Tag: Hariman Siregar

Intrik Internal Kekuasaan Menuju Peristiwa 15 Januari 1974

HANYA beberapa hari menjelang Peristiwa 15 Januari 1974, sebelum dibreidel Mingguan Mahasiswa Indonesia, Bandung, menurunkan sebuah berita ulasan di halaman pertama, “Kisah Di Belakang Issue”, dihiasi gambar Mayor Jenderal Ali Moertopo. Dalam berita itu Jenderal Soemitro, menanggapi Ali Moertopo, menyebut adanya issue pergantian kepemimpinan nasional mulai 1 April 1974 dan upaya adu domba antara dirinya dengan beberapa jenderal dalam kekuasaan.

Bila diukur dan dibaca dengan kacamata kebebasan yang kini bisa lebih dinikmati pers, ulasan itu biasa-biasa saja. Tetapi untuk kurun 40-an tahun lampau, ulasan semacam itu tak disenangi penguasa. Ketidaksenangan itu menjadi salah satu pemicu pembreidelan ganda terhadap media generasi muda itu setelah peristiwa.

Sebagian berita ulasan tentang intrik kekuasaan di Indonesia itu –yang tampaknya masih selalu terjadi hingga kini – dipinjam untuk pemaparan berikut. Continue reading “Intrik Internal Kekuasaan Menuju Peristiwa 15 Januari 1974”

Cerita Latar Peristiwa 15 Januari 1974

PERISTIWA 15 Januari 1974 oleh kalangan penguasa selalu disebut Malari –akronim dari Malapetaka Lima Belas Januari– yang bertujuan untuk menekankan konotasi buruk dari peristiwa tersebut. Kata malapetaka yang bermakna sebagai suatu bencana, jauh dari pengertian perjuangan berdasarkan idealisme. Dengan demikian penggunaan kata malapetaka mematahkan citra idealis yang selalu dilekatkan kepada gerakan-gerakan mahasiswa, setidaknya sejak sekitar 1966-1967 saat gerakan mahasiswa menjadi salah satu faktor dalam menjatuhkan kekuasaan otoriter Soekarno. Sementara itu, Jopie Lasut, wartawan Harian Sinar Harapan, menyebut akronim Malari itu diasosiasikan penguasa dengan penyakit Malaria.

Tetapi kenapa peristiwa di awal tahun 1974 itu masih lebih diingat daripada peristiwa pencetusan Tritura 10 Januari 1966? Selain karena ‘usia’ pencetusan Tritura (Tri Tuntutan Rakyat) lebih ‘tua’ 8 tahun, juga karena para pelaku Peristiwa 15 Januari 1974 –Hariman Siregar dan kawan-kawan– memang lebih rajin melakukan upacara peringatannya. Namun sesungguhnya yang tak kalah penting adalah sejak masa reformasi, Soeharto lebih banyak dihujat, sementara ‘kesalahan’ Soekarno terkait Peristiwa 30 September 1965 cenderung coba mulai dilupakan dan serenta dengan itu fokus sorotan beralih ke isu kejahatan kemanusiaan 1965-1966.

Para tokoh pelaku Peristiwa 15 Januari 1974 sendiri, agaknya tak begitu mempersoalkan konotasi buruk akronim Malari, dan tetap memilihnya sebagai penyebutan bagi peristiwa tersebut. Continue reading “Cerita Latar Peristiwa 15 Januari 1974”

45 Tahun Peristiwa 15 Januari 1974: Peking-Tokyo-Beijing

EMPAT puluh tahun waktu berlalu setelah Peristiwa 15 Januari 1974, dan Indonesia awal 2019 masih tetap menghadapi beberapa titik persoalan ekonomi dan politik yang serupa. Dalam dua momen, amat menonjol kritik tajam tentang dominasi modal dan bantuan asing. Menjelang tahun 1974 Indonesia menjadi bagian dari protes luas atas dominasi (ekonomi) Jepang di regional Asia Tenggara. Sementara saat ini, pada tahun-tahun ini, Indonesia dipenuhi diskursus tajam mengenai dominasi ekonomi Republik Rakyat Tiongkok melalui tali temali hutang.

Bedanya, pada 45 tahun lalu titik kulminasi protes tercapai dan di Indonesia meletus pada akhirnya sebagai Peristiwa 15 Januari 1974. Terjadi demonstrasi mahasiswa secara besar-besaran yang oleh kalangan kekuasaan kala itu diberi akronim Malari atau ‘Malapetaka Limabelas Januari’ yang berkonotasi buruk dalam bingkai makar. Jenderal Soeharto sebenarnya nyaris tumbang, namun berhasil mendayung keluar di antara gelombang persaingan internal para jenderal maupun teknokrat di bawahnya.

Peking-Tokyo-Beijing

Protes besar-besaran anti Jepang di Asia Tenggara sebenarnya dimulai di Bangkok., berupa gerakan mahasiswa ‘Anti Japanese Goods’. Merambat ke Indonesia. Kala itu, bipolarisme dunia –akibat masih berlangsungnya Perang Dingin– masuk ke dalam lingkup nasional semua negara. Di Indonesia simbol pertarungannya adalah antara Ali Murtopo-Soedjono Hoemardani-CSIS-Jepang-Amerika versus Jenderal Soemitro-Hariman Siregar-Sjahrir –bersama maupun terpisah– sebagai kelompok kritis progressif. Continue reading “45 Tahun Peristiwa 15 Januari 1974: Peking-Tokyo-Beijing”