TIGAPULUH dua tahun, kurang lebih, dalam posisi kepemimpinan negara bersama Soeharto, membuat tak sedikit tokoh yang ‘lahir’ dan ‘besar’ bersama Golkar, menjadi addict dengan kekuasaan. Merasa canggung bila berada di luar lingkaran kekuasaan. Dan ini seakan mewaris di dalam tubuh organisasi politik besar yang sejak 1999 hingga kini telah menjelma menjadi Partai Golongan Karya.
Kini, menjelang 2019 Partai Golkar di bawah Airlangga Hartato sedang mengupayakan menapak kembali menuju posisi kepemimpinan nasional. Peta jalannya menuju posisi itu sudah di buat. Tapi bukankah seorang tokoh Golkar, Muhammad Jusuf Kalla, sudah dua kali menjadi Wakil Presiden pasca Soeharto? Dianggap beda, karena Jusuf Kalla naik ke kursi No.2 di bawah dua presiden, lebih karena ‘perjuangan’ pribadinya, tanpa dukungan formal Partai Golkar.
Dalam Pemilu 1999 Golkar berada di urutan kedua dengan raihan suara 22,44 persen, di bawah PDIP yang memperoleh 33,74 persen suara. Itu untuk pertama kalinya Golkar memperoleh suara di bawah angka tradisi 60-an persen, dan dengan peroleh suara 22,44 persen itu Golkar hanya memperoleh 120 kursi di DPR-RI yang berarti kehilangan 205 kursi dibanding Pemilu 1997. Itu masih ‘baik’, karena banyak pihak yang memperkirakan –tepatnya, mengharapkan– Golkar keluar total dari gelanggang politik pasca Soeharto. Bahkan, sempat ada yang menginginkan Golkar disudutkan agar ‘bernasib’ sama dengan PKI pasca Peristiwa 30 September 1965, dijadikan partai terlarang berdasar stigma KKN.
Ketika Partai Golkar pada pemilihan umum berikutnya di tahun 2004 berhasil memperbaiki peringkat ke urutan pertama dengan raihan suara 21,58 persen, itu tak berarti Golkar bisa menjadi bintang penentu dalam kepemimpinan nasional. Dalam Pemilihan Presiden 2004 –pemilihan langsung untuk pertama kali– Golkar maju dengan pasangan calon hasil konvensi internal, Jenderal Purnawirawan Wiranto dan Ir Solahuddin Wahid. Diikuti lima pasangan calon, Wiranto-Solahuddin tersisih di putaran pertama di urutan ketiga dengan perolehan suara 22,15 persen. Teratas pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Muhammad Jusuf Kalla yang didukung partai baru Partai Demokrat, dan di posisi kedua Megawati Soekarno Puteri-Hasyim Muzadi yang didukung PDIP. Dalam putaran kedua, terbentuk koalisi pendukung. Mega-Muzadi ikut didukung oleh Partai Golkar selain PDIP, Partai Damai Sejahtera dan Partai Bintang Reformasi. Sedang SBY-JK didukung Partai Demokrat, PAN, PKB, PPP, PKS dan PKPI.

Di tubuh Golkar terjadi sedikit pertentangan. Beberapa tokohnya, Marzuki Darusman-Fahmi Idris dan kawan-kawan memilih perpihakan ke kubu SBY-JK, sementara Ketua Umum Akbar Tandjung membawa Golkar ke kubu Megawati. Marzuki memprotes, DPP Golkar di putaran pertama habis-habisan memompa para kader untuk ‘mematahkan’ Mega. Tapi, di putaran kedua disuruh berbalik mendukung Mega. Perbedaan sikap, berujung pada ‘pemecatan’ Marzuki-Fahmi dan kawan-kawan oleh Akbar Tandjung. Dalam pada itu, Wiranto juga menyatakan kekecewaan bahwa mesin partai tak digerakkan sepenuh hati mendukung dirinya. Dan ini berujung pada pemisahan diri melalui pembentukan partai baru Hanura.
Ternyata SBY-JK memenangkan pertarungan dengan perolehan suara 60,62 persen. Jusuf Kalla memperoleh tambahan kemenangan pribadi, ketika tak sampai dua bulan kemudian melalui Munas Golkar 15-20 Desember 2004 di Bali, berhasil meraih posisi Ketua Umum Golkar periode 2004-2009. Meski pernah ‘disakiti’ Akbar, dalam Munas di Bali itu dengan pertimbangan moral tertentu, dari belakang layar Marzuki Darusman mencoba agar kepemimpinan Akbar berlanjut. Namun apa daya, ada faktor lain yang lebih ampuh telah bekerja. Ada begitu banyak desas-desus bahwa faktor lain itu adalah money politic, tetapi tak pernah ada pembuktian kecuali percakapan berkategori rumor. Analisis yang ‘lebih’ masuk akal tentu adalah bahwa faktor lain itu berupa kuatnya pragmatisme di tubuh Golkar yang terkait fakta bahwa Muhammad Jusuf Kalla per saat itu ada dalam satu posisi kekuasaan.
SAAT ini untuk menuju 2019, Partai Golkar telah meluncurkan program Go Jokowi. Golkar untuk Jokowi. Artinya, sejauh ini di tubuh Partai Golkar, belum terpikirkan untuk menjadi pelopor penciptaan alternatif baru, katakanlah dalam posisi sebagai partai pembaharu. Semisal, maju menawarkan jalur pilihan dan atau alternatif baru selain figur Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Pekan lalu terpublikasikan bahwa 34 Dewan Pimpinan Daerah Golkar –kepengurusan tingkat provinsi– menyatakan keinginan agar Calon Wakil Presiden untuk Joko Widodo berasal dari Golkar. Dengan cepat mengerucut bahwa calon itu tak lain adalah Ketua Umum Golkar sendiri, Airlangga Hartarto. Bukan siapa-siapa, meski di Golkar itu sesungguhnya terdapat sederetan tokoh berkualitas dengan kapabilitas presidentship yang bukan sekedar untuk kursi nomor dua, seperti misalnya Akbar Tandjung, Marzuki Darusman, Fahmi Idris dan mungkin Aburizal Bakrie.
Bagaimana dengan Muhammad Jusuf Kalla? Namanya masih disebut-sebut oleh beberapa tokoh internal Golkar untuk posisi Wakil Presiden, meski disadari untuk itu diperlukan lebih dulu upaya ‘amandemen’ UUD. Salah satu Ketua DPP Golkar Rambe Kamarulzaman menyebut Jusuf Kalla tak memenuhi syarat untuk kembali menjadi wakil Presiden sesuai Tap MPR No. XIII tahun 1998 bahwa pencalonan Presiden dan Wakil Presiden hanya untuk dua masa jabatan. Sedang Ketua Dewan Pakar Golkar Agung Laksono, to the point mengatakan partainya tak mendukung masa jabatan dua kali untuk Wakil Presiden.
Di atas kertas, terutama bila memandang politik itu berdasarkan hitungan matematis belaka, terkait akumulasi perolehan suara, semestinya Jokowi memilih calon dari Golkar sebagai Wakil Presiden, seperti yang sekarang relatif telah terjadi secara faktual. Tapi banyak cara menghitung lainnya.
Hitungan berdasar faktor ideologis? Empat partai teratas hasil Pemilu 2014 menurut pengkategorian ‘lama’ adalah rumpun nasionalis, yaitu PDIP, Golkar, Gerindra dan Demokrat. Namun menurut pengkategorian ‘baru’ perpolitikan Indonesia semua partai yang telah berideologi Pancasila adalah sama-sama kelompok nasionalis. Mungkin ciri khas berupa asal usul ideologi(awal)nya yang berbeda-beda, semisal ciri sosialistis, daerah sebaran pendukung, agamis dan sebagainya, justru masih lebih diperhitungkan. Tetapi terlepas dari itu, semua partai punya persamaan menakjubkan, sama-sama sangat pragmatis dalam konteks kontestasi kekuasaan. Dan ini bisa bekerja sebagai zat pengencer dalam berkoalisi.
Barangkali bisa dipahami, kenapa harus pragmatis, yang tak lain karena tak satu pun di antara banyak partai ini memiliki raihan suara di atas 20 persen. Jauh panggang dari api bila berbicara sendirian membentuk mayoritas kerja di DPR. Lagi pula, kata siapa para pemimpin partai bisa mendikte kader maupun pendukungnya, agar ada dalam satu komando dalam pilihan Pemilihan Umum dan atau Pemilihan Presiden? Jangan mengharap ada konsistensi linear di sini. Belum lagi bahwa angka raihan suara yang dimiliki partai-partai sekarang adalah angka raihan 5 tahun sebelumnya, bukan fresh from the oven seperti dalam Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden tahun 2004. Pendek kata, terdapat begitu banyak faktor yang tak selalu bisa terukur sebagai variabel dalam praktek politik kekuasaan Indonesia masa kini. (media-karya.com)