Dalam Kancah Anomali Indonesia, Joko Widodo dan Prabowo Subianto

FENOMENA terbaru Indonesia: Dua seteru dalam ‘pertarungan’ nyaris habis-habisan menuju kursi RI-1, tiba-tiba di pekan keempat Oktober ini masuk dalam satu kawah kekuasaan. Satu sebagai Presiden Republik Indonesia dan yang lainnya sebagai Menteri Pertahanan. Bila sebelum ini terjadi pembelahan dua di tengah masyarakat dalam perpihakan dua tokoh, kini terjadi lagi pembelahan dua di masing-masing belahan. Semacam anomali politik kekuasaan ala Indonesia yang cukup mencengangkan.

Buku teks Sociology –ditulis Ogburn dan Nimkoff, yang telah dicetak ulang terus menerus sejak 1940 selama puluhan tahun– menyebutkan bahwa sains (science) menghasilkan ilmu pengetahuan, tapi tidak mencipta kebijaksanaan, atau pemahaman, atau pengendalian, atau gagasan. Namun, adalah benar bahwa ilmu pengetahuan bisa membantu manusia lebih bijak, lebih memahami, memberi pedoman mengelola lingkungan, dan mengilhamkan gagasan.

Dan ada empat contoh tokoh terkemuka untuk itu. Sulaiman (Alaihissalam) adalah seorang manusia bijak tapi bukan seorang saintis. Shakespeare memiliki pemahaman besar namun juga bukan seorang saintis. Napoleon menjalankan pengendalian tanpa sains. HG Wells adalah manusia gagasan, tapi bagaimanapun gagasan bukanlah sains.

Mencari manusia dari ‘dunia yang lain’

Saat akan maju berjuang menjadi Presiden Republik Indonesia untuk pertama kali di tahun 2014, selain melontarkan banyak gagasan pembangunan, Letnan Jenderal Purnawirawan Prabowo Subianto juga melontarkan banyak kata-kata kritik tentang berbagai anomali yang terjadi di tubuh bangsa dan negara ini. Menurutnya, demokrasi setelah reformasi sudah kebablasan, membuat ribuan suratkabar, banyak partai politik, dan korupsi semakin merajalela. “Maling tambah maling. Tambah banyak hakim konstitusi yang juga maling. Luar biasa bangsa kita ini,” ujarnya.

PRABOWO SUBIANTO DAN JOKO WIDODO. Legislator dan pemimpin macam apa yang telah kita peroleh melalui Pemilihan Umum yang baru lalu di tahun 2019 ini. Apa peluang kita sebagai bangsa bersama Joko Widodo yang menapak ke periode kedua masa kepresidenannya. Apakah kita berhasil memperoleh para penyelamat bangsa dan negara, atau sebaliknya para manusia yang akan mendorong Indonesia menuju kehancuran yang lebih cepat lagi…..? (Gambar head, Menteri Pertahanan Prabowo dan Presiden Joko Widodo di tangga Istana. Foto original download) #MediaKarya

Terlepas dari siapa yang mengatakannya, Indonesia memang lebih merupakan sebuah anomali, terutama pada beberapa dekade terakhir ini. Cepat atau lambat, bila tak ada usaha keras bersama, Indonesia suatu ketika akan betul-betul miskin manusia bijak, manusia dengan pemahaman besar atau manusia gagasan, atau bahkan sekedar manusia baik dan normal. Manusia bijak maupun manusia dengan pemahaman besar hanya didengarkan kata-katanya namun tanpa diresapi maknanya. Manusia dengan gagasan, adalah manusia dari dunia yang lain, karena kebanyakan orang lebih menyukai statusquo daripada menerima pembaharuan. Apalagi bila pembaharuan itu menyangkut politik dan kekuasaan serta dominasi ekonomi.

Manusia-manusia baik maupun manusia-manusia yang coba bertahan sebagai manusia baik, dari hari ke hari makin tersudutkan oleh situasi dengan fakta kejahatan mengalahkan kebaikan. Kehidupan politik, kehidupan bernegara, kehidupan ekonomi dan kehidupan sosial, makin penuh dengan kekejian. Seorang tokoh baik, dicintai dan mencintai rakyat, bisa dirobah oleh para pendukung atau partai yang ‘membesarkan’nya menjadi tokoh buruk saat berada dalam suatu posisi kekuasaan.

Secara bersama, para pemimpin kekuasaan politik dan para pemimpin sosial, hingga lapisan akar rumput menyatakan dan atau menerima pilihan kehidupan bernegara dengan sistem demokratis. Tapi dalam kenyataan, yang sangat mengemuka adalah sikap otoritarian represif di satu sisi dan sikap anarkis pada sisi yang lain. Di tengahnya adalah kalangan akar rumput negara yang terombang-ambing kehidupan sehari-harinya. Harus pandai-pandai berteduh di bawah ‘hujan’ stigmatisasi nyinyir, intoleran, rasis, anarkis, terpapar radikalisme dan aneka stigmatisasi mengerikan lainnya.

Manusia tidak normal sebagai mayoritas

Suatu gambaran dengan rasa pedas tapi perih ada dalam buku seorang ekonom senior Indonesia yang belum lama ini diterbitkan, bahwa Indonesia mengalami krisis kepemimpinan bangsa. “Para elite menunjukkan diri sebagai pemimpin yang tidak berkualitas dan berkarakter. Di eksekutif, kuasa pemimpin yang bicara. Bukan pimpinan kuasa. Di legislatif, bukan pimpinan perwakilan rakyat yang bicara dan menentukan, melainkan pimpinan partai. Di judikatif, pimpinan mafia hukum merajalela dari Sabang sampai Merauke.”

Dalam keadaan rakyat yang telah mengalami krisis kepemimpinan ini, “rakyat kadang tidak menyadari bahwa bangsa ini telah dijajah kembali oleh neo kolonialis bangsa sendiri.” Rakyat rindu akan datangnya pemimpin yang berwibawa dan berkarakter. Pemimpin yang dikehendaki oleh rakyat adalah mereka yang mengabdi kepada rakyat, khususnya rakyat kecil. Seorang presiden, misalnya, tidak perlu serba ahli dan berpendidikan sangat tinggi. “Syarat pokoknya adalah integritas dan kemampuan mengarahkan kabinetnya untuk mencapai suatu tujuan konkret bagi perbaikan hidup berbangsa dan bernegara secara umum, dan khususnya bagi perekonomian rakyat.”

Manusia tidak normal makin menjadi mayoritas. Bahkan kalangan perguruan tinggi dan kalangan intelektual pada umumnya, makin terisi dengan manusia jalan pintas. Berkali-kali terungkap adanya akademisi yang melakukan plagiat dalam menghasilkan karya-karya ilmiah. Sementara sejumlah lainnya tak segan-segan melakukan pelacuran intelektual dalam skenario kepentingan kalangan kekuasaan yang membutuhkan ‘cap’ atau pembenaran akademis untuk berbagai tindakan dan kebijakan.

Perguruan tinggi pun menjadi salah satu sumber penghasil manusia-manusia pelaku korupsi. Dosen yang pernah dinobatkan sebagai seorang dosen teladan pun, bisa tergelincir dalam kekuasaan. Toh, gelar-gelar akademis tetap digilai, terutama oleh mereka yang membutuhkan atribut akademis dalam dunia politik dan kekuasaan. Tapi pada sisi lain, tak luput juga dari tudingan telah terpapar paham radikalisme.

Penyelamat atau pendorong kehancuran?

DALAM dunia kekuasaan, lebih menyenangkan menjadi ala Napoleon –walau dengan kualitas lebih buruk– dengan mengendali negara lebih berdasarkan hasrat dan kepentingan sendiri. Tanpa kenegarawanan. Lebih buruk dari Napoleon sebenarnya, karena bahkan Napoleon pun dalam hal tertentu masih memiliki sifat dan sikap kenegarawanan yang berharga untuk Perancis.

Tolong perhatikan dan perkirakan bagaimana kualitas kepemimpinan dan kualitas kenegarawanan para pemimpin kita dalam beberapa dekade ini. Dan tolong perhatikan pula bagaimana kualitas para tokoh yang kini sedang ancang-ancang di garis start menangani lanjut bangsa dan negara ini di tengah situasi penuh anomali seperti sekarang.

Setelah itu, mari kita tunggu jawaban kualitatif, legislator dan pemimpin macam apa yang telah kita peroleh melalui Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Presiden yang baru lalu di tahun 2019 ini. Apa peluang kita sebagai bangsa bersama Joko Widodo yang menapak ke periode kedua masa kepresidenannya. Apakah kita berhasil memperoleh para penyelamat bangsa dan negara, atau sebaliknya para manusia yang akan mendorong Indonesia menuju kehancuran yang lebih cepat lagi…..? (media-karya.com/socio-politica.com) #mediakaryaanalisa

One thought on “Dalam Kancah Anomali Indonesia, Joko Widodo dan Prabowo Subianto”

  1. Kata-kata terakhir sungguh membuat kita berpikir lebih banyak.Pemerintahan yang baru akan menyelamatkan atau akan mempercepat kehancuran? Penungguan yang mendebarkan.

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s