Tag: DPR

Jalan Setapak Golongan Karya Kembali ke Dalam Kekuasaan (2)

MENJADI cukup jelas bahwa Sekber Golkar yang lahir 20 Oktober 1964, pada awalnya mencoba mengidentikkan diri sebagai golongan-golongan yang ada dalam UUD 1945. Itu spesies politik awal Golkar. Dengan itu, semestinya Golkar lebih membuka kanal bagi kelompok dalam masyarakat non ideologis –di luar Pancasila– yang kurang lebih disebutkan Herbert Read menjalankan the politics of the unpolitical. Tapi dalam perjalanannya dalam kehidupan politik, Golkar tak bisa persis sama dengan yang dimaksudkan UUD 1945. Khususnya sejak Pemilihan Umum 1971, Golongan Karya dalam banyak hal bagi banyak pihak dianggap tak ada bedanya dengan partai-partai. Sama-sama mengutamakan meraih posisi pengendalian negara semata, hanya saja masih tergolong minus dosa politik masa lampau.

Sultan Hamengku Buwono IX, menjelang Pemilihan Umum 1971 tanggal 3 Juli 1971, menyebutkan Golkar adalah kekuatan masyarakat. Terdiri dari unsur-unsur segala lapisan masyarakat, suku serta aliran. Pemerintahan Soeharto –yang telah berjalan menjelang 5 tahun pasca Soekarno– kata Sultan, mendasarkan diri kepada rakyat berkarya yang tergabung dalam Golkar. Representan terkemuka dari rakyat berkarya adalah kaum teknokratis. Pada beberapa negara, kaum teknokrat tampil ke dalam pemerintahan karena kebutuhan masyarakat akan kemampuan teknokratisnya. Sementara itu para politisi hanya bisa masuk ke kancah kekuasaan negara melalui pemilihan umum. Namun di Indonesia, sejak Pemilihan Umum 1971 kaum teknokrat turut dicalonkan oleh Golkar. Hal ini menurut kolumnis politik Wiratmo Soekito sempat membuat batas antara politisi dan teknokrat menjadi samar. Tetapi agaknya Golkar lebih mempertimbangkan kebutuhan rakyat akan teknokrasi, karena Golkar merasa bila memperoleh kemenangan, harus mengisi kemenangan itu dengan melanjutkan pembangunan ekonomi. Continue reading “Jalan Setapak Golongan Karya Kembali ke Dalam Kekuasaan (2)”

Gerakan Kritis Mahasiswa September 2019

CUKUP lama seakan mengalami hibernasi, lewat pertengahan September 2019 ini gerakan kritis mahasiswa –intra maupun ekstra kampus– mendadak tampil cukup massive dan serentak di berbagai kota di seluruh Indonesia. Core gerakan mahasiswa sekali ini, menolak pelemahan anti korupsi melalui revisi UU KPK dan menolak rencana revisi KUHP. Serta ketidakadilan dan pengekangan hak-hak warganegara pada umumnya. Di sana-sini tercetus pula tuntutan agar Presiden Joko Widodo turun dari kekuasaannya, selain mosi tidak percaya kepada DPR yang tak henti-hentinya memproduksi undang-undang yang dianggap menekan rakyat.

Sebelumnya memang, khususnya di sekitar Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Presiden, mahasiswa cenderung muncul sebagai kelompok tak bersuara. Termasuk terhadap isu kecurangan TSM dalam pelaksanaan Pilpres. Meski sebagai perorangan –yang tak jarang disertai pengatasnamaan almamater– ada saja yang terlibat sebagai partisan di salah satu dari dua sisi pembelahan politik. Sempat terkesan pula bahwa Presiden yang sedang berkuasa berhasil ‘menaklukkan’ mahasiswa melalui diplomasi jamuan makan di Istana dengan pemuka mahasiswa. Continue reading “Gerakan Kritis Mahasiswa September 2019”

74 Tahun Tertawa dan Menangis Bersama 7 Presiden (6)

Merubah Titik Berat Kekuasaan

SETELAH Soekarno dan Soeharto, tak lagi ada Presiden Indonesia yang bisa berada di posisi puncak kekuasaan dalam jangka waktu panjang, bahkan sekedar menggenapkan satu periode normal sekalipun. Hanya Susilo Bambang Yudhoyono yang telah merampungkan dua periode normal 5 tahun, menggenapkan dua masa jabatan maksimal yang diperbolehkan UUD hasil amandemen pasca Soeharto. Kini, Presiden Joko Widodo, sepanjang hasil Pemilihan Presiden April 2019 –yang dibayangi isu kecurangan terstruktur, sistematis dan massive– juga akan memasuki masa jabatan kedua. Namun, masih perlu menunggu, apakah ia akan menggenapkan dua masa jabatan atau tidak, mengingat banyaknya crucial points yang bermunculan, sementara secara kualitatif kemampuan dan kenegarawanannya masih selalu dipertanyakan.

UUD hasil amandemen dalam bentuk dan isinya sekarang pada sisi lain merupakan dilema bagi para Presiden di masa sekarang dan mungkin di masa mendatang. Masalahnya bukan terutama karena UUD hasil amandemen itu membatasi ketat kekuasaan Presiden dalam sistem presidensial yang masih dianut, tetapi karena DPR sebagai lembaga legislatif telah mendapat sejumlah wewenang baru yang untuk sebagian sudah masuk wewenang lembaga eksekutif. Trauma dengan kekuasaan terlalu kuat di masa Soekarno dan Soeharto, kekuasaan para presiden lalu diredusir sebanyak-banyaknya dan dialihkan ke legislatif. Sehingga, seakan terjadi semacam kudeta terhadap kekuasaan eksekutif melalui jalur amandemen UUD. Namun, per saat ini Presiden Joko Widodo tampak berusaha keras menegakkan kembali hegemoni eksekutif. Antara lain dengan melakukan sejumlah bypassing kekuasaan non konstitusi yang untuk sementara dimungkinkan semata karena tebalnya koalisi pendukung yang terbentuk pra Pilpres 2019. Continue reading “74 Tahun Tertawa dan Menangis Bersama 7 Presiden (6)”