Malapetaka Sosiologis 1965 di Bali

SETELAH Peristiwa 30 September 1965, kendati arus ‘pembalasan’ terhadap PKI yang terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur telah masuk beritanya ke Bali, tak terjadi sesuatu apa di daerah ini. Setidaknya sepanjang bulan Oktober 1965 Bali masih tenang. Baru pada bulan berikutnya, mendadak terjadi gelombang pembasmian pengikut PKI, diawali ‘hasutan’ dari tokoh-tokoh PNI – yang pada hakekatnya comrade in arms  PKI dalam Nasakom. Berlangsung keji, keras berdarah-darah. Tapi, pengungkapan pertama yang lengkap terbuka mengenai apa yang terjadi di Bali saat itu, relatif baru terjadi  dua tahun kemudian melalui tulisan Soe-Hokgie. Itu pun terbatas daya jangkaunya dari tangan ke tangan. Karena, tulisan Hokgie berjudul Pembantaian di Bali ini yang sebenarnya sudah siap cetak di Mingguan Mahasiswa Indonesia Desember 1967, tertunda pemuatannya. Belakangan terjemahan tulisan ini yang diambil dari proof reader 1967, dimuat lengkap dalam buku The Indonesian Killings 1965-1966,  Robert Cribb, 1990.

Seperti halnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, di Bali orang-orang PKI ‘mengakumulasi’ sejumlah tindakan yang menimbulkan keirihatian dan dendam sejak sebelum Peristiwa 30 September 1965. Pusat Studi Pedesaan Universitas Gadjah Mada, mencatat terjadi sejumlah aksi kekerasan dilakukan anggota-anggota PKI di pedesaan Bali sejak Januari 1965. Di Buleleng tercatat aksi sepihak, dilakukan Wayan Wanci dan massa BTI. Ia menyewa tanah dari Pan Tablen, dan suatu ketika sewa menyewa itu dihentikan. Lalu 250 massa BTI menduduki kembali tanah itu, 8 Januari 1965, disertai penghancuran rumah Pan Tablen.

Aksi sepihak lainnya terjadi 14 Januari, bersumber pertengkaran seorang menantu yang anggota BTI dengan mertuanya. Ketika mertua meminta kembali tanah yang dipinjamkan, sang menantu dan kawan-kawannya dari BTI melakukan pengrusakan atas tanaman jagung di tanah tersebut, lalu menduduki dan menggarap sawah itu. Aksi-aksi sepihak yang serupa terjadi berkali-kali, dan biasanya BTI berhadapan dengan para pemilik yang kebetulan anggota PNI. Dalam salah satu insiden soal tanah, 4 Maret 1965, massa PKI menyerang beberapa anggota PNI dengan parang dan senjata tajam lainnya.

Rivalitas kelompok atas angin Nasakom

Tekanan utama masalah di Bali saat itu, menurut Soe-Hokgie bukanlah kepada soal-soal ideologis. Lebih mengemuka adalah rivalitas pengaruh dan kepentingan manusiawi yang sudah laten di antara pengikut-pengikut PKI dan PNI –yang dua-duanya kelompok atas angin masa Nasakom Soekarno. PNI turun temurun dominan di Bali. Golongan bangsawan dan pemuka masyarakat umumnya pendukung PNI, sehingga dengan pengaruh mereka PNI memiliki massa pengikut yang besar jumlahnya di Bali. Tetapi PKI sementara itu berhasil memasuki celah-celah kesenjangan kehidupan sosial, terutama dalam mendekati rakyat pedesaan Bali yang menjadi petani dengan kepemilikan tanah kecil atau samasekali tak memiliki. Sebenarnya selama puluhan tahun ada harmoni antara kaum bangsawan pemilik tanah dengan para petani, melalui sistim bagi hasil yang adil. Setiap kali ada perselisihan, mekanisme adat dan peranan pemuka agama senantiasa berhasil menjadi media penyelesaian. Akan tetapi kehadiran makin menonjol dan perobahan perilaku politik PKI di tahun-tahun menjelang Peristiwa 30 September 1965, merubah situasi. Beberapa petani menunjukkan sikap lebih agresif.

SOE-HOKGIE. Tekanan utama masalah di Bali saat itu, menurut Soe-Hokgie bukanlah kepada soal-soal ideologis. Lebih mengemuka adalah rivalitas pengaruh dan kepentingan manusiawi yang sudah laten di antara pengikut-pengikut PKI dan PNI –yang dua-duanya kelompok atas angin masa Nasakom Soekarno. ( Gambar original download/gambar head, Soekarno, Soeharto dan DN Aidit. Pengolahan gambar, Leon Saladin Kenaz)

Faktor lain yang membuat PKI menonjol di Bali adalah bahwa dalam Nasakomisasi yang dijalankan Gubernur Suteja –seorang diehard Soekarno yang juga dekat PKI– PKI mendapat keleluasaan berlebihan. Suteja merupakan perpanjangan tangan yang baik bagi kebijaksanaan Nasakomisasi Soekarno yang menguntungkan PKI. Dalam suasana Nasakomisasi itu, banyak tindakan PKI, yang dipimpin Tio Kandel sebagai Ketua CDB, seperti aksi-aksi sepihak dalam masalah pertanahan, bisa berlangsung bebas tanpa penindakan. Ini terutama pula terjadi setelah Brigjen Supardi –yang dikenal anti PKI– digantikan sebagai Panglima Kodam Udayana pada 1963 oleh Brigjen Sjafiuddin yang sangat patuh pada Soekarno.

Elite sempat berdampingan nyaman

Adalah menarik, secara horizontal di lapisan bawah massa PNI banyak berbenturan dengan massa PKI, namun para elite PNI di Bali bisa berdampingan nyaman dengan tokoh-tokoh PKI. Ini mengikuti contoh ‘keakraban’ pimpinan PKI DN Aidit dengan para pimpinan PNI Ali-Surachman di Jakarta. Di Bali bahkan terjadi jalinan kepentingan bersama PKI-PNI yang menguntungkan, khususnya secara ekonomis. Ada beberapa pengusaha yang kebetulan keturunan Tionghoa, selain dekat dengan tokoh-tokoh PKI juga punya jalinan dengan tokoh-tokoh PNI, sehingga terjadi pertalian di antara ketiganya. Meskipun, sebaliknya dalam beberapa hal tertentu lainnya terjadi pula persaingan kepentingan politik yang tajam di antara tokoh-tokoh PNI tertentu dengan tokoh-tokoh PKI di Bali.

PKI nyaman bersama Brigjen Sjafiuddin, apalagi isteri Sjafiuddin punya kedekatan khusus dengan Gerwani dan menunjukkan sikap mendukung PKI. Namun, setelah Peristiwa 30 September 1965 terjadi, pada pertengahan Oktober sewaktu arah angin dan situasi menjadi lebih jelas, dengan gesit Brigjen Sjafiuddin melancarkan operasi pembersihan terhadap mereka yang dianggap terlibat PKI, terutama internal Kodam Udayana. Akan tetapi, sejauh yang dapat dicatat, tidaklah terlalu jelas ‘kategori’ sebenarnya dari mereka yang ditangkap, karena sebaliknya banyak yang menurut perkiraan umum akan ditangkap ternyata ‘lolos’ atau diloloskan. Belum lagi, sejumlah kasus salah tangkap.

Menurut Hokgie, hasutan sejumlah tokoh bekerja efektif memicu kekerasan di Bali. Seorang tokoh PNI menghasut orang-orang melakukan aksi kekerasan dengan mengatakan Tuhan menyetujui pembantaian orang-orang PKI, dan hukum takkan mengena yang melakukannya. Tokoh lain mengatakan, mengambil harta benda milik orang PKI tak melanggar hukum. “Kelompok-kelompok yang berjaga-jaga mulai keluar dengan berpakaian serba hitam dan bersenjatakan pedang, pisau, pentungan dan bahkan senjata api. Rumah-rumah penduduk yang diduga sebagai anggota PKI dibakar sebagai bagian dari pemanasan bagi dilancarkannya tindakan-tindakan yang lebih kejam”. Kemudian pembantaian pun mulai terjadi di mana-mana. “Selama tiga bulan berikutnya, Bali menjadi sebuah mimpi buruk pembantaian”. Dengan perkiraan yang konservatif, “paling tidak 80.000 orang terbunuh”, dari berbagai tingkat usia, pria dan perempuan. Mungkin lebih.

Tidak spontan

Soe-Hokgie menyimpulkan, pembantaian massa PKI di Bali tak berlangsung spontan. Ada beberapa sebab kenapa massa PNI menjadi pemeran utama pembasmian PKI di Bali. Pertama, karena akumulasi dendam akibat perlakuan massa PKI sebelumnya kepada orang-orang PNI di pedesaan. Namun kekerasan baru muncul setelah beberapa tokoh PNI melakukan hasutan, dan mulai terjadi di bulan November 1965. Hal kedua, ada beberapa tokoh PNI yang karena ingin menutupi ‘kerjasama’nya dengan PKI di masa lampau, kemudian memprovokasi eliminasi terhadap PKI. Seorang pengusaha Tionghoa bernama Tjan Wie menjadi salah satu korban utama, dengan tuduhan keterlibatan dengan PKI. Aset dan hartanya disapu habis, sehingga menjadi gila karena tekanan mental yang tak dapat lagi dipikulnya. Ironisnya, saingan bisnisnya, Lie Lie Tjien yang justru adalah pengusaha yang menjadi donatur utama PKI di Bali Utara tak tersentuh karena bersekutu dengan Wijana salah satu tokoh utama PNI di Bali.

Selain pembunuhan-pembunuhan dan pembakaran rumah-rumah, terjadi pula pemerkosaan sejumlah besar perempuan yang dikaitkan dengan Gerwani. Salah satu pelaku pemerkosaan yang paling brutal, seperti dituturkan Hokgie, adalah Widagda seorang pimpinan PNI dari Negara. Ia adalah adik laki-laki Wedasastra Suyasa, tokoh terkemuka PNI di Bali dan anggota DPR-GR di Jakarta. Widagda memperkosa puluhan perempuan yang dituduh dan dikaitkan dengan PKI, meski terbukti kemudian bahwa tidak selalu tuduhan terkait PKI itu benar. Tiga di antara wanita korban mengajukan kasusnya ke pengadilan, dan Widagda akhirnya dijatuhi hukuman amat tak setimpal, yakni 3 tahun penjara. Pelaku-pelaku lain selain Widagda, tak sempat tersentuh hukum. Faktanya, pembasmian di Bali hanya mengena terhadap akar-akar rumput PKI, dan justru banyak lapisan atasnya lolos dan bisa tinggal dengan aman di Jakarta… (media-karya.com/socio-politica.com) #mediakaryaanalisa   

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s