CUKUP lama seakan mengalami hibernasi, lewat pertengahan September 2019 ini gerakan kritis mahasiswa –intra maupun ekstra kampus– mendadak tampil cukup massive dan serentak di berbagai kota di seluruh Indonesia. Core gerakan mahasiswa sekali ini, menolak pelemahan anti korupsi melalui revisi UU KPK dan menolak rencana revisi KUHP. Serta ketidakadilan dan pengekangan hak-hak warganegara pada umumnya. Di sana-sini tercetus pula tuntutan agar Presiden Joko Widodo turun dari kekuasaannya, selain mosi tidak percaya kepada DPR yang tak henti-hentinya memproduksi undang-undang yang dianggap menekan rakyat.
Sebelumnya memang, khususnya di sekitar Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Presiden, mahasiswa cenderung muncul sebagai kelompok tak bersuara. Termasuk terhadap isu kecurangan TSM dalam pelaksanaan Pilpres. Meski sebagai perorangan –yang tak jarang disertai pengatasnamaan almamater– ada saja yang terlibat sebagai partisan di salah satu dari dua sisi pembelahan politik. Sempat terkesan pula bahwa Presiden yang sedang berkuasa berhasil ‘menaklukkan’ mahasiswa melalui diplomasi jamuan makan di Istana dengan pemuka mahasiswa.
Tak bisa ditundukkan dengan kekuasaan semata
Para penguasa semestinya memahami, bahwa sebenarnya kampus perguruan tinggi tak pernah betul-betul bisa ditundukkan dengan kekuasaan semata. Tak pula mempan ‘dikuasai’ dalam jangka waktu lama melalui persuasi subjektif. Gerakan-gerakan kritis mahasiswa dengan berbagai cara, tetap saja bisa berlangsung, di antaranya dengan penyelenggaraan diskusi-diskusi.

“Sumber (daya) manusia bagi kampus tak pernah habis. Setiap tahun kampus memperoleh ‘darah segar’ berupa mengalir masuknya mahasiswa baru yang pada waktunya membawakan lagi aspirasi-aspirasi baru. Kampus perguruan tinggi adalah bagaikan sebuah sungai, airnya tak pernah berhenti mengalir. Suatu proses yang tak kenal henti. Sejarah mencatat, bahwa setelah gerakan-gerakan kritis mahasiswa 1970-1974, kemudian muncul lagi gerakan perlawanan mahasiswa 1978 dan kemudian gerakan mahasiswa 1998 yang menjadi penyulut akhir ‘kejatuhan’ Soeharto. Entah kenapa hal seperti itu selalu terjadi. Hati nurani bangsa ini tampaknya memang ada pada gerakan-gerakan mahasiswa ini. Dan, entah sampai kapan.” (Rum Aly, Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter, Penerbit Buku Kompas, 2004).
Pada dasarnya, gerakan-gerakan mahasiswa adalah gerakan moral. Bahwa sesekali ada penyimpangan perorangan, tak perlu disangkal. Seringkali ada tuduhan, dan mungkin saja ada petunjuk keikutsertaan sejumlah tokoh mahasiswa dalam berbagai kegiatan politik praktis, tidak menjadi bukti bahwa gerakan kritis mahasiswa secara keseluruhan telah keluar dari lajur gerakan kritis menjadi gerakan politik praktis dan bukan lagi gerakan moral. Menurut pengibaratan Socrates, mahasiswa seringkali hanyalah sekedar lalat pengganggu. Lalat yang mengganggu ‘negara yang seperti kuda tambun, bagus namun lamban geraknya karena tubuhnya besar dan harus selalu dibangkitkan agar hidup’. Sesungguhnya lalat pengganggu ditempatkan Tuhan kepada negara agar setiap saat membangkitkan, menyadarkan dan memperingatkan. Tapi, Socrates tak menyebutkan, bagaimana jadinya bila negara dikendalikan oleh kalangan penguasa yang ganas, rakus, membohongi, menipu dan mengisap darah serta sungsum tulang belakang rakyat sampai habis…
Antitesis baru bagi gerakan kritis mahasiswa
Dulu, pasca gerakan 1966, antitesis bagi gerakan kritis mahasiswa adalah kalangan militer. Lalu, pasca Soeharto, militer menampilkan konsep netralitas TNI. Panglima TNI Jenderal Endriartono Soetarto menulis di Harian Kompas 23 Maret 2004, “kebijakan netralitas TNI dalam Pemilu 2004 benar-benar dimaksudkan agar tidak ada ruang sekecil apa pun bagi prajurit TNI untuk memanfaatkan posisinya guna mencapai agenda politik tertentu.” Terdapatnya ‘kekosongan’ peran strategis militer dalam kehidupan bernegara per saat itu, semestinya menjadi titik bangkit kaum sipil untuk mengambil peran dalam kerangka pemikiran modern sebagai dinamisator kehidupan bernegara. Bila kaum politisi sipil ingin berperan membangun Indonesia yang lebih baik dalam konteks masa depan, mereka harus masuk ke dalam alam pemikiran tersebut agar mendapat posisi dan martabatnya secara layak dalam supremasi sipil.
Nyatanya, politisi sipil lebih memilih konsolidasi kekuasaan dengan membangun partai oligarkis guna memenuhi hasrat kekuasaannya semata. Dan kini, partai-partai politik telah menjelma sebagai antitesis baru bagi pencapaian civil society yang ideal dan demokratis. Dan bila mahasiswa kini kembali menjadi pembawa suara hati nurani bangsa, maka partai-partai politik dengan sendirinya menjadi antitesis baru bagi gerakan kritis mahasiswa. Pantas bila mahasiswa mengatakan tidak lagi percaya kepada DPR dan kekuasaan yang ditopang oleh partai-partai oligarkis.
Apakah kelompok mahasiswa per saat ini akan kembali dan mampu berperan sebagai kekuatan pendobrak seperti halnya dalam berbagai peristiwa sejarah sebelumnya? Generasi muda –khususnya kalangan mahasiswa selaku intelektual muda perguruan tinggi– seperti yang menjadi pengalaman faktual dalam sejarah politik kontemporer Indonesia merdeka, selalu menjadi faktor penentu dalam beberapa perubahan besar di Indonesia. Tahun 1966, 1974, 1978 dan 1998. Tetapi tentu, mahasiswa harus kembali menyeimbangkan dinamika pergerakan mereka yang agresif dengan kelemahan-kelemahan konseptual yang seringkali mereka miliki, khususnya pada akhir-akhir ini.
Masih perlu ditunggu sejenak. Namun, seandainya tak ada lagi kekuatan konseptual yang tampil, akankah Indonesia harus menanti suatu momentum berupa histrorical by accident atau suatu blessing in disguise baru agar bisa menjadi lebih baik? Katakanlah, semacam rahmat terselubung sebagai tanda pengampunan dariNya terhadap akumulasi dosa-dosa yang telah dilakukan para pelaku politik selama beberapa tahun ini….. (media-karya.com) #mediakaryaanalisa