74 Tahun Tertawa dan Menangis Bersama 7 Presiden (5)

Konsep jalan tengah Marzuki Darusman adalah berupa pembagian ‘tugas’ yang memberikan konsesi bagi Mega untuk lebih ‘masuk’ dalam pengambilan keputusan kebijakan pemerintahan. Semacam konsep surat keputusan pembagian tugas itu bahkan sempat ditandatangani oleh Abdurrahman Wahid. Namun, ketika satu tim menteri berkumpul untuk membahas penyelesaian final yang antara lain dihadiri Susilo Bambang Yudhoyono, Alwi Shihab, Agum Gumelar, Mahfud MD, Purnomo Yusgiantoro dan Marzuki Darusman serta Sekertaris Wapres Bambang Kesowo yang sengaja diminta hadir, terjadi semacam ‘kecelakaan’.

Konsep yang sebenarnya sudah dituangkan dalam satu draft yang sudah ditandatangani Abdurrahman Wahid, dan tampaknya dapat diterima oleh tim menteri yang hadir, buyar oleh Menteri Hukum dan HAM Baharuddin Lopa yang datang terlambat ke pertemuan sehingga ‘tak tahu soal’. Setelah sejenak membaca salinan draft –tanpa tanda tangan Abdurrahman Wahid– tersebut, Baharuddin Lopa yang tak tahu bahwa draft asli sudah ditandatangani Abdurrahman Wahid dan juga final disepakati segera disampaikan kepada Megawati, memberi satu komentar spontan. “Ini terlalu banyak untuk Mega”, demikian kurang lebih Lopa berkata, “Bukan begini maunya Gus Dur….” Namun kemudian Lopa bisa dibuat mengerti bahwa draft itu sudah disetujui Abdurrahman Wahid.

Konsep jalan tengah yang kandas

Akhirnya diputuskan bahwa draft itu segera dibawa saat itu juga ke Megawati oleh beberapa menteri, termasuk Lopa yang meminta untuk ikut. Sementara itu, begitu mendengar komentar Lopa, Bambang Kesowo segera meninggalkan pertemuan dan menghadap Mega. Entah apa dan bagaimana isi laporan Bambang Kesowo kepada Mega. Akan tetapi, nyatanya tatkala para menteri itu menghadap Mega, sambutan sang Wakil Presiden itu sudah sangat dingin terhadap jalan tengah yang bisa memecahkan kebuntuan. Terkesan dari ucapan-ucapan Mega bahwa usulan sharing kekuasaan pemerintahan dalam draft itu tak lain hanyalah bagian dari trick Gus Dur saja, dan tampaknya Mega lebih mempercayai cetusan spontan Lopa yang pasti sudah dilaporkan lengkap oleh Bambang Kesowo.

BAHARUDDIN LOPA DAN MARZUKI DARUSMAN. Baharuddin Lopa yang tak tahu bahwa draft asli sudah ditandatangani Abdurrahman Wahid dan juga final disepakati segera disampaikan kepada Megawati, memberi satu komentar spontan. “Ini terlalu banyak untuk Mega”, demikian kurang lebih Lopa berkata, “Bukan begini maunya Gus Dur….” Namun kemudian Lopa bisa dibuat mengerti bahwa draft itu sudah disetujui Abdurrahman Wahid. (Foto original download) #MediaKarya

Padahal, menurut penjajagan sebelumnya Mega sudah setuju pada formula yang intinya terkait pembagian tugas dan wewenang yang jelas dalam pengambilan keputusan dan kebijakan pemerintahan. Konsekuensi dari ketentuan-ketentuan dalam draft itu, Abdurrahman Wahid akan lebih banyak menjalankan fungsi kepala negara, sementara Mega lebih banyak menjalankan fungsi kepala pemerintahan seperti antara lain membentuk dan memimpin kabinet.

Adalah menarik bahwa dua kekuatan politik signifikan lainnya yang kala itu diwakili oleh Hamzah Haz (PPP) dan Akbar Tandjung (Golkar), melalui komunikasi politik yang dilakukan, pada mulanya menunjukkan kecenderungan ‘mendukung’ solusi pembagian tugas dan wewenang tersebut. Akan tetapi setelah ‘bocor’ informasi bahwa ternyata Mega akhirnya menolak, kedua tokoh yang berposisi signifikan tersebut juga berbalik pikiran dan arah. Apalagi kemudian Abdurrahman Wahid bereaksi tak kalah keras, bahwa kalau memang Mega tak menyetujui apa yang disodorkan itu, ia pada akhirnya takkan mendapat apa-apa dari Abdurrahman Wahid. Arah yang terjadi kemudian, menguat kecenderungan bahwa segala sesuatunya akan diselesaikan melalui suatu sidang MPR saja.

Untuk situasi politik per waktu itu, berarti akan ada yang dimintai pertanggungjawaban politik atas kemelut kepemimpinan negara dan kemungkinan besar akan terjadi pemakzulan. Tinggal menunggu satu titik picu dan alasan yang relevan dan bisa ‘dipertanggungjawab’kan. Di latar peristiwa, ada analisa yang spekulatif bahwa kedua tokoh tersebut, Hamzah Haz dan Akbar Tandjung, melihat bahwa bila Abdurrahman Wahid bisa dimundurkan, dan Megawati naik ke posisi RI-1, maka posisi RI-2 akan lowong. Itu berarti ada peluang mengisi kekosongan.

Dan Sidang MPR untuk memakzulkan Presiden Abdurrahman Wahid pada akhirnya memang terjadi. Adalah Abdurrahman Wahid sendiri yang menghidangkan alasan tepat untuk suatu pemakzulan, dengan mengeluarkan dekrit membubarkan DPR dan membubarkan Partai Golkar. Masa jabatannya diakhiri 23 Juli 2001. Dalam perebutan posisi RI-2, Hamzah Haz berhasil menyisihkan Akbar Tandjung. Adapun Bambang Kesowo, ia ini mendapat posisi lebih penting sebagai Menteri Sekertaris Negara, setelah Megawati menjadi Presiden.

‘Mulut buaya’ dan ‘mulut harimau’

SEJARAH politik kontemporer Indonesia pada akhirnya memang menunjukkan betapa analogi ‘mulut buaya’ dan ‘mulut harimau’ pada garis besarnya tidaklah keliru. Bahkan hingga sejauh ini, Indonesia berpengalaman dengan perulangan-perulangan sejarah berupa situasi lepas dari satu pemangsa dan jatuh ke pemangsa lain. Seakan sudah menjadi satu patron nasib yang baku. Setelah lepas dari satu kekuasaan ‘feodal Nusantara’, lalu jatuh ke tangan kaum penjajah. Bebas dari satu penjajahan tapi selanjutnya jatuh ke penjajah lainnya. Bahkan setelah penjajahan asing, pada akhirnya jatuh ke ‘penjajahan’ baru justru oleh bangsa sendiri. Lepas dari cengkeraman satu rezim buruk, namun kemudian masuk lagi ke cengkeraman rezim lain yang tak kalah jelek. Lepas dari satu eksperimen politik yang buruk, terseret lagi dalam satu eksperimen politik lain yang tak kalah buruk.

Sekedar nasib malang? Tentu ada sebabnya, yang mungkin terutama berasal dari dalam tubuh dan mentalitas bangsa ini sendiri, dan kesalahan dalam mengapresiasi nilai-nilai budaya, tradisi dan agama. Kesalahan atau ketidakmampuan mayoritas bangsa mengapresiasi nilai-nilai itu, tidak berdiri sendiri. Terjadi karena bangsa ini gagal menjadi cerdas dan atau dihambat untuk menjadi cukup cerdas. Para pemimpin –tepatnya para penguasa– negara dari waktu ke waktu, secara bergantian, ‘gagal’ mencerdaskan, yang untuk sebagian karena memang tak mau mencerdaskan bangsa.

Tatkala para pemimpin itu sedang melakukan perjuangan politik untuk mencapai ‘tahta’ kekuasaan negara, mereka beretorika seakan ‘membutuhkan’ pencerdasan rakyat agar bangsa ini mampu turut serta mengawal jalannya pengelolaan negara untuk berjalan baik dan benar. Namun, serenta sudah berada di puncak kekuasaan, kebutuhan itu hilang. Suara rakyat tak dibutuhkan, karena yang lebih diperlukan dari rakyat adalah kepatuhan. Aneka pengkondisian perilaku dan psikologi rakyat dipraktekkan untuk pengendalian dengan bantuan kaum prostitusi intelektual.

Pengalaman empiris menunjukkan, memerintah dengan cara-cara otoriter lebih ‘mudah’ selama mampu membangun struktur kekuasaan itu dengan kokoh, lengkap dengan aparat represi yang andal (karena bersenjata dan punya otoritas yang kuat secara berlebihan). Lebih ‘mudah’ mengatur rakyat ‘bodoh’ tapi patuh, daripada yang cerdas namun kritis. Sejumlah pemimpin negara telah membuktikan diri sebagai ‘musuh’ kelompok mahasiswa dan kaum cendekiawan. Sistem yang otoriter lebih disenangi banyak kalangan kekuasaan daripada sistem yang demokratis –yang membolehkan keikutsertaan banyak orang dalam jalannya pengelolaan negara. Jadi, apa perlunya mencerdaskan bangsa, biarkanlah itu menjadi sekedar penggambaran cita-cita secara retoris.

Dua presiden pertama Indonesia, adalah dua tokoh yang memulai kekuasaannya dengan bekal idealisme membangun bangsa dan negara. Soekarno ingin membebaskan rakyatnya dari praktek de l’homme par l’homme oleh kolonialisme barat, tetapi kalah oleh tarikan kenikmatan kekuasaan demi kekuasaan daripada altruisme ketika berkuasa. Lalu tergelincir menjadi semacam diktator pada bagian akhir kekuasaannya, 1959-1965, namun harus ‘menderita’ kesakitan politik 425 hari karenanya, dalam suatu proses kejatuhan dihitung dari 11 Januari 1966 hingga selesainya Sidang Istimewa MPRS 12 Maret 1967. Soeharto yang juga memulai kekuasaannya dengan idealisme dan beban moral untuk memulihkan kerusakan sendi-sendi kehidupan bernegara 1959-1965, pun akhirnya cukup tergoda dengan bius kekuasaan demi kekuasaan. Dan kemudian menjalankan lebih dari separuh masa kekuasaannya dengan cara yang dianalogikan tangan besi bersarung beludru. (media-karya.comBerlanjut ke Bagian 6) #mediakaryaanalisa

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s