DAMPAK publikasi survei Harian Kompas 20-22 Maret ternyata menggelinding jauh dan jadi bahan diskursus tajam hingga kini. Seorang pembicara di forum ILC tvOne Selasa malam (26/3), sampai mengira-ngira bahwa pidato bernada marah Joko Widodo di Yogyakarta Sabtu 23 Maret, sedikit banyak terpicu publikasi survei Kompas –meski nama media nasional itu tak disebut di situ. “Empat setengah tahun saya difitnah-fitnah, saya diam. Dijelek-jelekin saya juga diam. Dihujat, dihujat-hujat, dihina-hina saya juga diam. Tetapi hari ini di Yogya, saya sampaikan saya akan lawan!” kata Joko Widodo dengan nada luar biasa tinggi di akhir.
Dua peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) seakan menyambung hasil survei Kompas tentang penurunan elektabilitas Calon Presiden petahana di bawah 50 persen, menyebutkan penurunan yang telah berlangsung selama 6 bulan itu disebabkan terjadinya migrasi pemilih. Menurut Kepala Pusat Penelitian LIPI Firman Noor, migrasi pemilih itu terjadi karena pendukung Jokowi yang mengubah dukungan mereka, dan pada saat yang sama para pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided voters) dan swing voters telah memantapkan pilihan kepada pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Peneliti LIPI lainnya, Aisyah Putri Budiatri (26/3) juga mengingatkan adanya potensi migrasi suara menjelang Pemilihan Presiden 17 April 2019.
Suara dukungan yang ‘menguap’
Migrasi suara seperti dinyatakan kedua peneliti LIPI itu, oleh akademisi Barat disebut sebagai election volatility –yaitu fenomena ‘menguap’nya potensi suara dukungan bagi partai atau tokoh kontestan suatu pemilihan umum. Election volatility itu bisa terjadi dalam periode cukup panjang dalam skala bulanan, tapi bisa juga secara mendadak di hari-hari terakhir, bahkan di menit-menit terakhir di bilik suara. Mengacu pada referensi penelitian Jenning dan Wlezien (2016), lembaga survei pun kerap terkelabui. Pemilih dapat menyampaikan kepada pewawancara, sebelum pemilihan umum, bahwa mereka berniat memilih partai atau tokoh tertentu. Tetapi, ternyata memberikan suaranya kepada partai atau tokoh yang berbeda di hari pemungutan suara. Sebenarnya, selain itu, calon pemilih yang dikategorikan ragu-ragu pun seringkali telah mengembangkan preferensi partai atau tokoh tertentu yang akan dipilihnya berdasarkan pengamatannya sendiri terhadap kampanye-kampanye yang ada. Namun itu tidak disampaikannya terbuka.

Empat akademisi peneliti dari University of Vienna dan University of Hamburg, David Johann dan kawan-kawan, mengatakan dengan makin membesarnya jumlah volatile voters dan late deciders maka kemampuan dan kualitas komunikasi politik menjadi sangat penting. Cukup banyak bukti bahwa suatu informasi dapat mengubah electoral choice. Untuk konteks Indonesia, Pemilihan Gubernur DKI putaran kedua 19 April 2017 merupakan contoh terjadinya pergeseran, katakanlah sebagai fenomena election volatility. Dan menjadi menarik di sini, sejumlah lembaga survei bersikeras menyebut Basuki Tjahaja Purnama akan memenangkan kontestasi, padahal ada arus informasi aktual mengenai kasus penistaan agama.
Bilamana disepakati apa yang dikatakan David Johan dan kawan-kawan bahwa komunikasi politik menjadi penting saat membayangnya semacam election volatility, justru terlihat bahwa dalam ajang Pemilihan Presiden 2019 ada persoalan under quality di situ. Secara umum banyak pengamat menyoroti kelemahan komunikasi politik yang cukup menonjol di kedua kubu, 01 maupun 02. Tapi tentu kubu 01 yang harus lebih waspada, karena setidaknya selama 6 bulan ini kubu tersebut mengalami trend penurunan elektabilitas, sementara kubu sebelah mengalami trend naik pada kurun waktu yang sama.
Jangan remehkan kelompok unpoliticals
Sebagai petahana Joko Widodo memang mendapat banyak ‘benefit’ dari posisinya, semisal, segala kegiatannya sebagai Presiden sekaligus akan memberi dampak kampanye menguntungkan. Peresmian proyek-proyek, kebijakan bagi-bagi sertifikat tanah, pemberian dana bantuan sosial dan sebagainya bisa tercitrakan sebagai keberhasilan kepemimpinan. Tetapi pada waktu yang sama ia pun lebih gampang terkena dampak kecaman dari ketakberhasilan kebijakan pemerintah, kenaikan harga-harga, perilaku korupsi dalam pemerintahan serta aneka kekeliruan tindak dan ucapan tak akurat para menteri serta bawahan lainnya dan sebagainya dan sebagainya. Apalagi bila ucapan-ucapan tak akurat itu berasal dari sang pemimpin utama itu sendiri. Pendek kata, ia harus menghadapi dan memikul beban kritik, baik itu datang dari kubu pesaing dalam kontestasi politik maupun yang datang dari masyarakat bebas yang kritis.
Seorang petahana, tepatnya seorang Presiden, tak boleh meremehkan warga negara yang menjalankan apa yang disebut the politics of the unpoliticals –politiknya kaum tak berpolitik– yaitu politik warga negara non partisan. Biasanya kelompok unpoliticals ini lebih jujur dalam kritiknya, karena tak puya kepentingan apapun yang berlebihan selain daripada kepentingan akan pemenuhan hak-hak sebagai warga negara. Kelompok unpoliticals ini pun peka terhadap penyampaian kata dan data yang tak akurat –untuk tidak menyebutnya hoax. Sayangnya, kalangan kekuasaan –bukan hanya rezim Joko Widodo– seringkali menyamaratakan kritik kelompok unpoliticals dengan kritik partai-partai politik oposisi, sehingga dengan sendirinya membesarkan bayangan ‘postur’ lawan politik atau penentang kekuasaan.
Sumber picu election volatility
Salah satu ketergelinciran rezim Joko Widodo adalah generalisasi seperti itu, sehingga pada akhirnya postur non pendukung kekuasaan makin besar dan semakin besar dari waktu ke waktu. Kita melihat misalnya, fenomena adanya sejumlah aktivis gerakan kritis dan kaum intelektual yang melontarkan kritik, dengan mudah dikotakkan dan disudutkan secara hitam putih sebagai golongan seberang. Sehingga, kerap kali pada akhirnya betul-betul menjadi kelompok seberang.
Sikap resisten kalangan kekuasaan seperti inilah salah satu sumber picu lahirnya lebih banyak golongan putih, late deciders, undecided voters, swing voters dan volatile voters yang membentuk fenomena election volatility. Tentu ada juga sebab lain, yakni tersajinya sekedar pilihan the bad among the worst dalam sistem yang ada. Pada sisi lain, generalisasi kalangan kekuasaan juga melahirkan kaum oportunis dan hipokrit yang bebas melakukan akrobatik di panggung politik. Tak terkecuali, sayangnya, juga menghidupkan kembali prostitusi intelektual. Semua perlu mawas diri…. (media-karya.com)#mediakaryaanalisa