Pelemahan, Selangkah Lagi ‘Pembunuhan’ KPK?

GERAKAN pelemahan KPK bukan soal baru. Itu sudah menjadi hasrat para oligarch sejumlah partai politik tak terlalu lama setelah lembaga pemberantasan korupsi itu dibentuk berdasarkan UU KPK. Undang-undang itu disahkan DPR di bulan puasa tahun 2002, pada masa kepresidenan Megawati Soekarnoputeri. Kini, di masa kepresidenan Joko Widodo, akhirnya terjadi revisi UU KPK yang dalam opini kuat di tengah publik dianggap sebagai pelemahan KPK. Partai-partai yang tergabung dalam koalisi pendukung pemerintah, yang merasa sudah lebih kokoh dan unggul pasca Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Presiden 2019, tak menunggu lama-lama secara kilat mendorong pengesahan revisi itu di DPR 17 September kemarin. Proses revisi yang merangkak tak kurang dari 15 tahun itu, mendadak tiba pada titik didihnya sebagai air panas yang menyengat para pegiat anti korupsi.

KPK itu sendiri terbentuk masih dalam ‘sisa’ masa euphoria reformasi yang membutuhkan didengung-dengungkannya retorika pemberantasan korupsi. Tapi perlu dicatat bahwa sebelum KPK dirancang dan kemudian diwujudkan pembentukannya, terjadi suasana gerah yang diakibatkan sepak terjang sebuah lembaga bernama KPKPN (Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara). Lembaga ini gencar meneliti dan mengumumkan kekayaan pejabat negara maupun anggota-anggota DPR-RI. Banyak pejabat yang kewalahan dengan pengungkapan harta kekayaannya, menginginkan KPKPN dieliminasi. Momentum pembentukan KPK menjadi ‘jalan keluar’ yang tepat dan ‘kebetulan’ bagi mereka yang tidak senang kepada KPKN. Akhirnya, KPKPN dilebur ke dalam KPK 29 Juni 2004.

Dengan pengalaman itu, sejak awal semestinya pun sudah harus disadari bahwa apa yang dialami KPKPN –dibentuk lalu tak disenangi dan dimusuhi– sangat bisa juga akan dialami KPK. Dalam situasi negara masih didominasi unsur-unsur korup, pembentukan suatu lembaga pemberantasan korupsi agaknya hanyalah bagian dari taktik dan kepuraan-puraan atau hipokrisi. Bagian dari sandiwara kekuasaan, yang seakan-akan mengikuti aspirasi rakyat yang menuntut pemberantasan korupsi dan tak tak percaya lagi pada lembaga penegak hukum yang telah ada. Akan tetapi pada sisi lain, lembaga baru pemberantasan korupsi yang dibentuk, diusahakan bersifat proforma saja, lemah dan mandul. Maka, tak henti-hentinya KPK mengalami usaha pelemahan terutama bila mencoba ‘nakal’.

Konspirasi dan pengalaman sejarah

Mengamati rentetan peristiwa yang menimpa KPK sejak awal, khususnya sejak tahun 2004 hingga 2019, sesungguhnya KPK tak hanya dilanda arus hipokrisi dan sandiwara kekuasaan dalam kaitan masalah korupsi, melainkan sudah mengalami konspirasi politik-kekuasaan. Pemberantasan korupsi di era politik uang, adalah sesuatu yang tak diinginkan.

JOKO WIDODO DALAM COVER TEMPO. Tidak mudah mengukur sikap sesungguhnya Presiden Joko Widodo tentang eksistensi KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi. Meski menyampaikan beberapa poin pandangan berbeda dengan rancangan revisi UU KPK, pada hakekatnya ia menyatakan persetujuannya untuk revisi. #MediaKarya

Untuk berkiprah dalam kehidupan politik dan kekuasaan sekarang ini, partai-partai mengandalkan biaya besar dan fantastis dalam kompetisi politik. Dan tak mungkin ada biaya besar tanpa korupsi dan manipulasi kekuasaan, atau tanpa kerjasama dengan ‘konglomerasi’ kelas naga atau pun kelas yang lebih kecil. Para naga dan mahluk-mahluk ekonomi itu takkan mungkin mengeluarkan dana besar tanpa keharusan pembayaran balik dalam berbagai bentuk. Dalam pada itu, orang per orang yang tampil maju dalam ajang perebutan kursi-kursi lembaga legislatif juga membutuhkan biaya fantastis yang hampir tak lagi masuk akal. Begitu pula bagi mereka yang akan tampil dalam ajang pemilihan kepala daerah hingga kepada pemilihan Presiden. Dan sekali lagi, saat ini biaya-biaya besar relatif hanya tersedia di jalur konspirasi politik dan bisnis. Maka susah untuk bersih.

Dari situasi seperti itu, takkan mungkin terjadi pengisian posisi-posisi politik dan kekuasaan yang bersih dan terhormat di segala tingkat, dari atas hingga ke bawah. Persekongkolan busuk lebih memenuhi kebutuhan pragmatisme politik yang ada. Pada gilirannya, dengan sendirinya perlu melakukan korupsi dan manipulasi kekuasaan untuk membayar kembali hutang-hutang biaya politik itu dalam berbagai cara dan bentuk. Tak ada cara cepat lainnya untuk memperoleh dana pengganti ‘hutang’.

Lalu, apakah mungkin rezim kekuasaan yang terbentuk melalui pola konspirasi seperti itu akan bisa diharapkan betul-betul memiliki komitmen sejati memberantas korupsi? Pengalaman sepanjang sejarah Indonesia merdeka menunjukkan, tak terkecuali pada masa pasca Soeharto sekarang ini, takkan mungkin ada suatu lembaga anti korupsi yang ditunjuk atau dibentuk untuk betul-betul memberantas korupsi. Para pemain mungkin saja bersungguh-sungguh –katakanlah demikian– tapi selalu ada pengatur sandiwara di balik panggung dengan atau tanpa sepengetahuan sang pelakon. Pelajari saja sejarah Operasi Budi  yang diintrodusir Jenderal AH Nasution di masa Presiden Soekarno, TPK di masa Presiden Soeharto, eliminasi KPKPN melalui cara ‘peleburan’ ke dalam KPK di era Presiden Megawati. Lalu pelajari nasib KPK yang menurut retorika awal adalah memberantas korupsi, karena secara kualitatif Polri dan Kejaksaan Agung dianggap tak mampu optimal mengemban tugas itu. Tapi nyatanya, KPK tak henti-hentinya dirongrong dengan berbagai cara oleh sebagian anggota DPR –sebagai suatu lembaga yang ikut membidani kelahiran KPK– dan oleh kalangan rezim penguasa sendiri. Tak lain, karena lembaga-lembaga itu sendiri untuk sebagian dihuni oleh para pelaku korupsi dan manipulasi kekuasaan.

Selama kehidupan politik berlangsung buruk, karena kegagalan membangun dan menjalankan sistem dengan baik, jangan berharap banyak. Memang, pada akhirnya pemberantasan korupsi dalam sistem kekuasaan dan sistem politik yang korup, tak lebih tak kurang hanya akan menjadi dongeng pengantar tidur di kala malam.

Et tu Jokowi?

Tidak mudah mengukur sikap sesungguhnya Presiden Joko Widodo tentang eksistensi KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi. Meski menyampaikan beberapa poin pandangan berbeda dengan rancangan revisi UU KPK, pada hakekatnya ia menyatakan persetujuannya untuk revisi. Ada yang menganggap beliau sejauh  ini bukan tipe “the man who rules the waves”, tetapi “the man who ruled by the waves”. Dalam berbagai persoalan pemerintahan dan kekuasaan –termasuk dalam masalah pemberantasan korupsi– selama 5 tahun ini beliau seakan lebih sibuk dan repot melakukan konsolidasi menyiasati angin yang menjadi penguasa sesungguhnya terhadap gelombang di laut. Maka, kendati dalam berbagai retorika dan kampanyenya senantiasa menegaskan sikap anti korupsi dan keinginan memberantas kejahatan terhadap keuangan negara itu, beliau akan lemah dalam realita. Apa betul begitu, who knows?

Gelombang kekuatan kaum korup dan pemangku kepentingan khusus yang begitu kuat di seputar rezimnya, membuat Presiden Joko Widodo terlihat seakan selalu terpaksa kompromistis. Wealth driven politic yang melingkupi di sekelilingnya tak bisa tidak memberi posisi kuat kepada kaum korup. Tak sedikit tudingan bahwa kabinetnya telah terisi dengan berbagai macam tokoh dengan hasrat dan kepentingan pribadi maupun kelompok sehingga rawan tergelincir korup. Tetapi kehidupan politik Indonesia sendiri saat ini memang takkan berjalan tanpa topangan dana operasional yang digali melalui korupsi. Biaya menjadikan seseorang sebagai bupati atau gubernur mahal, apalagi untuk menjadi presiden. Tak ada partai politik –selaku pelaku utama kehidupan politik Indonesia saat ini– yang tak punya persentuhan saling menguntungkan dengan pelaku korupsi untuk tidak mengatakan bahwa korupsi itu memang merupakan kiat penting survival untuk kemudian berjaya pada langkah berikutnya. Korupsi sudah menjadi semacam gimnastik nasional untuk memelihara stamina.

Lalu, sebuah pertanyaan? Apakah KPK dengan komisioner baru pasca revisi nanti akan melemah dan pada waktunya terbunuh seperti tertera pada judul tulisan ini? Mungkin tidak. Setiap rezim kekuasaan membutuhkan etalase pemberantasan korupsi. KPK takkan terbunuh. Ia diperlukan untuk mencitrakan bahwa rezim anti korupsi dan akan memberantas korupsi. Jangan kuatir, akan ada OTT atau penangkapan-penangkapan terus menerus. Tapi, dalam langgam pilih-pilih tebu. Tentu akan ada juga pelaku-pelaku besar yang sekedar digertak, tapi takkan dituntaskan dengan alasan khusus dan tertentu. Bukankah itu juga sudah terjadi dalam periode KPK yang sekarang dan akan segera berlalu ini? KPK sudah menunjukkan kelemahannya pada beberapa tahun terakhir ini melalui kasus-kasus nir-tuntas seperti Sumber Waras, Bank Century, E-KTP dan lain-lain yang sudah kita ketahui bersama……. (media-karya.comDiolah dari beberapa tulisan pada sociopolitica.com)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s