Joko Widodo Dalam Tanda Tanya: Menang atau Kalah 17 April 2019?

HEADLINE Harian Kompas selama tiga hari berturut-turut –Rabu 20 Maret hingga Jumat 22 Maret 2019– telah memberikan hentakan di kancah politik praktis, kurang dari sebulan menuju 17 April 2019. Secara khusus, headline tentang survei elektabilitas para kontestan Pilpres 2019 itu seakan menimbulkan ‘topan dalam gelas’ di kubu pendukung pasangan 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Terkesan terjadi semacam kepanikan. Pada sisi lain, survei Kompas itu sangat mengangkat optimisme kubu 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menghadapi Pemilihan Presiden  yang berlangsung tak sampai sebulan lagi.

Harian Kompas (20/3) melaporkan hasil surveinya yang menampilkan angka minor pertama –yang dipercaya publik– tentang elektabilitas petahana Joko Widodo dalam trend penurunan. Sudah berada di bawah angka 50 persen, tepatnya 49,2 persen. Dan pada waktu yang sama elektabilitas Prabowo Subianto dalam trend menaik, sehingga selisih angka elektabilitas keduanya menyempit menjadi 11,8 persen saja. Lalu pada hari Jumat (22/3) Kompas menunjukkan pula bahwa pada survei tersebut, Cawapres 02 Sandiaga Uno lebih mampu mengkontribusi elektabilitas daripada Cawapres 02 Ma’ruf Amin. Menurut survei itu, kepartaian juga bisa menjadi lebih sederhana melalui Pemilu Legsilatif 17 April (Kamis 21/3).

Trend itu bisa konstan

Bila trend penurunan angka Joko Widodo dan pasangannya berlanjut, sementara pada sisi sebaliknya trend menanjak Prabowo-Sandi berlanjut, maka Pilpres 17 April 2019 dengan sendirinya memberikan hasil berbeda dari yang banyak diopinikan dengan kuat selama ini. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa baik trend penurunan elektabilitas maupun sebaliknya penanjakan elektabilitas seorang tokoh dalam satu kontestasi, bila telah berlangsung konstan dalam jangka waktu tertentu, cenderung tetap konstan seterusnya. Hanya satu atau serangkaian peristiwa luar biasa yang bisa menyebabkan terjadinya patahan kurva, baik terhadap trend penurunan maupun trend penanjakan.

ELEKTABILITAS DALAM SURVEI KOMPAS. Bila trend penurunan angka Joko Widodo dan pasangannya berlanjut, sementara pada sisi sebaliknya trend menanjak Prabowo-Sandi berlanjut, maka Pilpres 17 April 2019 dengan sendirinya memberikan hasil berbeda dari yang banyak diopinikan dengan kuat selama ini. #MediaKarya

Tokoh petahana Joko Widodo berusaha bersikap tenang. Tetapi beberapa kalangan pendukungnya terlihat tak tahan untuk tidak menunjukkan ‘kemarahan’ kepada Harian Kompas, yang dianggap ‘membelot’ padahal selama ini memanjakan dengan sikap yang ditafsirkan perpihakan kepada sang petahana. Sampai-sampai beberapa aspek pribadi Pemimpin Redaksi Kompas Ninuk Mardiana Pambudy ikut diungkit. Bahwa dia puteri Drs Moerdiono, Mensesneg masa Soeharto. Siapa mertuanya dan apa orientasi politiknya. Foto dokumentasi yang menunjukkan Ninuk ada dalam suatu event bersama Prabowo pun dimunculkan. Padahal, lazim saja bila seorang insan pers berada dan berinteraksi dengan siapa pun juga.

Terlepas dari prasangka subjektif yang ada, pada sisi lain secara objektif banyak pihak –khususnya kalangan cendekiawan bebas– memandang bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini Harian Kompas seakan terlepas dari fungsi idealnya sebagai pers dalam posisi jangkar objektivitas dalam kehidupan sosial politik Indonesia. Harian Kompas sempat diopinikan sebagai pers yang sudah berperilaku follow the triumphant, karena sangat kerap tutup mata terhadap kesalahan kekuasaan. Dengan publikasi tentang survei ini –yang metodenya terlihat lebih terpercaya ditambah reputasi Litbang Kompas selama ini sebagai pelaksana survei cukup baik– serta trend pemberitaan yang makin adil dan berimbang selama beberapa waktu belakangan, Harian Kompas seakan kembali ke posisi jangkar objektivitas itu. Hal yang sama diharapkan dari Majalah Tempo yang juga sempat tergelincir kepada perpihakan di tahun-tahun lampau ini. Majalah Tempo juga memiliki peluang sama untuk kembali menjadi jangkar objektivitas di bawah squad pengasuh baru yang tergolong generasi lebih segar.

Kenapa elektabilitas Joko Widodo menurun?

Apa sebabnya kira-kira elektabilitas Joko Widodo selama beberapa waktu belakangan ini tergelincir ke trend penurunan? Tanpa perlu membahas situasi di kubu Prabowo sebagai faktor, terlihat ada beberapa faktor penting bersifat internal di kubu Joko Widodo yang memicu ketidakpercayaan, khususnya yang berkaitan dengan integritas pribadi tokoh petahana itu sendiri.

Di urutan pertama, adalah makin banyak rentetan ucapan, data dan klaim keberhasilan pembangunan dari sang petahana yang tidak akurat, yang terjadi dari waktu ke waktu. Kedua, terjadi beberapa kali ketergelinciran dalam penggunaaan kosakata yang terasa vulgar, semacam sontoloyo, gebuk, dan semacamnya serta kecenderungan menyalahkan bawahan. Ketiga, kerap terjadi inkonsistensi dalam sikap atau kebijakan maupun kemudian penjelasannya. Mulai dari batalnya Mahfud MD menjadi calon Wapres pendamping, kasus pembebasan Ba’asyir, pengumuman naik turunnya harga BBM, soal kebakaran hutan, impor beras dan jagung sampai kartu pra kerja serta sederetan inkonsistensi lainnya. Keempat, di mata publik, meskipun tak diatur dengan baik dalam peraturan KPU dan perundang-undangan yang ada, de facto sebenarnya sebagai petahana Joko Widodo telah sangat diuntungkan dalam kontestasi menuju 17 April 2019. Menjadi tak jelas kapan sedang berkampanye dan kapan sedang bertugas sebagai Presiden. Cutinya pun tak jelas. Tercipta situasi yang terasa kurang adil, segala aktivitasnya sebagai Presiden pada akhirnya menjadi semacam atau minimal berdampak kampanye tanpa bisa dikenai sanksi. Misalnya, saat bagi-bagi sertifikat tanah gratis atau bagi-bagi paket sembako dan amplop –yang telah menjadi rahasia umum– di rute-rute perjalanan rombongannya sebagai presiden di beberapa daerah. Melihat ‘situasi’ kurang jelas di level pemimpin teratas, maka tak kurang banyak aparatur sipil pun ikut melakukan akrobatik politik untuk menyenangkan hati atasan. Dari gubernur sampai bupati, walikota, oknum Polri dan aparatur sipil lainya, terlibat dalam akrobat politik itu.

Hal lain yang terjadi, makin hari, penonjolan keberhasilan pembangunan infrastruktur makin tak menarik publik, apalagi bila dikaitkan dengan sumber pembiayaannya yang berasal dari hutang. Pola pembangunannya pun terasa terlalu kejar tayang sebelum 17 April, karena itu menimbulkan kecemasan terkalahkannya aspek kualitatif oleh aspek kuantitatif semata berdasar pertimbangan politik. Sepertinya pemerintahan Joko Widodo selain tak punya grand design pembangunan meyakinkan, juga mengabaikan azas skala prioritas pembangunan. Paling banyak disorot dalam kaitan ini adalah pembangunan jalan tol. Apakah merupakan skala prioritas atau bukan? Di samping berbiaya mahal pembangunannya, pun terasa mahal tarifnya bagi rakyat pengguna. Belum lagi relevansinya dengan aspek sosial.

Faktor lain, tertangkapnya begitu banyak tokoh partai pendukungnya dalam kasus korupsi, mau tak mau berdampak pada kadar kepercayaan rakyat. Rezim ini pun ternyata tak bersih. Bahwa KPK banyak menangkap pelaku korupsi, itu prestasi KPK, bukan prestasi Presiden, kecuali bahwa terbukti KPK itu berada di bawah komando langsung Presiden. Tertangkapnya sejumlah pelaku korupsi dari kalangan tokoh berkaliber dan penting dalam kekuasaan rezim saat ini, tak bisa lain menunjukkan bahwa korupsi memang tetap berlangsung massive di bawah rezim ini yang terkait dengan dominannya wealth driven politic. Artinya rezim ini sama tak berdayanya melawan korupsi dengan rezim-rezim sebelumnya.

Terlalu fokus pada kemenangan periode kedua

Tak kalah penting sebenarnya, adalah sadar atau tidak, Joko Widodo selama hampir 5 tahun ini, terkesan terlalu mengabdikan diri kepada tujuan memenangkan masa jabatan kedua. Padahal yang diharapkan rakyat pastilah pengutamaan pengabdian kepada kepentingan rakyat. Seandainya Joko Widodo terlihat dan sangat terasa bagi rakyat telah mengutamakan pengabdian pada kepentingan rakyat, bangsa dan negara, tanpa kampanye dan pencitraan massive sekalipun, pasti akan memenangkan masa jabatan kedua. Sejauh ini, hal itu justru tak cukup terlihat.

Kini di sisa waktu yang ada, tinggal menunggu apakah Joko Widodo akan menang atau akan kalah dalam Pemilihan Presiden 17 April 2019 mendatang. Biar saja itu menjadi urusan para politisi dua kontestan. Dari sudut warga negara, yang lebih penting adalah menggunakan hak pilih dengan cermat melalui pertimbangan berdasar akal sehat. Dan, ikut menjaga pemilu berlangsung bersih. Siapa yang akan menang, itu soal demokrasi….(media-karya.com) #mediakaryaanalisa

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s