Merubah Titik Berat Kekuasaan
SETELAH Soekarno dan Soeharto, tak lagi ada Presiden Indonesia yang bisa berada di posisi puncak kekuasaan dalam jangka waktu panjang, bahkan sekedar menggenapkan satu periode normal sekalipun. Hanya Susilo Bambang Yudhoyono yang telah merampungkan dua periode normal 5 tahun, menggenapkan dua masa jabatan maksimal yang diperbolehkan UUD hasil amandemen pasca Soeharto. Kini, Presiden Joko Widodo, sepanjang hasil Pemilihan Presiden April 2019 –yang dibayangi isu kecurangan terstruktur, sistematis dan massive– juga akan memasuki masa jabatan kedua. Namun, masih perlu menunggu, apakah ia akan menggenapkan dua masa jabatan atau tidak, mengingat banyaknya crucial points yang bermunculan, sementara secara kualitatif kemampuan dan kenegarawanannya masih selalu dipertanyakan.
UUD hasil amandemen dalam bentuk dan isinya sekarang pada sisi lain merupakan dilema bagi para Presiden di masa sekarang dan mungkin di masa mendatang. Masalahnya bukan terutama karena UUD hasil amandemen itu membatasi ketat kekuasaan Presiden dalam sistem presidensial yang masih dianut, tetapi karena DPR sebagai lembaga legislatif telah mendapat sejumlah wewenang baru yang untuk sebagian sudah masuk wewenang lembaga eksekutif. Trauma dengan kekuasaan terlalu kuat di masa Soekarno dan Soeharto, kekuasaan para presiden lalu diredusir sebanyak-banyaknya dan dialihkan ke legislatif. Sehingga, seakan terjadi semacam kudeta terhadap kekuasaan eksekutif melalui jalur amandemen UUD. Namun, per saat ini Presiden Joko Widodo tampak berusaha keras menegakkan kembali hegemoni eksekutif. Antara lain dengan melakukan sejumlah bypassing kekuasaan non konstitusi yang untuk sementara dimungkinkan semata karena tebalnya koalisi pendukung yang terbentuk pra Pilpres 2019.
Praktek ketatanegaraan pasca amandemen
Bagaimana perkembangan praktek ketatanegaraan setelah amandemen UUD 1945? Menurut Prof Dr Bagir Manan –Ketua Mahkamah Agung RI 2001-2008– dalam pidato ilmiah pada Dies Natalis ke-53 Universitas Padjadjaran (21 September 2010), telah terjadi pergeseran kekuasaan dari Presiden ke DPR yang tidak sekedar menciptakan checks and balances, melainkan perubahan dari executive heavy menjadi legislative heavy.
Pertama, hak-hak parlementer yang dilekatkan kepada DPR, sangat mempengaruhi hubungan Presiden dengan DPR. Hak interpelasi, hak angket, dijadikan instrumen ‘mengganggu’ penyelenggaraan pemerintah, bahkan dipergunakan menyandera Presiden sampai-sampai menuju pada pemakzulan. Akibatnya, hubungan antara Presiden-DPR tidak terutama untuk pencapaian tujuan bernegara, tetapi lebih sebagai power struggle untuk mendemonstrasikan keunggulan menuju akomodasi politik belaka. Keadaan menjadi lebih rumit, karena lemahnya parliamentary maturity. Inilah yang dimaksud dengan ungkapan “Presiden senantiasa dalam keadaan tersandera (political hostage) kekuatan-kekuatan politik.”

Kedua, pengaruh kepada susunan pemerintahan. Calon Presiden terutama diusulkan partai yang memiliki wakil di DPR. Karena tak ada partai yang memiliki kursi mayoritas mutlak, calon Presiden (dan Wakil Presiden) memerlukan dukungan lebih dari satu partai. Salah satu konsekuensi dukungan adalah kesediaan calon Presiden berbagi kekuasaan dengan partai-partai pendukung, antara lain penempatan menteri-menteri sebagai wakil partai. “Sesuatu yang lazim dalam sistem parlementer, tetapi tidak lazim, bahkan tidak dikenal dalam sistem presidensil, seperti yang dikehendaki UUD 1945 (Pasal 4 ayat 1).” Presiden SBY “secara resmi menyebut pemerintahannya sebagai pemerintahan koalisi atau kabinet koalisi. Secara konstitusional, susunan pemerintahan semacam ini –apalagi dengan sebutan koalisi– merupakan suatu constitutional anomaly. Meskipun kabinet ini tidak dapat dijatuhkan DPR, tetapi melekat berbagai penyakit dan kelemahan koalisi, seperti serba kompromi, tidak integrated, dan jadi arena koehandel (dagang sapi). Akibatnya pemerintahan tidak dapat berjalan maksimum, karena adanya kemungkinan rongrongan dari partai anggota koalisi.”
Alhasil, menurut Bagir Manan, apabila sebelum perubahan UUD 1945, disinyalir eksekutif terlalu kuat (too strong) dan DPR terlalu lemah (too weak), maka sesudahnya terbalik, eksekutif lemah (weak executive) sedangkan DPR terlalu kuat (too strong). “Bukan itu tujuan checks and balances. Konsep checks and balances, dimaksudkan agar tidak ada yang too strong atau too weak. Melainkan berimbang.” Pengalaman pada dua masa kekuasaan lampau, di bawah Soekarno dan Soeharto, eksekutif yang terlalu kuat membawa kepada kediktaturan atau pemerintahan otoriter. Sebaliknya eksekutif yang lemah mengakibatkan pemerintahan yang tidak efektif. Keduanya “sama-sama akan mengakibatkan cita-cita mewujudkan kesejahteraan umum, kemakmuran, dan keadilan sosial makin jauh dari kenyataan.”
Berapa kuat dan berapa jauh DPR menerobos keluar jalur ketatanegaraan yang lazim dan wajar? DPR menerobos ke fungsi-fungsi lain di luar fungsi legislatif, sementara tugas membentuk undang-undang seakan terabaikan dan lamban tidak produktif. “Sebagian besar waktu dipergunakan untuk fungsi pengawasan dalam rapat-rapat kerja dengan pemerintah untuk membahas kebijakan dan peristiwa-peristiwa yang semata-mata fungsi pemerintah, bukan fungsi parlemen. Bahkan terjadi pula keikutsertaan pada fungsi yang semestinya sebagai fungsi penegakan hukum, seperti pelaksanaan pemberantasan korupsi, atau peristiwa-peristiwa hukum lain.” Dalam bidang pemerintahan, “keikutsertaan DPR lebih intensif, sampai ikut dalam fungsi administrasi negara, seperti turut serta dalam masalah pertanahan, perubahan peruntukan lahan (perubahan fungsi hutan), pembentukan kabupaten, kota atau provinsi baru, pengangkatan jabatan-jabatan di bawah fungsi dan tanggung jawab Presiden seperti pengangkatan Panglima TNI, Kapolri dan lain-lain.” Demikian pula “penerapan hak anggaran (hak budget), yaitu ikut serta menentukan anggaran yang semestinya hanya menjadi fungsi administrasi negara. Hak anggaran tidak lagi terbatas pada politik pendapatan dan belanja (beleid van ongvangsten en uitgaven), yang berkaitan dengan aspek manfaat (doelmatigheid) dan benar menurut hukum (rechtmatigheid), melainkan sampai perjalanan pelaksanaan (budget implementation). Sesuatu yang berlebihan.”
Lebih lanjut, susunan pemerintahan yang ada pasca amandemen, selain nyata tak sesuai konsepsi UUD 1945, juga dapat dikatakan suatu sistem tanpa atau di luar sistem. Kabinet lamban atau terkesan seolah-olah penuh perhitungan, dapat dimengerti, karena senyatanya kepemimpinan tidak di satu tangan. Selain Presiden, jalannya pemerintahan sangat ditentukan partai-partai pendukung. Pertarungan kekuasaan tak henti-henti terjadi di dalam maupun di luar DPR, termasuk upaya mendapat berbagai konsesi dari Presiden (Pemerintah). Mungkin bisa ditambahkan bahwa keadaan menjadi lebih parah, karena ternyata kemampuan kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono 2009-2014 tidaklah setangguh seperti diharapkan rakyat sebelumnya. Ia menjadi ‘besar’ untuk sebagian karena keberhasilan politik pencitraan, seperti halnya kemudian dengan Joko Widodo. Antara keduanya, memang terdapat tanda-tanda serupa. Bedanya, terkait Joko Widodo, ada sejumlah upaya menerobos konstitusi berdasar kekuatan kekuasaan de facto.
Amandemen atas amandemen?
Terdapat kekuatiran bahwa suatu amandemen kembali terhadap hasil amandemen UUD 1945 di awal pasca Soeharto, bisa digunakan macam-macam, antara lain untuk merubah ketentuan masa jabatan Presiden maksimal dua kali. Tetapi secara objektif dapat dikatakan perlunya suatu amandemen kembali secara cermat, untuk betul-betul menyempurnakan UUD kita. Banyak yang harus diluruskan dan ditegaskan kembali, khususnya mengenai posisi Pembukaan dalam naskah asli yang mengandung butir-butir Pancasila.
Tetapi barangkali, amandemen atas amandemen itu tak bisa dilakukan semata oleh para anggota lembaga-lembaga legislatif kita, dengan cara-cara fait accompli seperti pada proses amandemen yang lalu. Perlu melibatkan masyarakat melalui pintu partisipasi yang luas, terutama keikutsertaan kalangan akademisi. Dan setelah ditemukan bentuk penyempurnaan kembali sesuai semangat para pendiri bangsa di awal kemerdekaan, dan secara kualitatif bisa dipertanggungjawabkan, agaknya suatu mekanisme referendum perlu dihidupkan lagi untuk mencegah UUD diubah-ubah dengan begitu mudah berdasarkan selera dan kepentingan politik sesaat seperti yang telah terjadi. Ini semua diperlukan, agar bangsa ini tidak lebih banyak menangis daripada tertawa… (media-karya.com – Berlanjut ke Bagian 7 Akhir) #mediakaryaanalisa