BUKAN dramatisasi, tetapi memang benar bangsa ini telah menjalani 4 tahun terakhir seakan mengalami gempa tektonik yang bukan hanya menyebabkan retakan tetapi pembelahan politik. Lengkap dengan suasana emosional pengiring. Gempa politik ini memang bukan pengalaman pertama, karena seakan ada siklusnya, yang berulang dari waktu ke waktu. Pusat dan sumber gempa kali ini ada pada perseteruan Joko Widodo versus Prabowo Subianto.
Secara mendasar, kendati telah bersama selama 73 tahun dalam Indonesia merdeka, bangsa ini belum berhasil menciptakan budaya dan tata-krama bersama dalam tata-pergaulan antar manusianya. Tampaknya perilaku sosial pada bangsa Indonesia ini masih bermasalah, seperti kata ahli psikologi Hatta Albanik yang di masa mahasiswa adalah aktivis gerakan kritis dari kampus Universitas Padjadjaran. “Karena perilaku sosial merupakan induk dari perilaku politik, dengan sendirinya kita akan bermasalah pula dalam berperilaku politik.” Dan tampaknya semua masalah yang kita alami dalam kehidupan bangsa dan negara ini bersumber pada gangguan dari perilaku politik yang dipraktekkan dalam kehidupan sehari-harinya.
Selain caci maki, bertebaran kebohongan
Sadar atau tidak, pembelahan politik yang tereskpresikan setiap saat dalam berbagai bentuk pada kehidupan sehari-hari selama bertahun-tahun, telah menciptakan kegugupan dan kecemasan meluas di tengah masyarakat. Betapa tidak, setiap hari publik mendengar dan membaca caci maki melalui berbagai media untuk tokoh yang dikultuskan. Selain caci maki, bertebaran berbagai kebohongan yang kadangkala dimaksudkan sebagai pencitraan dan atau anti pencitraan. Padahal, berbohong dan menipu sesama manusia tanpa peduli apa akibatnya akan berujung pada kesengsaraan akumulatif, tulis Ir Effendi Siradjuddin dalam Memanusiakan Manusia. Dan situasi anxiety lalu menjadi-jadi karena dalam kehidupan sehari-hari pada waktu yang sama, masyarakat –khususnya akar rumput berekonomi lemah– juga mengalami tekanan nyata harga-harga yang tak henti menanjak.

Menurut mereka yang berada di luar kekuasaan dan mengambil sikap oposisi, tekanan kenaikan harga yang tak terkendali merupakan salah satu tanda kegagalan pemerintah menangani ekonomi. Namun sementara itu, kalangan pemerintahan menyebutkan angka kemiskinan jauh menurun dari masa-masa sebelumnya.
Dari dua klaim yang berbeda itu, karena perbedaan standar pengukuran, sesungguhnya yang tersimpulkan tidak bisa tidak adalah realita sesungguhnya berupa melebarnya ketidakadilan sosial-ekonomi di tengah masyarakat. Itu sebabnya yang selalu menengok lantai ‘atas’ panggung kehidupan mengatakan kemiskinan telah makin teratasi, sedang yang rajin mengamati kolong panggung berkata sebaliknya. Mereka yang menarasikan secara objektif keadaan di atas panggung maupun di kolong, disudutkan oleh sikap hitam-putih kedua mayoritas perpihakan, menjadi kelompok yang ditolak dua belah pihak. Padahal kelompok ini umumnya terisi kalangan akademisi dan kaum intelektual yang bisa berkontribusi secara konsepsional untuk kemajuan bangsa. Dikalahkan oleh kelompok-kelompok yang lebih ahli berkonspirasi demi mencapai tujuan-tujuan kekuasaan pragmatis.
Saling memangsa seperti binatang
Menggunakan referensi Thomas Hobbes dan Plautus, penulis kolom politik Kompas Subhan SD (25/8) menulis bahwa manusia sering menikam sesama manusia. Narasi yang terbangun di politik terlihat dominan soal kekerasan, kekejaman, saling menjatuhkan. Perebutan kekuasaan menjadi target dari nafsu kekerasan tersebut. “Dengan konteks itu, dapat ditelusuri bagaimana kerasnya pertarungan di panggung demokrasi, seperti pilkada atau pilpres. Sejak Pilpres 2014, pertarungan sengit telah membelah dua kubu: pendukung Joko Widodo dan pendukung Prabowo Subianto.” Oleh karena karakter yang saling memangsa seperti sifat binatang, sampai-sampai dua kubu itu saling mengejek dengan sebutan binatang –kecebong dan kampret. “Perdebatan di antara dua kubu itu di media sosial sungguh tidak produktif, bahkan destruktif.”
Munculnya tulisan ini di Harian Kompas menarik karena dengan sedikit saja pengecualian selama 4 tahun terakhir ini, publik Indonesia boleh dikatakan telah kehilangan media mainstream sebagai jangkar referensi objektif. Secara khusus, yang dimaksud di sini terutama adalah Harian Kompas dan Majalah Tempo. Keduanya, selama 4 tahun terakhir ini sudah lebih banyak menjelma sebagai media yang berpihak secara politik. Hilang kecendekiawanan dan ‘meninggalkan’ posisi agen pencerdasan bangsa. Hanya sesekali mereka kembali ke khittahnya dengan sikap kritis, seperti terjadi insidental beberapa waktu belakangan. Tapi kita belum tahu, bagaimana di hari-hari esok. Padahal, hanya media mainstream yang bisa menangkal proses destruksi yang sedang terjadi di media-media sosial.
Ada 3 hal bisa dilakukan
Karena kembali terperosok ke dalam pola alternatif sempit seperti Pemilihan Presiden 2014, kita dihadapkan lagi pada pilihan the bad among the worst. Bangsa ini terantuk lagi untuk kedua kali di batu yang sama. Kita belajar dari sini, untuk 5 tahun mendatang, agar bisa merubah alternatif sempit yang selalu terfaitaccompli ke hadapan kita.
Ada setidaknya tiga hal yang bisa dipikirkan dalam memperbaiki sistem. Pertama menurunkan angka prosentase presidential threshold agar lebih masuk akal dan adil, sehingga favourable untuk tiga alternatif. Kedua, merubah kembali urutan penyelenggaraan pemilihan umum legislatif menjadi lebih dulu dari pemilihan presiden, agar presidential threshold tak lagi menggunakan angka basi. Ketiga, semua warganegara perlu lebih mencerdaskan diri dan dalam hal ketokohan tak ikut terjerumus dalam pola kultus individu. (media-karya.com) #mediakaryaanalisa