Tag: Alwi Shihab

Kisah Kompromi Kandas Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputeri

DI TENGAH masa-masa ‘politik suram bercuaca panas’ menuju pemakzulan Presiden Abdurrahman Wahid –setelah melakukan Dekrit 23 Juli 2001 pukul 01.00 dinihari– sebenarnya pernah terjadi usaha kompromi kekuasaan antara sang Presiden dengan wakilnya, Megawati Soekarnoputeri. Tapi usaha ‘damai’ itu gagal, dan terbukalah pintu menuju proses kejatuhan Abdurrahman Wahid. Naiknya Abdurrahman Wahid, terjadi menyusul gagalnya BJ Habibie melanjutkan masa kepresidenannya melalui SU MPR tahun 2000, usai Pemilihan Umum ‘dipercepat’ tahun 1999. Selain pertanggungjawabannya ditolak, Golkar –yang menjadi pemenang kedua Pemilu 1999 di bawah PDI-P– pun tidak solid mendukung BJ Habibie. Atas kegagalan itu para pendukung Habibie mempersalahkan dua tokoh Golkar, Akbar Tandjung dan Marzuki Darusman yang tak memberi dukungan.

Pada sisi lain medan pertarungan politik kala itu, melalui peran cerdik Amien Rais, Megawati Soekarnoputeri yang adalah Ketua Umum partai pemenang urutan kesatu Pemilihan Umum 1999, tersisih menjadi hanya Wakil Presiden. Dikalahkan KH Abdurrahman Wahid –guru bangsa yang 30 Desember 2019 kemarin diperingati 10 tahun hari wafatnya.

Cuaca panas di bawah satu atap kekuasaan

‘Kekalahan’ ini menyisakan kekecewaan berkepanjangan Megawati terhadap Abdurrahman Wahid yang semula pernah menyatakan mendukung Mega menuju kursi kepresidenan. Penggalan sejarah politik kontemporer Indonesia ini bisa dibaca pada serial 74 Tahun Tertawa dan Menangis Bersama 7 Presiden di media-karya.com dan socio-politica.com, seperti berikut ini. Continue reading “Kisah Kompromi Kandas Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputeri”

74 Tahun Tertawa dan Menangis Bersama 7 Presiden (5)

Konsep jalan tengah Marzuki Darusman adalah berupa pembagian ‘tugas’ yang memberikan konsesi bagi Mega untuk lebih ‘masuk’ dalam pengambilan keputusan kebijakan pemerintahan. Semacam konsep surat keputusan pembagian tugas itu bahkan sempat ditandatangani oleh Abdurrahman Wahid. Namun, ketika satu tim menteri berkumpul untuk membahas penyelesaian final yang antara lain dihadiri Susilo Bambang Yudhoyono, Alwi Shihab, Agum Gumelar, Mahfud MD, Purnomo Yusgiantoro dan Marzuki Darusman serta Sekertaris Wapres Bambang Kesowo yang sengaja diminta hadir, terjadi semacam ‘kecelakaan’.

Konsep yang sebenarnya sudah dituangkan dalam satu draft yang sudah ditandatangani Abdurrahman Wahid, dan tampaknya dapat diterima oleh tim menteri yang hadir, buyar oleh Menteri Hukum dan HAM Baharuddin Lopa yang datang terlambat ke pertemuan sehingga ‘tak tahu soal’. Setelah sejenak membaca salinan draft –tanpa tanda tangan Abdurrahman Wahid– tersebut, Baharuddin Lopa yang tak tahu bahwa draft asli sudah ditandatangani Abdurrahman Wahid dan juga final disepakati segera disampaikan kepada Megawati, memberi satu komentar spontan. “Ini terlalu banyak untuk Mega”, demikian kurang lebih Lopa berkata, “Bukan begini maunya Gus Dur….” Namun kemudian Lopa bisa dibuat mengerti bahwa draft itu sudah disetujui Abdurrahman Wahid. Continue reading “74 Tahun Tertawa dan Menangis Bersama 7 Presiden (5)”

74 Tahun Tertawa dan Menangis Bersama 7 Presiden (4)

Lakon Pewayangan di Wilayah Politik Abu-abu

SETELAH ‘pembersihan’ di Jakarta, pasca Peristiwa 30 September 1965, benturan berdarah terjadi secara berkelanjutan di berbagai penjuru tanah air dalam pola ‘lebih dulu membantai, atau dibantai’, terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Di Jawa Tengah, massa PKI memilih untuk ‘mendahului daripada didahului’. Tetapi di tempat lain, ‘didahului’, dan menjadi sasaran pembasmian berdarah-darah, mencapai angka korban jutaan. Sebagai partai, PKI sudah patah dan hancur. Satu babak pertarungan yang berurat berakar dalam sejarah kekuasaan Indonesia sejak awal kemerdekaan –dan bahkan telah bermula jauh sebelumnya– seakan telah selesai.

Babak kedua lalu dimulai. Antara Soekarno dengan kelompok jenderal yang dipimpin Soeharto. Pertarungan berlangsung bagaikan dalam lakon pewayangan, berlangsung di wilayah yang abu-abu dengan sejumlah orang dengan peran dan sikap yang juga abu-abu. Kelompok mahasiswa yang kemudian terlibat di tengah kancah pertarungan kekuasaan babak kedua ini, setelah turut serta dalam gerakan anti komunis di bagian yang tak berdarah pada babak pertama, menampilkan sikap hitam-putih, dan karenanya kerap luput mengenali peran abu-abu yang berlangsung di sekitar mereka, seperti yang misalnya dijalankan oleh sejumlah besar jenderal dan politisi sipil. Ambivalensi dan sikap opportunistik adalah sikap-sikap yang banyak tercermin dalam perilaku politik pada masa perubahan tahun 1965-1966 hingga tahun 1970. Semula ciri itu dikenali pada kelompok politisi sipil yang berasal dari dunia kepartaian Nasakom, tetapi pada akhirnya juga diperlihatkan oleh kalangan tentara dalam kancah politik kekuasaan. Tak kurang dari Soeharto sendiri, karena kepentingan taktisnya, kerapkali dipersepsi bersikap mendua terhadap Soekarno. Ada yang mengaitkannya dengan sikap mikul dhuwur mendhem jero yang dipegangnya. Continue reading “74 Tahun Tertawa dan Menangis Bersama 7 Presiden (4)”