TERMAKAN angstpsychose kelompok kekuasaan aktual –koalisi pemilik otot politik dengan pemilik akumulasi uang– dalam ‘ketakutan’ dan godaan sebagian pelaku pers Indonesia menjinakkan diri. ‘Sukarela’ memasukkan diri ke medan kendali kekuasaan. Banyak yang melakukan self censor atau paling tidak tutup mata terhadap berbagai masalah krusial per saat ini. Sebagian lainnya bahkan ikut dalam akrobatik politik dan kekuasaan, menjalankan tugas-tugas yang bertentangan dengan idealisme pers. Melakukan framing dan blackout atas berbagai peristiwa sesuai perintah melalui the invisible hands. Khususnya terhadap peristiwa atau pernyataan yang tak disenangi kalangan kekuasaan politik dan sebagian kekuasaan negara maupun kekuasaan ekonomi. Faktanya, pemilik media pers saat ini hampir seluruhnya adalah kalangan kekuasaan ekonomi maupun politik.
Seraya mengutip penulis Selandia Baru, Lance Morgan, “memanipulasi media sama dengan meracuni suplai air suatu negara”, wartawan senior Hersubeno Arief mengatakan pers Indonesia memasuki masa gawat darurat. “Pemilihan Presiden 2019 membawa media dan dunia kewartawanan di Indonesia memasuki sebuah episode terburuk sepanjang sejarah pasca-Reformasi. Situasinya bahkan lebih buruk dibandingkan dengan era Orde Baru. Kooptasi dan tekanan hukum oleh penguasa, sikap partisan para pemilik media dan wartawan, serta hilangnya idealisme di kalangan para pengelola media dan wartawan membuat mereka tanpa sadar melakukan ‘bunuh diri’ secara massal.”
Senjata framing dan black out
“Media-media arus utama sebagian besar larut dalam sebuah ‘kejahatan besar’ yang disebut sebagai framing (membingkai berita), atau di Indonesia dikenal dengan istilah ‘pemelintiran’ dan ‘menggoreng isu’. Dua istilah terakhir ini bahkan jauh lebih jahat dari framing. Framing dalam pengertian umum adalah praktik membingkai sebuah berita, sehingga informasi yang sampai kepada pembaca atau pemirsa berbeda dengan fakta sebenarnya.”

Kecaman pedas ini disampaikan Hersubeno 6 hari sebelum peristiwa Reuni 212. Dan tak terlalu lama, tanggal 2 Desember muncul bukti pembenaran atas kecaman-kecaman itu. Perlakuan hampir seluruh media pers –cetak, elektronik dan online–yang melakukan framing, black out maupun pemutarbalikan fakta di seputar Reuni 212 menjadi bukti pembenaran itu. Padahal dari sudut pandang jurnalistik, bagaimana pun peristiwa terhimpunnya massa besar dalam skala jutaan, yang belum pernah terjadi sebelumnya, bagaimana pun adalah peristiwa besar yang layak jadi pemberitaan. (Baca, 212: Perlawanan Senyap Terhadap Ketidakadilan, https://bit.ly/2G4Anwr).
“Pemberitaan media massa tentang Reuni 212 di Monas Ahad (2/12), membuka tabir yang selama ini coba ditutup-tutupi. Kooptasi penguasa, kepentingan ideologi, politik dan bisnis membuat pers menerapkan dua rumus baku, framing, dan black out.” Peristiwa besar yang menjadi sorotan media-media internasional itu sama sekali tidak “menarik” dan tidak layak berita, bagi sebagian besar media nasional yang terbit di Jakarta. Hersubeno mengupas satu-satu konten media yang mengabaikan ‘penglihatan’nya atas peristiwa tanggal 2 Desember itu, termasuk dua harian terkemuka Kompas dan Koran Tempo.
Mengabaikan kemuliaan tugas pers
Burung onta takkan melihat banyak peristiwa karena suka menghindar dengan membenamkan kepala ke dalam tanah. Tapi pers memang semestinya bukan burung onta. Sebuah kutipan muncul di halaman 6 Harian Kompas Jumat 14 Desember 2018 ini tentang kemuliaan tugas pers. “Kemerdekaaan pers ada dalam rangka agar wartawan bisa menjalankan pekerjaannya untuk memenuhi hak atas informasi (rights to information) dan hak untuk tahu (rights to know) dari masyarakat yang notabene adalah menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya (obligation to fulfil).” Ini diangkat dari pesan Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo dalam pengantar Jurnal Dewan Pers edisi 17 Juli 2018.
Dalam konteks situasi manipulatif pers sekarang seperti digambarkan Hersubeno, mungkin bisa dipahami kegusaran Prabowo Subianto sebagai kompetitor terhadap petahana Joko Widodo. Tak harus menjadi pendukung Prabowo terlebih dulu, untuk bisa menyimpulkan bahwa pers memang cukup banyak melakukan framing dan sikap tak adil terhadap Prabowo melalui perilaku belah bambu. Namun, di sisi lain perlu juga mengeritik sikap reaktif Prabowo yang kadangkala over dosis dan impulsif, dan tak memilih melakukan hak jawab.
Tentu ada sebabnya kenapa sebagian terbesar pers –khususnya di alur mainstream– sampai mengabaikan hak-hak publik dalam konteks kemuliaan tugas pers. Tak bisa tidak, mesti ada tekanan yang lebih kuat daripada timbang rasa moral memenuhi kewajiban. Hersubeno menyebutnya kooptasi dan tekanan penguasa.
Pers bertugas menjembatani kepercayaan antara rakyat dan penguasa. Optimisme dan kepercayaan masyarakat, tidak terletak pada apa pun selain kenyataan objektif dari apa yang telah dan belum dilakukan, serta berhasil atau tidak berhasilnya apa yang dilakukan suatu pemerintahan. Pers sebagai kekuatan ke-4 dalam demokrasi yang harus menyampaikannya ke publik. Dan kalaupun ada kritik, atau pengutaraan fakta tentang kejadian negatif dalam perekonomian maupun dalam pengelolaan negara secara keseluruhan, tidak dengan sendirinya pers sedang menjalankan peranan negatif. Malah bila sebaliknya pers turut serta menutup-nutupi suatu informasi jujur dan layak diketahui masyarakat –meskipun pahit dan berseberangan dengan kepentingan kekuasaan– justru itu merupakan kejahatan terhadap publik. (Rum Aly, dalam socio-politica.com 26 Agustus 2015).
Langkah surut dan kejatuhan rezim
DIAKUI atau tidak, pers bebas dan kritis dalam dunia nyata kehidupan politik-kekuasaan rata-rata berada pada posisi seberang bagi kalangan penguasa, menurut umumnya kriteria kalangan penguasa. Dalam negara dengan sistem otoriter, pers harus ditundukkan sebagai corong kekuasaan. Dan dalam negara dengan demokrasi semu, pers secara retoris disebut kekuatan keempat dan dibutuhkan untuk mendukung kepentingan, namun akan ditusuk dari belakang saat bersikap kritis. Hanya dalam negara yang demokrasinya telah berjalan baik, pers diterima sebagai faktor objektif yang ikut menjaga keseimbangan demokrasi, menjandi jangkar referensi publik tentang kebenaran. Meski tak jarang pers itu sendiri tergelincir karena mabuk kekuasaan sebagai kekuatan keempat. Ketika demokrasi menjadi sangat liberalistik dan tersubordinasi oleh kehidupan ekonomi yang kapitalistik, misalnya, pers bisa menjelma sebagai perpanjangan tangan kepentingan kaum kapitalis dan kolaborasi busuk kekuasaan pada umumnya.
Pers Indonesia saat ini seakan melangkah surut ke masa Soekarno dan kemudian masa Soeharto. Di masa Soekarno, khususnya dalam kurun 1960-1965, pers lebih banyak menjalankan fungsi agitprop –agitasi dan propaganda– bagi pengendali kekuasaan. Jenjang hirarkinya adalah, setiap media pers atau suratkabar harus memiliki partai atau organisasi politik induk. Tanpa itu, tak ada izin terbit. Maka antara lain ada Harian Rakjat sebagai organ pers PKI, Suluh Indonesia/Suluh Marhaen sebagai corong PNI, dan Duta Masjarakat milik Partai NU. Ketiga kekuatan politik induk ini adalah unsur jangkar dalam sistem Nasakom.
Pers tunduk kepada induk politiknya, dan sang induk tunduk kepada Pemimpin Besar Revolusi. Pola ini kemudian juga berlanjut ke masa Soeharto. Ciri represifnya tetap sama, hanya beda langgam dan penamaan. Pers yang tak bersedia mengakomodasikan diri tak terlindungi dan menjadi sasaran pembreidelan.
CATATAN sejarah menunjukkan, seluruh kekuasaan di Indonesia yang tidak menyukai kritik, baik dari mahasiswa dan dari publik pada umumnya, maupun kritik pers, dan menghadapinya dengan kekerasan serta berbagai sikap represif –melibatkan militer atau polisi yang berperilaku ala militer– cepat atau lambat akan berakhir. Tumbang dan berakhir oleh gerakan-gerakan kritis dan atau gerakan moral dari tengah masyarakat (media-karya.com) #mediakaryaanalisa