Tag: Ridwan Kamil

Presiden Joko Widodo Dalam Kelambanan dan Hasrat Prematur

DI TENGAH situasi Indonesia yang masih jauh dari berhasil menjejak ke tahap pemulihan pandemi Corona, elite partai dan kekuasaan justru menciptakan rentetan bias yang memecah konsentrasi publik. Pertama, menyodorkan sejumlah RUU dan terkesan ingin menyelesaikannya dengan pola kesempatan dalam kesempitan, semisal Omnibus Law dan terbaru RUU HIP. Belum lagi pemerintah pusat yang tak hentinya menerbitkan Perpu-perpu kontroversial. Seperti Perppu 1/2020 yang telah menjelma menjadi UU No.2/2020, yang memberi kekebalan hukum dalam sistem keuangan penanganan Covid 19. Terhadapnya telah diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi oleh Iwan Sumule dan kawan-kawan.

Dan adalah pula, saat belum lagi ada keberhasilan melandaikan kurva menanjak penularan, tiba-tiba pemerintah pusat mulai mengampanyekan new normal dengan pemahaman cenderung keliru dan malah mencipta new abnormal.

Kelemahan Presiden Joko Widodo

          Dalam kaitan pengelolaan menghadapi pandemi Covid-19, kendati tetap di puja puji para pendukung, Presiden Joko Widodo juga menuai tak sedikit kritik, termasuk dari kalangan akademisi non politis. Rahmat Yananda, doktor lulusan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, mengeritik Presiden yang seringkali bertindak tak selaras dengan substansi permasalahan dan banyak melakukan publicity stunt. Kalah dari beberapa kepala daerah yang lebih fokus kepada substansi masalah di wilayahnya. Continue reading “Presiden Joko Widodo Dalam Kelambanan dan Hasrat Prematur”

Tokoh Ketiga di Antara Jokowi dan Prabowo

PEMILIHAN Kepala Daerah serentak 27 Juni 2018 kemarin, dalam batas tertentu menampilkan beberapa perspektif politik baru, yang untuk sebagian menguatkan pra kesimpulan dari sejumlah analisis sebelumnya. Salah satu kesimpulan adalah faktor ketokohan –khususnya dalam konteks prestasi dan bukan terkait mitos dan kesetiaan sempit maupun godaan money politic– lebih menjadi daya tarik bagi para pemilih daripada faktor partai pendukung. Beberapa ‘hasil’ Pilkada –meski masih berdasarkan quick count– mematahkan asumsi berlebihan tentang dominasi partai dan kepartaian sebagai faktor dalam meraih suara rakyat. Dan bahwa angka raihan suara yang hampir lima tahun sebelumnya diperoleh dalam pemilu lampau sebenarnya tidak relevan dijadikan sebagai pegangan dalam pemilu berikutnya yang akan datang.

Selain itu, suatu formula koalisi yang bisa bersifat dan berlaku nasional, masih serba acak karena kepentingan pragmatis daerah per daerah begitu berbeda-beda. Tapi mungkin saja, memang lebih baik bila pembentukan koalisi dibiarkan saja cair dan lebih tergantung pada persamaan program (yang masuk akal) daripada persamaan yang berbau ideologis atau ‘fanatisme’ dan ‘mitos’ (hasil mitologisasi) tertentu. Continue reading “Tokoh Ketiga di Antara Jokowi dan Prabowo”