Gelombang Stigmatisasi Kampus Indonesia

TENTU tak perlu menutup mata bahwa paham radikalisme sudah mengarus masuk kampus-kampus Indonesia pada beberapa tahun terakhir. Namun,  stigmatisasi kampus berlabel radikalisme –dengan tema pro khilafah sekaligus anti Pancasila– bagaimana pun sangat berlebihan. Terkesan serampangan, tak selektif dalam penilaian, dan sedikit berbau anti akademis. Selain itu, juga berbau politik praktis kalangan kekuasaan, dan karenanya beraroma represif. Terasa represif terutama karena timing pelontaran isu dan penindakannya berdekatan dengan kegiatan demokratis pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden  2019.

Bila beberapa tahun sebelumnya, aparat keamanan hanya sebatas menuding terpaparnya kampus-kampus Indonesia dengan radikalisme, maka pada 2 Juni 2018 ini aparat BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) sudah masuk kampus melakukan penggrebegan terhadap yang mereka sebut kelompok radikal di Universitas Riau (UNRI). Selang beberapa hari setelahnya, dua perguruan tinggi negeri terkemuka melakukan semacam auto debet, memberhentikan (sementara) kalangan pengajarnya dari jabatan-jabatan masing-masing karena dianggap berpaham radikal dan atau anti Pancasila. Universitas Diponegoro 6 Juni 2018 memberhentikan Profesor Suteki –yang sudah menjadi pengajar Pancasila tak kurang 24 tahun lamanya– dengan tuduhan radikalisme setelah menjadi saksi ahli dalam kasus HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Menyusul, Universitas Gajah Mada, 8 Juni, melakukan tindakan serupa terhadap dua orang dosennya.

Sementara itu, rektor dua kampus perguruan tinggi negeri, Rektor IPB dan ITS, memberikan tanggapan yang bersifat menyesali dan menolak stigmatisasi, ketika kebanyakan rektor lainnya justru terkesan masih gamang menghadapi penindakan dan tudingan radikalisme terhadap kampus mereka. Meski, tak terburu-buru melakukan auto debet.

PROFESSOR SUTEKI. Universitas Diponegoro 6 Juni 2018 memberhentikan Profesor Suteki –yang sudah menjadi pengajar Pancasila tak kurang 24 tahun lamanya– dengan tuduhan radikalisme setelah menjadi saksi ahli dalam kasus HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Foto head, Rektor ITS Prof Ir Joni Hermana dalam Tausyiah bulan Ramadhan: Menghadapi Kematian…..(foto-foto download)

Sebelumnya, Direktur Pencegahan BNPT Brigadir Jenderal Hamli mengatakan bahwa hampir semua perguruan tinggi negeri terpapar radikalisme. Seraya itu, ia menyebut tujuh PTN yang terpapar, yaitu Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi 10 November Surabaya (ITS), Universitas Diponegoro, Universitas Airlangga dan Universitas Brawijaya. Padahal, perguruan-perguruan tinggi itu sebenarnya telah melakukan teguran atau penindakan internal terkait keterlibatan beberapa dosen dengan HTI yang telah dinyatakan terlarang oleh pemerintah melalui cara yang tak lazim.

Terhadap tudingan itu, Rektor IPB Dr Arif Satria meminta BNPT melakukan klarifikasi. Pernyataan BNPT dianggap Arif menjadi isu yang merugikan IPB, “karena stigmatisasi itu bagian dari penyederhanaan dan generalisasi terhadap masalah-masalah yang ada.” Rektor ITS Prof Ir Joni Hermana, menanggapi cukup keras. “Saya akan bela ITS dengan seluruh kemampuan saya untuk melawan stigma negatif tentang ITS ini. ITS bukan kampus radikal, ITS bukan kampus teroris. ITS adalah kampus para calon generasi pemimpin bangsa Indonesia yang mempunyai integritas dan loyalitas sebagai bangsa, yang mencintai negaranya, NKRI. Saya sebagai rektor, akan membela setiap civitas akademica ITS, terutama mahasiswanya, agar mereka merasa nyaman mempelajari ilmu pengetahuan maupun ilmu kehidupan selama di kampus ini. Saya tidak akan membiarkan pihak luar menyebar ketakutan pada mahasiswa ITS, bahkan untuk sekedar mempelajari agamanya sendiri di sini.” Lalu menegaskan, “Saya tahu bagaimana membedakan mereka yang menjadi pengkhianat bangsa dan negara ini. Jangan ajari kami dengan stigma yang dilahirkan hanya karena praduga dan paranoid kepentingan politik tertentu.”

Pandangan Rektor ITS ini bisa disepakati. Tetapi salah satu persoalan utama selama ini di Indonesia, para penguasa –pada berbagai tingkat, mulai dari pucuk pimpinan negara hingga para penegak hukum dan ketertiban di lapis terbawah– pada umumnya tak cukup memiliki tradisi pemahaman terhadap perguruan tinggi sebagai pusat kecendekiawanan. Tak cukup memahami pola pemikiran akademis lengkap dengan kebebasan akademis yang dimiliki kaum intelektual maupun calon intelektual kampus. Para penguasa lebih memahami sistem represi –lengkap dengan wewenang sesuai teks perundangan-undangan yang dimilikinya– dalam konteks mempertahankan kekuasaan. Khususnya terhadap aksi dan gerakan mahasiswa. Jelas berbeda dengan pemahaman kalangan kampus –sebagai centre of excellence– mengenai demokrasi yang antara lain berupa kebebasan menyatakan pikiran, pemahaman tentang kebenaran sebagai dasar menemukan keadilan. Hasil akhirnya, klasik, makin melebarnya gap antara penguasa dan kaum intelektual kampus.

Perbedaan pemahaman dan praktek kehidupan sehari-hari yang dijalani dengan sendirinya membentuk kualitas integritas yang berbeda. Tetapi pasti selalu ada pengecualian, walau secara empiris hanya berskala amat kecil. Bila ada kaum intelektual masuk dalam kekuasaan atau pemerintahan, biasanya akan lebih terbawa oleh kecenderungan birokratis dan kecenderungan dasar dari kekuasaan itu sendiri.

DI ANTARA dua sisi, yaitu kalangan pemerintah dan kalangan intelektual kampus, bisa terdapat titik temu keinginan melindungi kampus dari paham radikal. Tentu ada cara untuk mengembangkan titik temu itu. Bisa meminjam formula Azyumardi Azra –seorang tokoh yang ada di perbatasan antara dunia akademis dan atmosfir kekuasaan negara– “perlu strategi dan cara yang berkeadaban untuk melindungi kampus dari paham radikal”. Tanpa ada yang harus tergelincir… (media-karya.com)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s