74 Tahun Tertawa dan Menangis Bersama 7 Presiden (1)

SEPANJANG 74 tahun Indonesia merdeka, rakyat Indonesia ganti berganti hidup bersama 7 presiden. Bersama mereka, rakyat bisa tertawa, tetapi mungkin lebih banyak terpaksa menangis dalam ketidakberhasilan mencapai cita-cita dan impian dalam Indonesia merdeka.

Dari tujuh Presiden itu, ada yang memerintah selama 20 tahun dan 32 tahun, yakni Soekarno dan Soeharto, dan sebaliknya ada yang berada pada posisinya ibarat hanya seumur jagung, yakni BJ Habibie. Sedang Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarno Puteri harus berbagi separuh-separuh periode 5 tahun. Dan ada pula yang menjalaninya selama 10 tahun –dua periode, batas maksimal yang diperbolehkan UUD hasil amandemen– yakni Soesilo Bambang Yudhoyono. Meski berkali-kali berada dalam bayang-bayang ‘ancaman’ dan ‘gertakan’ impeachment toh ia selamat melampaui masa kedua kepresidenannya.

Penggantinya, Joko Widodo, yang tampil sebagai pemimpin baru setelah menang tipis melalui Pemilihan Presiden 2014, 12 hari menjelang peringatan 70 tahun Indonesia merdeka, 4 tahun lalu, sudah terpaksa mulai ‘mengeluh’. Kepada pers di Istana Bogor ia berkata, “Saya sejak walikota, sejak gubernur, setelah jadi presiden, entah dicemooh, diejek, dijelek-jelekan, sudah makanan sehari-hari.”

Maka, sejumlah anggota ‘rezim’ hampir sepanjang lima tahun ini berusaha keras menghidupkan pasal-pasal penghinaan Presiden yang sudah dihapuskan Mahkamah Konstitusi dari KUHP tahun 2006 lalu. Tapi keinginan itu seakan terpenuhi dengan keberadaan UU-ITE, dan para penegak hukum telah memaksimalkan pasal-pasal dalam undang-undang itu untuk menindak para pengeritik rezim. UU Anti Terorisme juga akan menjadi perangkat efektif untuk mematahkan setiap upaya yang dianggap ingin menjatuhkan kekuasaan. Akan tetapi, untuk sebagian usaha bela Presiden itu seringkali seakan tenggelam dalam deru berbagai persoalan ekonomi-keuangan. Apalagi bersamaan waktu dengan itu terjadi pula serangkaian ‘kegaduhan’ kehidupan politik dan penegakan hukum, teristimewa menjelang dan selama proses Pemilihan Presiden April lalu.

Persamaan Dalam Kegagalan

Meski ada yang saling meniru satu sama lain, secara umum 7 Presiden Republik Indonesia, memiliki gaya menjalankan kekuasaan yang masing-masing berbeda. Namun 7 presiden itu memiliki beberapa kesamaan ‘penting’: Sama-sama belum berhasil menegakkan keadilan sosial –keadilan ekonomi, keadilan politik maupun keadilan hukum– bagi seluruh rakyat dalam suatu negara Indonesia yang aman dan sejahtera. Sama-sama pula ‘terpaksa’ bersedia hidup ‘damai’ dalam iklim collusive dengan para oligarch politik dan ekonomi, dalam kepentingan sama mempersiapkan dinasti generasi kedua mereka masing-masing.

SOEKARNO DAN SOEHARTO. Tujuh Presiden sama-sama belum berhasil mewujudkan keadilan sosial untuk seluruh rakyat. Sama-sama pula ‘terpaksa’ bersedia hidup ‘damai’ dalam iklim collusive dengan para oligarch politik dan ekonomi, dalam kepentingan sama, mempersiapkan dinasti generasi kedua mereka masing-masing. #MediaKarya

Giliran per saat ini adalah Presiden ketujuh, Joko Widodo, mencoba membuktikan diri. Tapi hingga sejauh ini, seperti yang terlihat pada periode pertama masa kepresidenannya, sang presiden seakan-akan juga lebih cenderung tergiring ke wilayah ketidakberhasilan serupa. Dan, tujuan akhir serupa dalam konteks kekuasaan.

Sebagian dari tujuh Presiden itu memerintah dengan gaya otoriter, sebagian dengan gaya feodalistik yang bercampur gaya kolonialistik, sebagian lagi mencoba gaya bercitra demokratis. Namun pada hakekatnya, tetap saja sama-sama lebih banyak sekedar mengatasnamakan demokrasi, sebagai cerminan belum berhasilnya bangsa ini menemukan format yang pas dalam praktek berdemokrasi. Dan pada waktu yang sama, bangsa ini memang belum berhasil mempertemukan sistem demokrasi yang dipraktekkan dengan format sistem demokrasi yang digagaskan oleh para pendiri bangsa menjelang kemerdekaan Indonesia.

Persamaan lain yang sangat menonjol, terlihat secara empiris dari masa ke masa hampir sepenuhnya selama 74 tahun Indonesia merdeka, ialah kegagalan membasmi korupsi. Beberapa di antara mereka, sebaliknya justru berhasil ‘mengendalikan’ korupsi dalam pengertian untuk ditarik manfaatnya dalam rangka memelihara kekuasaan, atau setidaknya mempertahankan eksistensi dalam kekuasaan. Dengan penamaan yang berbeda-beda, selalu terjadi money politics dalam rangka pemeliharaan kekuasaan, yang dengan sendirinya tak bisa tidak mengharuskan adanya kompromi-kompromi dengan para pemilik akumulasi kekayaan yang memperolehnya melalui cara busuk dalam iklim koruptif.

Para pemegang akumulasi kekayaan ini, terbagi dalam dua kelompok besar. Pertama, para konglomerat maupun pengusaha semi konglomerat yang berhasil makin memperbesar akumulasi kekayaan mereka melalui kerjasama ‘ekonomi’ dengan kalangan kekuasaan yang memerlukan biaya sebanyak mungkin dana untuk memperoleh maupun memelihara kekuasaan. Kedua, tak lain adalah kelompok maupun perorangan yang pernah (atau masih) berada di dalam kekuasaan yang pada saat berkuasa bisa mengakumulasi kekayaan melalui manipulasi atau pemanfaatan kekuasaan mereka. Kelompok kedua ini membutuhkan kompromi tertentu dengan setiap penguasa ‘baru’ terutama sebagai pengamanan diri mereka agar tak dikutak-katik dosanya di masa lampau. Bahkan, kadangkala dengan kompromi itu mereka masih bisa turut serta menjalankan peran atau pengaruh tertentu di belakang layar kekuasaan. Makanya dari waktu ke waktu kita selalu bisa melihat kehadiran tokoh-tokoh kategori ‘the man for all seasons’ untuk menghindari penyebutan kasar sebagai tokoh bunglon.

Fenomena itu tetap terasa kuat hingga kini. Dalam rezim kekuasaan baru di bawah Jokowi-Jusuf Kalla, beberapa tokoh berkategori manusia segala musim itu, berhasil turut serta dalam posisi-posisi strategis kekuasaan. Bercampur dengan tokoh-tokoh yang belum punya jam terbang memadai dalam praktek pengelolaan negara. Meski, tentu saja harus diakui tetap ada manusia dengan pengecualian –baik dikalangan pelaku politik dan  ekonomi, maupun kalangan intelektual dan di masyarakat– yaitu yang memiliki idealisme untuk bangsa dan negara.

Khusus mengenai manusia segala musim –dalam konotasi negatif– ini, menurut catatan,  memang selalu ada dalam setiap masa peralihan antara dua kurun waktu sejarah. Melimpah dari satu zaman ke zaman berikutnya. Mereka kaum oportunis yang pernah menjadi kaki tangan aktif dari kaum kolonial misalnya, bisa beralih dan mendapat peran di masa-masa awal kemerdekaan. Tapi tentu kita harus membedakannya dengan lapisan pamong praja dalam birokrasi masa kolonial yang kemudian berperan positif dalam birokrasi Indonesia merdeka pada masa awal.

Dalam masa peralihan antara rezim Soekarno dengan rezim Soeharto, terdapat pula beberapa tokoh oportunis yang berhasil melanggengkan peranannya dengan nyaman di sisi Soeharto, sebelum akhirnya juga digusur. Sebagaimana kita bisa melihat betapa sejumlah tokoh berkualitas yang berperan di masa Soeharto, juga berperan di masa reformasi. Tapi tercatat pula adanya sejumlah tokoh berpembawaan otoriter, berhasil menapak ke masa-masa pasca Soeharto secara akrobatik dan mengambil peran kontroversial. Tak kalah menarik, bagaimana beberapa orang yang ‘dilempar’ keluar dari kekuasaan Jenderal Soeharto, karena melakukan korupsi –atau di’parkir’ karena berbagai alasan tak terhormat lainnya– berhasil tampil kembali di masa reformasi. Mereka mampu memanipulasi ‘sejarah’ diri dengan gambaran ‘retorik’ pernah melakukan perlawanan terhadap Soeharto. Menjadi mulia meski tak mulia di masa kekuasaan lampau yang tak dimuliakan lagi.

SEPERTI halnya dengan elite yang sedang berada dalam kekuasaan dan pemerintahan negara, para elite partai-partai politik yang sangat kuat orientasinya dalam mengejar kekuasaan, juga sama membutuhkan para konglomerat dan kelompok kedua yang terdiri dari eks lingkaran kekuasaan masa lampau. Itu sebabnya, sekarang ini, kita juga bisa melihat keberadaan sejumlah tokoh ex menteri atau ex pejabat yang cukup berduit –dan diharapkan masih punya sisa pengaruh dan jaringan atau akses tertentu– di sejumlah partai politik. (media-karya.comBerlanjut ke Bagian 2) #mediakaryaanalisa

Leave a Reply