Tag: Nasakom

Bendera Merah PKI di Indonesia (5)

DIPA Nusantara Aidit, dalam catatan kesan masa kecil salah seorang puteranya, Ilham Aidit –kini berusia sekitar 61 tahun– adalah seorang yang amat sibuk. “Kedudukannya sebagai ketua partai membuat rumah kami selalu ramai sampai larut malam, karena begitu banyak orang hilir mudik untuk bertemu, rapat, diskusi, atau sekedar ngobrol ringan dengan Kawan Ketua itu. Paling sering datang adalah kawan dekatnya separtai, seperti Lukman, Nyoto, Sudisman, Nyono dan Sakirman”. (Wawancara dengan Rum Aly, untuk buku Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966).

Dalam kehidupan manusiawinya, di luar pagar kehidupan politiknya, Aidit, adalah seorang kepala keluarga dengan lima anak. Dua anak tertua, perempuan, Iba dan Ilya yang kala itu berusia belasan tahun, bersekolah di Moskow. Anak ketiga, bernama Iwan. Ilham dan adik kembarnya adalah anak keempat dan kelima. Isteri Aidit, seorang dokter, bernama Tanti. Selama bertahun-tahun, hingga bulan April 1965, keluarga ini tinggal di Galur, Tanah Tinggi, Jakarta, sebelum pindah ke jalan Pengangsaan Barat. Ayah Aidit dan seorang adik Aidit, bernama Asahan, ikut tinggal bersama keluarga Aidit. Asahan ini bertugas mengelola perpustakaan pribadi Aidit yang menurut Ilham berisi ribuan buku. Aidit biasa bekerja, membaca atau rapat di ruang perpustakaan itu yang berukuran lima kali empat belas meter, yang terletak di bagian belakang rumah. Kebiasaan yang masih diingat isteri dan anak-anaknya, adalah “kemampuannya untuk bisa tertidur lelap di kursi kerjanya setelah membaca dan bekerja sepanjang malam”.

Enam hari dalam seminggu hidup Aidit, hampir sepenuhnya adalah untuk kegiatan politik, namun hari Minggu sepenuhnya untuk keluarga dan diisi dengan rekreasi di pantai Cilincing atau tempat lainnya. Selain itu, pada hari lain, meskipun hanya beberapa menit, bila ia pulang dan berjumpa dengan anaknya, ia akan segera meletakkan berkas-berkas yang terkepit di ketiak kanannya dan tas kerja yang ada di tangan kirinya, untuk “langsung meraih dan mengangkat tubuh kecil anak-anaknya dengan wajah gembira”. Continue reading “Bendera Merah PKI di Indonesia (5)”

Bendera Merah PKI di Indonesia (4)

LUPUT dari kemungkinan “kehilangan kepala” di masa pendudukan tentara “Matahari Terbit”, para tokoh PKI bawah tanah mencoba berkiprah dalam perjuangan menjelang proklamasi. Tidak dalam posisi-posisi yang vital dan signifikan, dengan Tan Malaka sebagai pengecualian. Dipa Nusantara Aidit sementara itu, meskipun memang sebagai pemuda telah aktif di lingkungan kaum pergerakan untuk kemerdekaan menjelang proklamasi tidak lah menjalankan suatu peran penting.

Namun, Aidit berhasil menciptakan kedekatan pribadi dengan Soekarno dalam kasus dokumen testamen Soekarno-Hatta. Keberadaan testamen ini disebut-sebut untuk mewariskan kendali kekuasaan negara kepada Tan Malaka, bila ada sesuatu terjadi pada diri Dwi Tunggal Soekarno-Hatta. Dokumen testamen yang asli berjudul “Amanat Kami”, ditandatangani Soekarno-Hatta, bertanggal 1 Oktober 1945, mencantumkan “pewaris” kolektif yang terdiri dari Tan Malaka, Iwa Koesoema Soemantri, Sjahrir dan Wongsonegoro. Tetapi kemudian beredar versi pewaris tunggal Tan Malaka, yang menimbulkan kontroversi.

Mohammad Hatta menyebutkan adanya keterlibatan tokoh pemuda Chaerul Saleh pada kelahiran Testamen versi pewaris tunggal itu. Aidit berhasil memperoleh dokumen “asli” dari versi pewaris tunggal dan membawanya kepada Soekarno yang langsung merobeknya. Menurut Sajoeti Melik, Aidit pun pernah mengambil dari tangannya naskah ketikan asli teks proklamasi lalu menyimpannya untuk beberapa lama. Tetapi Sajoeti Melik yang menduga Aidit punya tujuan tidak baik dengan menyimpan teks proklamasi itu, bersusah payah meminta lagi dokumen itu dan berhasil mendapatnya kembali melalui cara yang tidak mudah. Continue reading “Bendera Merah PKI di Indonesia (4)”

Antara Kebangkitan PKI, Masa Depan Ummat Islam dan Kedaulatan Bangsa Indonesia

Oleh Suripto SHPengamat Intelijen, Pertahanan dan Keamanan*

Pada tahun 1972 saya bersama Prof Fuad Hasan dan Jenderal Soemitro Pangkopkamtib datang ke Pulau Buru. Kesimpulan saya adalah 90% tapol tidak paham politik. Mereka terbawa suasana dan menjadi ‘korban’ perseteruan elit politik era Perang Dingin. Yang sadar ideologi hanya 10% saja.

Perhitungan saya waktu itu dari 7 juta anggota PKI ada sekitar 200.000 anak keturunannya yang masih berusia di 2 bawah 12 tahun, 20 tahun ke depan seberapa besar mereka ini menjadi ancaman? Sehingga saya terus berusaha mencari tahu di mana saja dan oleh siapa saja mereka ini dibina. Sehingga saya usulkan agar ada program untuk melakukan penelusuran secara mendalam terhadap mereka.

Ternyata ada yang dibina dan ditampung oleh yayasan, beberapa di antaranya yasasan Katolik. Tidak ada yayasan atau organisasi Islam yang membina mereka. Sekarang mereka berusia 40-45 tahun.

Pengikut PKI itu sama seperti pecandu narkoba. Harus dibina agar sembuh. Jadi kalau sekarang orang ramai bicara soal kebangkitan PKI itu sebenarnya tergantung pada 2 faktor; yaitu pertama siapa aktor-aktor yang memotivasi, dan kedua faktor-faktor lain yang mempengaruhi. Continue reading “Antara Kebangkitan PKI, Masa Depan Ummat Islam dan Kedaulatan Bangsa Indonesia”

Malapetaka Sosiologis 1965 di Bali

SETELAH Peristiwa 30 September 1965, kendati arus ‘pembalasan’ terhadap PKI yang terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur telah masuk beritanya ke Bali, tak terjadi sesuatu apa di daerah ini. Setidaknya sepanjang bulan Oktober 1965 Bali masih tenang. Baru pada bulan berikutnya, mendadak terjadi gelombang pembasmian pengikut PKI, diawali ‘hasutan’ dari tokoh-tokoh PNI – yang pada hakekatnya comrade in arms  PKI dalam Nasakom. Berlangsung keji, keras berdarah-darah. Tapi, pengungkapan pertama yang lengkap terbuka mengenai apa yang terjadi di Bali saat itu, relatif baru terjadi  dua tahun kemudian melalui tulisan Soe-Hokgie. Itu pun terbatas daya jangkaunya dari tangan ke tangan. Karena, tulisan Hokgie berjudul Pembantaian di Bali ini yang sebenarnya sudah siap cetak di Mingguan Mahasiswa Indonesia Desember 1967, tertunda pemuatannya. Belakangan terjemahan tulisan ini yang diambil dari proof reader 1967, dimuat lengkap dalam buku The Indonesian Killings 1965-1966,  Robert Cribb, 1990.

Seperti halnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, di Bali orang-orang PKI ‘mengakumulasi’ sejumlah tindakan yang menimbulkan keirihatian dan dendam sejak sebelum Peristiwa 30 September 1965. Pusat Studi Pedesaan Universitas Gadjah Mada, mencatat terjadi sejumlah aksi kekerasan dilakukan anggota-anggota PKI di pedesaan Bali sejak Januari 1965. Di Buleleng tercatat aksi sepihak, dilakukan Wayan Wanci dan massa BTI. Ia menyewa tanah dari Pan Tablen, dan suatu ketika sewa menyewa itu dihentikan. Lalu 250 massa BTI menduduki kembali tanah itu, 8 Januari 1965, disertai penghancuran rumah Pan Tablen.

Aksi sepihak lainnya terjadi 14 Januari, bersumber pertengkaran seorang menantu yang anggota BTI dengan mertuanya. Ketika mertua meminta kembali tanah yang dipinjamkan, sang menantu dan kawan-kawannya dari BTI melakukan pengrusakan atas tanaman jagung di tanah tersebut, lalu menduduki dan menggarap sawah itu. Aksi-aksi sepihak yang serupa terjadi berkali-kali, dan biasanya BTI berhadapan dengan para pemilik yang kebetulan anggota PNI. Dalam salah satu insiden soal tanah, 4 Maret 1965, massa PKI menyerang beberapa anggota PNI dengan parang dan senjata tajam lainnya. Continue reading “Malapetaka Sosiologis 1965 di Bali”

Cosmas Batubara dan Bung Karno

COSMAS BATUBARA –bersama Fahmi Idris, Rahman Tolleng, Mar’ie Muhammad, Subchan ZE, Liem Bian Koen dan beberapa tokoh lainnya– adalah bagian tak terpisahkan dalam salah satu proses perubahan politik Indonesia pada tonggak waktu 1966. Suatu rezim kekuasaan di bawah tokoh legendaris dalam sejarah Indonesia kontemporer Bung Karno, pengakhirannya berawal dari sana. Kenapa rezim itu harus berakhir? Sedikitnya tergambar melalui narasi yang disarikan dari catatan Cosmas Batubara berikut ini.
“Perkembangan politik Indonesia selama demokrasi terpimpin di bawah Presiden Soekarno dari tahun 1960-1965 diwarnai tiga kekuatan politik. Dari seluruh politisi dan organisasi masyarakat serta angkatan bersenjata ada yang berorientasi kepada diri Presiden Soekarno, sebagian lagi berorientasi kepada Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan ada yang berorientasi kepada Partai Komunis Indonesia. Pada saat itu terjadi pertarungan ideologi antara yang pro Nasakom dan yang tidak menyetujui Nasakom (Nasionalis-Agama-Komunis).” Singkatnya pertarungan antara ideologi komunis versus Pancasila.
“Posisi Presiden Soekarno dengan para pengikut sebenarnya berada di tengah. Akan tetapi dalam realitas politik, kelompok yang tidak setuju kepada komunis berpendapat bahwa Presiden Soekarno lebih sering memberi angin kepada kelompok komunis.” Continue reading “Cosmas Batubara dan Bung Karno”

45 Tahun Peristiwa 15 Januari 1974: Peking-Tokyo-Beijing

EMPAT puluh tahun waktu berlalu setelah Peristiwa 15 Januari 1974, dan Indonesia awal 2019 masih tetap menghadapi beberapa titik persoalan ekonomi dan politik yang serupa. Dalam dua momen, amat menonjol kritik tajam tentang dominasi modal dan bantuan asing. Menjelang tahun 1974 Indonesia menjadi bagian dari protes luas atas dominasi (ekonomi) Jepang di regional Asia Tenggara. Sementara saat ini, pada tahun-tahun ini, Indonesia dipenuhi diskursus tajam mengenai dominasi ekonomi Republik Rakyat Tiongkok melalui tali temali hutang.

Bedanya, pada 45 tahun lalu titik kulminasi protes tercapai dan di Indonesia meletus pada akhirnya sebagai Peristiwa 15 Januari 1974. Terjadi demonstrasi mahasiswa secara besar-besaran yang oleh kalangan kekuasaan kala itu diberi akronim Malari atau ‘Malapetaka Limabelas Januari’ yang berkonotasi buruk dalam bingkai makar. Jenderal Soeharto sebenarnya nyaris tumbang, namun berhasil mendayung keluar di antara gelombang persaingan internal para jenderal maupun teknokrat di bawahnya.

Peking-Tokyo-Beijing

Protes besar-besaran anti Jepang di Asia Tenggara sebenarnya dimulai di Bangkok., berupa gerakan mahasiswa ‘Anti Japanese Goods’. Merambat ke Indonesia. Kala itu, bipolarisme dunia –akibat masih berlangsungnya Perang Dingin– masuk ke dalam lingkup nasional semua negara. Di Indonesia simbol pertarungannya adalah antara Ali Murtopo-Soedjono Hoemardani-CSIS-Jepang-Amerika versus Jenderal Soemitro-Hariman Siregar-Sjahrir –bersama maupun terpisah– sebagai kelompok kritis progressif. Continue reading “45 Tahun Peristiwa 15 Januari 1974: Peking-Tokyo-Beijing”

Antara Jokowi dan Prabowo: Sikap Otoriter versus Sikap Ekstrim?

LANGKAH kehidupan politik Indonesia memasuki 2019 ditandai dua lekatan opini kuat terhadap dua tokoh utama yang akan memasuki gelanggang Pemilihan Presiden 17 April. Tokoh kubu 01 Joko Widodo tersodorkan sebagai seorang yang dalam 4 tahun berkuasa telah menjelma sebagai tokoh otoriter. Sementara itu tokoh kubu 02 Prabowo Subianto tergambarkan sebagai tokoh ekstrim. Baik karena rentetan pernyataan-pernyataan kerasnya, maupun karena kedekatannya –yang bermakna dukungan– dengan kelompok yang selama ini selalu diberi label kelompok ekstrim.

Dua lekatan atas dua tokoh itu, tentu saja bisa benar, setengah benar atau mungkin tak sepenuhnya benar. Perlu dinilai dan dianalisa bersama.

Tentang sikap otoriter Jokowi

Tuduhan otoriter terbaru atas diri Joko Widodo, datang dari beberapa pengamat asing dari Australia. Tom Power, kandidat PhD dari Australian National University (ANU), Oktober lalu menyebut Presiden Joko Widodo telah berputar arah menjadi penguasa otoriter. Sebelumnya ada pendapat berarah sama dari akademisi Australia lainnya, seperti Tim Lindsey (University of Melbourne), Eve Warburton dan Edward Aspinall (ANU) Namun, sebelumnya lagi sejak April 2018 tuduhan otoriter itu sudah dinyatakan tokoh politik senior Amien Rais. Continue reading “Antara Jokowi dan Prabowo: Sikap Otoriter versus Sikap Ekstrim?”

Joko Widodo Dalam Lekatan Stigma PKI

TELAH empat tahun lebih Joko Widodo –kini Presiden RI yang sedang mempersiapkan diri menuju periode kedua– senantiasa berada dalam lekatan stigma PKI. Terhadap tuduhan PKI pada dirinya, Joko Widodo mengatakan di depan deklarasi akbar ulama Madura (19/12) “Saya sudah empat tahun diam saja. Saatnya saya berbicara sekarang ini.” Jokowi lalu menuturkan, berdasarkan survei ada 9 juta orang yang percaya dengan isu PKI dan tuduhan anti ulama dan antek asing. “Kalau sudah 9 juta, saya menjawab. Ini perlu saya menjawab. Saya diam kemarin bukan karena apa-apa. Ini saya jawab supaya tak berkembang jadi 10 juta, 11 juta, 12 juta, 15 juta. Bahaya sekali. Sehingga perlu saya jawab.”

Ini ulangan penjelasan serupa yang sebelumnya telah disampaikan Jokowi di Lampung Tengah (23/11) dalam acara membagi-bagi sertifikat tanah. “Ini yang kadang-kadang, haduh, mau saya tabok, orangnya di mana, saya cari betul”. Sepekan kemudian saat bertemu Yusril Ihza Mahendra, dan mengeluhkan soal itu (30/11) Ketua Umum PBB itu menasehatinya untuk menjawab. Agar berita yang dianggap bohong oleh Jokowi itu “tidak menjadi benar” karena tidak ada penjelasan. Continue reading “Joko Widodo Dalam Lekatan Stigma PKI”

Jalan Mundur Pers Indonesia ke Masa Soekarno

TERMAKAN angstpsychose kelompok kekuasaan aktual –koalisi pemilik otot politik dengan pemilik akumulasi uang– dalam ‘ketakutan’ dan godaan sebagian pelaku pers Indonesia menjinakkan diri. ‘Sukarela’ memasukkan diri ke medan kendali kekuasaan. Banyak yang melakukan self censor atau paling tidak tutup mata terhadap berbagai masalah krusial per saat ini. Sebagian lainnya bahkan ikut dalam akrobatik politik dan kekuasaan, menjalankan tugas-tugas yang bertentangan dengan idealisme pers. Melakukan framing dan blackout atas berbagai peristiwa sesuai perintah melalui the invisible hands. Khususnya terhadap peristiwa atau pernyataan yang tak disenangi kalangan kekuasaan politik dan sebagian kekuasaan negara maupun kekuasaan ekonomi. Faktanya, pemilik media pers saat ini hampir seluruhnya adalah kalangan kekuasaan ekonomi maupun politik.

Seraya mengutip penulis Selandia Baru, Lance Morgan, “memanipulasi media sama dengan meracuni suplai air suatu negara”, wartawan senior Hersubeno Arief mengatakan pers Indonesia memasuki masa gawat darurat. “Pemilihan Presiden 2019 membawa media dan dunia kewartawanan di Indonesia memasuki sebuah episode terburuk sepanjang sejarah pasca-Reformasi. Situasinya bahkan lebih buruk dibandingkan dengan era Orde Baru. Kooptasi dan tekanan hukum oleh penguasa, sikap partisan para pemilik media dan wartawan, serta hilangnya idealisme di kalangan para pengelola media dan wartawan membuat mereka tanpa sadar melakukan ‘bunuh diri’ secara massal.” Continue reading “Jalan Mundur Pers Indonesia ke Masa Soekarno”

4 Tahun Tertawa dan Menangis Bersama Presiden Joko Widodo (2)

SEJAUH ini, satu-satunya yang cukup menghibur, khususnya bagi kalangan akar rumput adalah keadaan bebas biaya dalam menyekolahkan anak. Tetapi untuk tingkat perguruan tinggi, masih membayang faktor biaya tinggi yang tak tertolong program beasiswa yang masih terbatas daya jangkaunya. Di bidang kesehatan, dalam batas tertentu pertolongan Kartu Indonesia Sehat dan manfaat BPJS cukup menolong namun kini terjadi kesulitan dalam masalah pendanaan dan pengelolaan. Baru-baru ini secara terbuka di muka khalayak Presiden menegur Menteri Kesehatan dan Direktur BPJS untuk masalah dana kesehatan ini. Namun belum tentu kesalahan sepenuhnya ada pada BPJS atau Kementerian Kesehatan. Pengorganisasian pengumpulan dana (wajib) dari masyarakat hingga ke pengelolaannya, memang termasuk sesuatu yang rumit. Harus pula dirunut duduk soalnya, mulai dari apakah perencanaannya sudah sempurna atau belum sempurna menghitung segala aspek.

Adalah memprihatinkan, bila dua program ini tak berjalan baik. Kedua jenis program terkait pendidikan dan kesehatan ini adalah kebutuhan mutlak kalangan akar rumput, di samping masalah perut. Selain itu, kedua program, bila dijalankan dengan baik, pasti sangat berguna untuk sedikit menimbun jurang perbedaan sosial ekonomi, sebelum ada keberhasilan pemerataan ekonomi yang lebih baik. Continue reading “4 Tahun Tertawa dan Menangis Bersama Presiden Joko Widodo (2)”