau undur diri, seperti dilakukan Soeharto 21 Mei 1998, hanya 70 hari setelah terpilih kembali sebagai presiden melalui Sidang Umum MPR, 11 Maret 1998. Situasi negara yang dihadapi Joko Widodo per saat ini, di sana-sini memiliki kemiripan dengan tahun-tahun terakhir Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto.
Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden Soekarno setapak demi setapak memilih jalan otoriter dan pada akhirnya dianggap menjadi diktator. Menguasai dan mengendali sepenuhnya DPR-MPR ditopang struktur dan unsur kekuatan “setia” politik Nasakom. PKI menjadi pemandu sorak sekaligus buldoser paling “progressif revolusioner”. Pers ditundukkan, agar tak ada yang berani mengeritik penguasa. Dan terutama antara 1963 hingga menjelang Peristiwa 30 September 1965, kehidupan politik Indonesia hiruk pikuk dengan pembunuhan karakter menggunakan stigma “kontra revolusi”. Melakukan represi terhadap kelompok yang bersuara berbeda tak mendukung Pemimpin Besar Revolusi dan menumpas semua kekuatan yang berpotensi menjadi oposisi. Setiap orang harus menjadi penjilat kekuasaan, bersedia ikut berbohong dan hipokrit mendukung narasi revolusioner Nasakom bila ingin selamat. Sementara itu PKI dengan bebas melakukan aksi sepihak melakukan perampasan tanah para kiyai dan haji di Jawa Timur dan beberapa daerah lain disertai aksi sepihak yang berdarah-darah.

Soekarno mengalami pengkultusan dan pemitosan yang kerapkali tak masuk akal. Diangkat sebagai Presiden Seumur Hidup oleh unsur Nas yang mendominasi MPRS. Dianugerahi gelar Pemimpin Besar Revolusi, berdasar inisiatif unsur Nas dan Kom. Dan mendapat gelar Waliyatul Amri dari unsur A dalam Nasakom.
Dalam keriuhan akrobatik politik, ekonomi terbengkalai dan ambruk. Menurut data Bank Dunia (1981) PDB Indonesia dari 6,1 persen di tahun 1961, turun ke -2,3 persen di 1963, naik sedikit 3,5 persen di 1965 lalu anjlok lagi menjadi 0,9 persen di 1965. PDB per kapita 3,9 persen di 1961 menjadi -1,3 persen di 1965. Ekspor, industri pengolahan, investasi serba merosot, peredaran uang dan inflasi melonjak tajam sejak 1962. Inflasi 13,7 persen menaik terus hingga 306,8 persen di 1965 dan 1136,6 persen pada 1966. Kendati ekonomi selalu dibayangi resesi dan depresi, Soekarno tetapbersikeras menjalankan sejumlah proyek mercusuar –tak kenal skala prioritas, mengutamakan yang kasat mata– yang pada gilirannya makin merontokkan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi di masa Soeharto rata-rata jauh lebih baik, kecuali di tahun terakhir saat krisis moneter melanda. Namun meluas keluhan tentang ketakberhasilan pemerataan ekonomi dan ketidakadilan sosial lainnya. Pada waktu yang sama makin menguat otoritarianisme dan represi serta pembungkaman suara berbeda dalam kehidupan demokrasi oleh para jenderalnya. Soeharto mencoba menawarkan keterbukaan pada satu-dua tahun terakhir, saat ia mulai lebih mendengar kritik kaum intelektual berpikiran independen dan tokoh agama yang masih punya integritas. Agak terlambat. Di saat-saat terakhir sebelum lengser 21 Mei 1998, Soeharto mencoba berdialog dan mengajak sejumlah tokoh masyarakat, agama dan para opinion leader lainnya –yang menginginkan reformasi– memperbaiki keadaan. Soeharto mengajak para tokoh itu untuk bersama mengambil jalan tengah membentuk kabinet reformasi, namun ditolak. Sejumlah menterinya sendiri, Ginandjar Kartasmita cs mengeluarkan pernyataan tak bersedia menjadi menteri lagi bila diajak. Soeharto yang menyadari betapa banyak pengikutnya telah balik badan –termasuk mereka yang dibesarkannya dalam kekuasaan– lalu memilih mengundurkan diri. Soekarno dan Soeharto senasib, mengalami para pendukung yang berloncatan pergi di momen akhir. Terutama oleh mereka yang dulu paling mengelu-elukan, mengkultuskan dan memitoskan.
Masuk “tikungan otoriter”
Bagaimana dengan Joko Widodo? Akademisi Australian National University, Thomas P Power, setahun sebelum Pilpres 2019, menyebut terjadi degradasi kualitas institusi-institusi demokratis di bawah pemerintahan Joko Widodo. Terjadi penanganan tidak tepat –karena kekurangpahaman– masalah konservatisme dan anti pluralisme. Meningkat dan makin kentara terjadi sikap represi terhadap kelompok oposisi. Joko Widodo memilih masuk ‘tikungan otoriter’ menjelang pemilihan umum 2019. Memanipulasi lembaga-lembaga penegakan hukum dan keamanan, demi tujuan-tujuan sempit, serta usaha-usaha terencana untuk menekan dan mengurangi oposisi demokratis. Apa yang digambarkan Thomas Power ini sangat mirip dengan yang terjadi di masa Soekarno.
Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas –yang juga adalah mantan Ketua KPK– pekan lalu pun memberikan penilaian bahwa Presiden Joko Widodo yang sipil lebih represif dan ganas dibanding Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang militer. Itu disampaikan di seminar daring mengenai RUU Omnibus Law, 7 Agustus 2020. “Mengapa Jokowi yang sipil seperti itu, bisa punya kekuatan powerful. Siapa di belakang dan sekitarnya? Garis besarnya elit oligarki dan elit bisnis, yang namanya sering beredar.”
Media juga mengutip ucapan sejajar, seorang analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun. “Mohon maaf harus saya katakan bahwa beberapa langkah Jokowi dalam satu tahun terakhir ini semakin kehilangan arah, makin jauh dari prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.” Pertama, sikap tak jelas saat terjadi demonstrasi besar mahasiswa bertema “reformasi dikorupsi”, yang mengakibatkan korban jiwa mahasiswa. Kemudian mengeluarkan Perppu Corona yang berpotensi sewenang-wenang menggunakan APBN. Lalu ada pembahasan RUU HIP dan Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Belum lagi janji pertumbuhan ekonomi 7 persen yang membohongi rakyat. Sebab faktanya, kini minus 5 persen lebih (law-justice.co, 9 Agustus 2020). “Saya kira dalam situasi yang semakin tidak tentu arah ini, elit politik mesti bersikap untuk mengambil langkah-langkah penting secara konstitusional,” kata Ubedilah.
Menjadi sorotan luas dan tajam, juga adalah soal pencalonan putera Joko Widodo, Gibran Rakabuming, sebagai Walikota Solo yang dalam medan opini publik dikonotasikan sebagai politik dinasti. Mungkin ini semua ada kaitannya dengan apa yang oleh banyak pengamat dikatakan menyusupnya neo-feodalisme ke seputar istana. Perilaku akrobat politik telah mengepung Joko Widodo, mengelu-elukannya, mencoba mengkultuskan dan memitoskannya, seraya mencari benefit.
LALU solusi berformula keras datang dari pengamat politik –salah satu inisiator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia– Rocky Gerung pekan lalu: Bila ingin Indonesia maju, presiden mundur atau dimundurkan. “Kalau pakai cara akademis, presiden tak mengerti.” (Realita TV). Kata Rocky, jika Presiden tidak dimundurkan pasti terjadi kekacauan. Kalau Presiden mau bertahan? Itu ibarat pohon pepaya berbuah nangka. Metafora ala Rocky, bukan “semangka berdaun sirih”…. (media-karya.com) #mediakaryaanalisa