DALAM bayang-bayang ketidakpastian situasi ekonomi global, saat ini Indonesia memiliki ‘kesibukan’ tersendiri mencari dan mempersiapkan tokoh-tokoh calon pemimpin negara 2019-2024. Tidak diharapkan di sini, dua sisi –ekonomi dan politik– saling membentur dan menciptakan degradasi ganda yang akan menambah penderitaan dan kemalangan bangsa.
Per saat ini –berdasarkan data terakhir, Mei 2018 yang diungkap ekonom INDEF, Enny Sri Hartati di Harian Kompas (10/7)– ekspor Indonesia tumbuh 12,47 persen, tetapi impor lebih melesat lagi naik 28,12 persen dalam setahun. Dan menurut BPS, neraca perdagangan Indonesia akhir Mei 2018 mencapai defisit USD 2,835 miliar. Suatu situasi yang bisa memberi dampak buruk tak terduga, secara berkepanjangan. Sementara itu nilai tukar USD tetap menanjak, kini mendekati 14.500 rupiah dan sewaktu-waktu bisa menembus 15.000 rupiah.
Semacam ketidakpastian juga masih meliputi bursa kepemimpinan nasional. Sejauh ini baru bisa dipastikan munculnya kembali ke dalam gelanggang dua tokoh ulangan dari Pemilihan Presiden 2014, yaitu Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Namun, hingga kini keduanya masih harus memecahkan puzzle tentang siapa yang sebaiknya mereka jadikan calon pendamping sebagai Wakil Presiden. Dan dalam waktu bersamaan masih dinantikan pula kepastian kemungkinan lahirnya poros ketiga untuk menghadirkan tokoh alternatif Presiden Indonesia selain Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Dua kekuatan politik yang diperkirakan paling mungkin melahirkan poros ketiga, adalah Partai Demokrat di bawah Susilo Bambang Yudhoyono, serta Partai Amanat Nasional yang tak lagi menawarkan calon Wakil Presiden baik kepada Joko Widodo maupun Prabowo Subianto.

Selama beberapa bulan terakhir ini, ada begitu banyak kekuatan politik dan kekuatan masyarakat menawarkan calon-calon Wakil Presiden, terutama untuk mendampingi Joko Widodo yang akan maju untuk masa jabatan kedua. Sementara itu, Prabowo Subianto kelihatannya lebih bersikap menunggu. Selain itu ia diterpa rumor bahwa pendukung uatama keuangannya, Hashim Djojohadikusumo yang adalah adiknya sendiri, tak sanggup lagi menyiapkan dana yang cukup, sementara belum ada kekuatan pemilik uang lainnya yang tampil untuknya. Asia Times, 2 Juli lalu melalui wartawannya di Jakarta, John McBeth menuliskan bahwa, kecuali terjadi perubahan pada menit-menit terakhir, Presiden Indonesia Joko Widodo hampir dipastikan menunjuk Ketua Umum Partai Golkar –yang juga adalah Menteri Perindustrian– Airlangga Hartarto sebagai pasangannya dalam Pemilihan Presiden April 2019 mendatang. Menurut Asia Times, pilihan Jokowi terhadap Hartarto menjadi petunjuk kuat adanya ketergantungan pada Golkar sebagai sekutu terpercaya dalam mengamankan target 55 persen suara pada 2019. Dengan memilih Hartarto sekaligus berarti Widodo telah mengenyampingkan kekuatan politik Islam sebagai kartu penentu di tingkat nasional. Berdasarkan hasil 17 dari 34 Pilkada serentak 27 Juni lalu disimpulkan bahwa penggunaan tema kekuatan Islam sebagai kartu politik tak berlaku seperti pernah dialami Basuki Tjahaja Purnama yang tersingkir dalam Pemilihan Gubernur DKI lalu.
Skenario dan Kartu As. Tetapi kemarin, usai pertemuan Joko Widodo dengan Megawati Soekarnoputeri Minggu 8/7 di Istana Batutulis Bogor, beredar berita yang belum terkonfirmasi ulang bahwa Ketua Umum PDIP itu ‘hanya merestui’ Mahfud MD sebagai calon pendamping Joko Widodo 2019. Kalau memang berita ‘restu’ Mega ini benar, tentu skenario bergandengan dengan Golkar dan semua skenario lainnya bubar. Berdasar pengalaman yang sudah-sudah, tipis kemungkinan Joko Widodo melawan kehendak pemimpin partai pendukung utamanya ini. Kecuali, seperti yang coba dispekulasikan banyak pihak, bahwa Joko Widodo akan menjadikan Golkar sebagai andalan baru. Tetapi apa kekuatan Jokowi bila tanpa pijakan lagi di PDIP? Dan apa artinya Jokowi bagi Golkar bila ia ini lepas dari PDIP?
Salah satu kartu as Jokowi selama ini adalah dukungan politik PDIP selaku partai peraih suara terbesar 2014. Dua kartu pelengkap lainnya adalah dukungan hasil pencitraannya yang massive di publik dan posisinya sebagai presiden incumbent. Dua kartu as yang disebut terakhir ini hanya mungkin dan bisa bernilai tinggi bila dukungan calon presiden berdasarkan hasil pemilihan umum legislatif terbaru yang diselenggarakan lebih dulu sebelum pemilihan presiden, seperti pada tahun 2004. Tetapi suatu kejutan bisa saja terjadi, out of the box. Jokowi saat ini mengantongi begitu banyak dukungan tanpa reserve dari beberapa partai, selain Golkar, ada Nasdem, Hanura dan PKPI. Bukan hanya PDIP yang menjadi andalan. Bahkan di antara partai-partai yang bersikeras mengajukan pimpinannya sebagai pendamping Jokowi bisa saja ada unsur yang bersedia membuang tokohnya bila dianggap tidak realistis. Ini sisi lain dari kartu as popularitas dan kartu as incumbent.
Sejauh ini terdepan dalam pengajuan calon pendamping adalah PKB untuk Muhaimin Iskandar dan PPP untuk Romahurmuziy. Berikutnya ada yang menyebut-nyebut nama Sri Mulyani Indrawati, dan Jusuf Kalla yang tampaknya terhalang dengan penolakan MK terhadap judicial review tentang masa jabatan dua kali sebagai presiden/wakil presiden. Bahkan sempat juga ada gagasan mendampingkan Prabowo sebagai Wakil Presiden bagi Joko Widodo. Lalu ketika Muhammad Zainul Majdi –yang lebih dikenal sebagai Tuan Guru Bajang yang sebentar lagi mengakhiri masa jabatan sebagai Gubernur Nusa Tenggara Barat– beberapa hari lalu mengeluarkan pernyataan mendukung Jokowi dua periode, namanya tiba-tiba ‘masuk’ nominasi sebagai calon Wakil Presiden. Langsung jadi sasaran tembak. Padahal, selama ini ia sempat dikampanyekan banyak orang sebagai salah satu calon Presiden alternatif. Sebelumnya beberapa nama juga ditampilkan sebagai alternatif, seperti Jenderal Purnawirawan Gatot Nurmantyo, ekonom Rizal Ramli, serta Anies Baswedan. Tetapi Anies lebih banyak disebut sebagai calon pendamping bagi Prabowo. Jika maju sendiri melalui poros lain sebagai Presiden, ia akan dianggap mengkhianati janji kepada Prabowo. Dan, kemudian Amien Rais –yang nampaknya hanya untuk meramaikan suasana dan sebenarnya tidak betul-betulan punya niat. But who knows akan ada tokoh kejutan yang muncul pada menit-menit terakhir? Pak Harto pernah bilang “Yang siap tidak jadi. Yang kepingin gagal. Yang merasa bisa, gugur.” Dan yang muncul adalah yang andap asor... Ini nilai yang masih banyak dipegang dalam budaya Jawa….
Poros Ketiga. Namun terlepas dari itu, pada sisi lain dari gelanggang mungkin yang termasuk paling ditunggu adalah terciptanya poros ketiga yang akan melahirkan alternatif baru untuk posisi Presiden Indonesia. Untuk yang satu ini, orang akan menoleh ke Susilo Bambang Yudhoyono. Mungkin PAN akan bisa turut berperan. Menurut analisa dan informasi yang belum pasti, ia akan memajukan puteranya Agus Harimurti Yudhoyono. Namun, menyadari AHY yang masih perlu pengalaman dan jam terbang politik yang lebih banyak, AHY hanya akan diproyeksikan sebagai Wakil Presiden poros ketiga. Artinya, diperlukan seorang tokoh senior untuk menjadi Presiden –yang akan dibatasi usia agar tak perlu berpikir menjalani dua masa jabatan– guna memandunya dengan tulus dalam kancah kepemimpinan negara selama lima tahun ke depan. Sehingga, lima tahun berikutnya dia siap menjadi nomor satu.
Sepertinya, bila tak terkendala batasan konstitusi, Muhammad Jusuf Kalla yang juga adalah aktivis 1966 di masa mudanya bisa menjalani peran itu. Lalu siapa? Sepertinya sangat sedikit tokoh yang sesuai. Paling mungkin mencarinya di kalangan sipil eks perjuangan 1966 yang punya reputasi baik dalam dunia pergerakan dan organisasi serta pemerintahan, yang umumnya kini telah berusia 72 tahun ke atas. Bukankah kakek AHY, almarhum Letnan Jenderal Purnawirawan Sarwo Edhie Wibowo di masa lampau punya kedekatan dan idealisme perjuangan yang sama dengan sejumlah tokoh-tokoh pergerakan 1966? Kalau alternatif ini bisa dicipta, memang, belum tentu bisa memenangkan kontestasi, tetapi belum tentu juga kalah. Karena, ada hal baru yang menarik di sini, yakni bersatunya generasi yang historis, idealis pada masanya sekaligus berkualitas karena pengalaman, dengan generasi baru potensil yang penuh idealisme. (media-karya.com)