74 Tahun Tertawa dan Menangis Bersama 7 Presiden (7)

Kisah Presiden ke-7

KEMUNCULAN Joko Widodo  di panggung kepresidenan 5 tahun lalu tergolong suatu fenomena yang cukup menakjubkan. Diri dan ketokohannya tergambarkan bagai kisah 1001 malam. Lihat dan baca saja sebuah komik buatan Gunawan (kelahiran 1985) yang diterbitkan sebagai narasi, “Tukang Mebel Jadi Presiden” dengan sub-judul “Kisah Perjalanan Jokowi dari Dunia Bisnis ke Panggung Politik”. Dunia bisnis yang dimaksudkan di sini, yang digeluti Jokowi, tentu saja bukan bisnis kelas atas dan raksasa seperti yang digeluti para konglomerat 9 Naga, Abrurizal Bakrie, Muhammad Jusuf Kalla atau Chairul Tandjung. Tetapi sebaliknya, panggung politik yang tercipta untuk Joko Widodo, tak tanggung-tanggung. Panggung kepresidenan. Menjadi Presiden ke-7. Kini, baru saja ia dilantik MPR 20 Oktober 2019 untuk periode kedua 5 tahun mendatang.

Tampilnya Joko Widodo, untuk beberapa saat dianggap betul-betul mewakili sebuah dongeng 1001 malam. Tersaji sebagai hiburan bagi rakyat, terutama di lapisan terbawah dan menengah. Fenomena ini sempat dianalisis menggambarkan betapa rakyat di lapisan tertentu di bawah, telah begitu kecewa terhadap kepemimpinan negara yang berlangsung di depan mata dari waktu ke waktu hingga menjelang 2014. Lalu, mencari sosok lain, yang terhadapnya mereka merasa dekat karena banyak kemiripan dengan diri dan seakan mencerminkan nasib mereka.

“Biarpun dia kurus dan gak ganteng, dia digadang-gadang rakyat agar kelak menjadi presiden,” demikian salah satu narasi dalam komik. “Beliau pemimpin yang rendah hati dan sangat peduli kepada rakyat. Ketika masih menjadi Walikota Solo, ia hampir tidak pernah mengambil gajinya…. Tetapi beliau mengonversi  gaji tersebut dengan uang pecahan 10.000 hingga 50.000 untuk dibagikan kepada warga yang benar-benar miskin.”

Gambaran kehidupan dalam kemiskinan, by design atau tidak, memang sangat dilekatkan sebagai citra pada diri Jokowi. “Jokowi lahir di Solo 21 Juni 1961 sebagai anak sulung dari empat bersaudara.” Ketika masih di SD, Jokowi tumbuh menjadi anak yang terbiasa hidup sulit. “Karena tak memiliki biaya membeli rumah, ayah Jokowi terpaksa memboyong isteri dan anak-anaknya sebagai penghuni liar di pasar kayu dan bambu gilingan yang terletak di selatan bantaran Kali Anyar. Saat itu Jokowi baru berusia lima tahun. Dari sinilah orang tua Jokowi mulai usaha berjualan kayu gergajian bahan baku perabot rumah tangga.” Tiga kali orangtuanya berpindah-pindah kontrakan karena tidak punya rumah. “Waktu di bantaran kali, rumahnya digusur pemerintah Solo tanpa ganti rugi.” Tempaan hidup seperti ini membuat Jokowi “tumbuh dengan sikap sederhana.” Mandiri dan tak mau menyusahkan orangtuanya. Berdagang apa saja untuk biaya sekolah. Mengojek payung. Membantu ibu-ibu membawa belanjaan, bahkan jadi kuli panggul.

Tergambarkan dalam komik, keberhasilan Jokowi melalui pendidikan dari SD sampai SMA, meski dalam keadaan serba sulit. Selalu mendapat angka peringkat atas di kelas. Lulus SMA dengan predikat juara umum dan menjadi pelajar dengan nilai terbaik. Ia masuk ke jurusan teknologi kayu di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada.”Masa kuliah ia jalani dengan amat prihatin, karena tak ada biaya hidup yang cukup. Kuliahnya disambi dengan kerja sana-sini untuk biaya makan.” Indeks prestasi kuliahnya bagus. Tapi cerita lain, di luar komik, menyebutkan prestasi Jokowi di kampus sebenarnya standar saja. Usai kelulusan, dua kali ia tidak lolos tes masuk Perhutani.

BUKU ‘TUKANG MEBEL JADI PRESIDEN’. Terligat betapa Jokowi dengan belitan kemiskinan dalam kehidupannya, memang lebih banyak bagaikan hidup dalam kisah 1001 malam. Cerita mirip dongeng seperti itu sempat sungguh memukau bagi sebagian kalangan akar rumput di masyarakat…. Tapi bagaimana kini? Pertanyaan paling aktual, adalah bagaimana periode kedua kepresidenan akan dilalui Joko Widodo? Padahal kabinet yang dibentuknya dengan showmanship ‘tinggi’ di Istana, ternyata sangat kompromistis dan secara kualitatif tak mengesankan…… (Gambar head, Joko Widodo di MPR 20 Oktober 2019) #MediaKarya

Memang Kisah 1001 malam

TERLIHAT betapa Jokowi dengan belitan kemiskinan dalam kehidupannya, memang lebih banyak bagaikan hidup dalam kisah 1001 malam. Cerita mirip dongeng seperti itu sungguh memukau bagi kalangan akar rumput di masyarakat. Pada sisi lain, ia berada dalam posisi ‘minim sejarah’. Namun berada dalam posisi minim ‘sejarah’ seperti itu –khususnya bila dibandingkan dengan Letnan Jenderal Purnawirawan Prabowo Subianto yang memiliki begitu banyak ‘sejarah’– bukan berarti Joko Widodo samasekali lepas dari sejumlah ‘beban’ masa lampau. ‘Sejarah’ tentang dirinya sendiri boleh minim –sehingga juga minim beban dari rekam jejak pribadi– tetapi suka atau tidak ia harus ikut memikul ‘beban sejarah’ masa lampau terkait partai pendukung utamanya, PDIP. Kini, juga akan memikul beban sejarah kekuasaannya sendiri yang telah tercipta selama 5 tahun ini.

Menjadi pertanyaan di awal masa kepresidenannya, apakah nanti Jokowi –yang untuk sementara di tahun 2014 masih diasumsikan bersih dari dosa kekuasaan– yang menjadi presiden dengan dukungan PDIP akan bisa ‘tenang’ menjalankan tugasnya? Pertanyaan seperti ini diajukan, karena tak berbeda dengan partai-partai ‘besar’ lainnya, PDIP bukanlah partai yang sepenuhnya bersih. Dalam berbagai kasus suap, gratifikasi, korupsi, ada saja nama anggota DPR atau tokoh asal PDIP yang terselip. Artinya, ada kumpulan ‘predator’ kekayaan negara yang bersarang di tubuh partai tersebut. Masih cukup jauh dari model partai ideal yang dibutuhkan Indonesia yang penuh persoalan kompleks dari waktu ke waktu.

Dalam konteks sejarah masa lampau, sebagai ‘pecahan’ dari PDI yang merupakan hasil fusi faitaccompli Jenderal Soeharto setelah Pemilihan Umum 1971, PDIP pada hakekatnya sekedar merupakan hasil pemugaran PNI dengan corak masa Nasakom Soekarno (1960-1965). Bersama Soekarno, PNI masa Nasakom –dengan penamaan PNI Ali-Surachman– adalah pelaku penyimpangan politik.

Jokowi dalam realita politik dan kekuasaan

TERSURAT maupun tersirat, dalam berbagai kesempatan Megawati Soekarnoputeri memperlihatkan keinginan agar Jokowi, menjadi ‘anak ideologi’ Soekarno. Dalam Rapat Kerja Nasional PDIP 6 September 2013 di Ancol, sebelum Pilpres, Megawati memilih Joko Widodo membacakan kutipan yang disampaikan Soekarno menjelang akhir kekuasaannya, Dedication of Life. Megawati meyakini Jokowi mendapat getaran makna dari kutipan  sang ayahanda.

Tatkala Jokowi sudah dipastikan sebagai calon Presiden yang akan diajukan PDIP pada 2014, seorang petinggi PDIP mengatakan bahwa saat menjadi presiden, Jokowi harus menjalankan konsep Trisakti yang pernah disampaikan Soekarno pada masa kekuasaannya. Konsep Trisakti, disarikan dari Pidato 17 Agustus 1963 Presiden Soekarno. Terdiri dari 3 pokok pikiran: Kesatu, berdaulat secara politik; Kedua, mandiri secara ekonomi; dan Ketiga, berkepribadian secara sosial-budaya.

Namun agaknya, tak satu pun dari pokok-pokok Trisakti itu –kalaupun konsep Soekarno ini tepat dijadikan ukuran penilaian– bisa tertangani dengan baik dalam realita 5 tahun masa kepresidenan 2014-2019. Siapa yang berdaulat secara politik? Tak lain hanya kaum oligarki di tubuh partai-partai dan perorangan oligarch di struktur trias politika kekuasaan negara. Secara bersama-sama merekalah penguasa sesungguhnya dalam pengendalian negara, bukan rakyat sesuai kaidah demokrasi sesungguhnya. Rakyat dan negara tidak mandiri secara ekonomi. Akumulasi uang hasil eksploitasi kekayaan alam dikuasai segelintir orang –dalam pola wealth driven secara ekonomi, politik, pemerintahan dan hukum. Korupsi ternyata berkecamuk deras juga dalam 5 tahun masa Jokowi. KPK tak henti-hentinya menangkapi para koruptor di tubuh rezim –eksekutif, legislatif dan judikatif. Di satu sisi itu bisa dianggap keberhasilan pemberantasan korupsi –oleh KPK– tetapi di pihak lain mengindikasikan betapa rezim sesungguhnya penuh dengan kaum korup. Artinya, yang berdaulat sesungguhnya adalah kelompok korup, yang sewaktu-waktu akan berhasil membunuh KPK, selain akan membunuh kedaulatan rakyat seluruhnya.

Apakah pembangunan ekonomi berhasil? Mengikuti arus pembelahan politik, dunia opini pun mengalami pembelahan. Pemerintah dan kalangan pendukung kekuasaan mengklaim serba keberhasilan, sementara pada kutub lain di masyarakat dan kalangan pengamat tergambarkan bahwa ekonomi kita gagal. Di tengah-tengahnya adalah rakyat yang bingung dalam pertanyaan siapa yang berkata benar dan siapa yang berbohong. Realitanya, sangat terasakan sungguh sulit kehidupan sebagian besar rakyat dan kasat mata betapa jurang kaya-miskin menganga lebar.

Dan apakah bangsa ini berhasil berkepribadian secara sosial budaya? Entah. Dalam kenyataan kita semua menghadapi fenomena kuatnya perilaku korupsi, perilaku anti demokrasi, budaya pencitraan yang tak proporsional karena bercampur kebiasaan berbohong kepada rakyat, perilaku berbau feodalistis dan pengkultusan tokoh, budaya asal atasan senang. Dan, sederetan daftar panjang perilaku negatif lainnya, yang kadangkala tak mampu terucapkan lagi…..

Dan kini, pertanyaan paling aktual, adalah bagaimana periode kedua kepresidenan akan dilalui Joko Widodo? Padahal kabinet yang dibentuknya dengan showmanship ‘tinggi’ di Istana, ternyata sangat kompromistis dan secara kualitatif tak mengesankan…… (media-karya.com/socio-politica.com) #mediakaryaanalisa

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s