SETELAH melalui masa dua tahun penuh perdebatan dan kontroversi yang seringkali tak produktif, revisi RUU Anti Terorisme akhirnya disahkan di Sidang Paripurna DPR-RI Jumat pagi 25 Mei 2018. RUU baru ini adalah revisi terhadap UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang penetapan Perppu Nomor 1 tahun 2002.
Pers memberitakan pengesahan ini tidak diwarnai sedikitpun interupsi. Ini semacam anti klimaks terhadap suasana pembahasan selama dua tahun yang kerap temperamental karena adanya beberapa titik krusial. Antara lain, soal definisi terorisme, kewenangan terlalu besar aparat kekuasaan termasuk dalam menafsir kriteria, mekanisme penyadapan, kerawanan pada aspek HAM, masa penahanan yang berkepanjangan dan lain sebagainya. Bahkan pada dua pekan terakhir sebelum pengesahan, setelah terjadinya rangkaian peledakan bom bunuh diri di Surabaya, sempat juga tersisa suasana tuduh menuduh antara pemerintah dan pihak DPR.
Pihak pemerintah menyebut DPR yang memperlambat, sementara pihak DPR mempersalahkan pemerintah terkait pendefinisian terorisme. Ditingkahi pernyataan mengejutkan Ketua DPR (baru) Bambang Soesatyo yang kurang lebih menyebutkan lebih penting mendahulukan keselamatan rakyat, soal HAM bisa dibahas belakangan. Lalu tak kurang dari Presiden Joko Widodo sendiri memerlukan mengeluarkan ancaman menerbitkan Perppu Anti Terorisme bila DPR tak segera mengesahkan RUU tersebut.

Di balik berita, ada cerita. Daftar hadir anggota DPR pada sidang Paripurna 25 Mei ditandatangani 281 orang dari seluruhnya 560 anggota. Ini betul-betul 50 persen tambah satu. Secara formal memenuhi quorum. Tapi detiknews menyajikan gambar ruang sidang paripurna yang didominasi kursi kosong. Menurut detiknews (sebenarnya) yang hadir adalah 99 dari 560 anggota, dan ada 90 anggota yang berstatus izin. Media online itu memperinci: Fraksi PDIP hadir 17 dari 109 anggota, Fraksi Partai Golkar 25 dari 91, Fraksi Gerindra 12 dari 73, Fraksi Demokrat 12 dari 61, Fraksi PAN 5 dari 48, Fraksi PKB 10 dari 47, Fraksi PKS 5 dari 40, Fraksi PPP 5 dari 39, Fraksi NasDem 5 dari 36, Fraksi Hanura 3 dari 16 anggota. Kalau berita detiknews ini akurat, terlepas dari quorum formal yang ada, menjadi tanda tanya, kehadiran minim itu bisa diartikan apa? Kalau ditafsirkan sebagai kemalasan, berarti tergelincir merendahkan anggota DPR. Lalu apakah ini bisa ditafsirkan semacam ‘bahasa’ tubuh dari suatu sikap sesungguhnya? Katakanlah sebagai reaksi terhadap semacam ‘tekanan’ politik baik dari arah internal maupun eksternal.
Tetapi apapun juga, dengan telah dilakukannya pengesahan, semestinya perdebatan menerima atau menolak harus dianggap selesai. Persoalannya sekarang adalah bagaimana menjaga agar ekses dan kekuatiran-kekuatiran yang ada terhadap UU Anti Terorisme ini jangan sampai terjadi. Tentu, tanpa perlu menggeneralisir kekuatiran itu secara gampang sebagai sikap lunak atau bahkan pro terorisme. Juga tak perlu menyebabkan pelontaran tuduhan-tuduhan politis untuk menyudutkan kelompok tertentu dan kalangan kritis, termasuk terhadap pegiat HAM.
Sepanjang yang bisa kita catat, ekses dan kekuatiran itu tertuju pada kemungkinan penggunaan beberapa celah kelemahan definisi, wewenang aparat kekuasaan yang dianggap terlalu besar dalam bertindak, termasuk dalam menafsir beberapa rumusan agak ‘longgar’ pada beberapa pasal.
Wewenang luar biasa dalam UU ini mengingatkan orang terhadap UU Subversi masa Soekarno yang sempat berlanjut di masa Soeharto –dan melahirkan represi berkadar tinggi dari kalangan penguasa. LSM Kontras misalnya, mengkhawatirkan jangka waktu penahanan pada beberapa tingkat yang “berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM” terkait dengan masih adanya “praktik penyiksaan di lingkungan penegak hukum.” Kontras juga mengkhawatirkan pasal-pasal mengenai wewenang penahanan yang panjang ini mencederai hak tersangka untuk mendapat proses peradilan yang cepat dan sederhana. Kekuatiran lain adalah mengenai pelibatan aparat TNI dalam penanggulangan terorisme, yang tentu merujuk pada beberapa pengalaman getir masa lampau.
Dan, tentu saja yang paling tak diinginkan adalah pengulangan pengalaman pahit dengan UU Subversi di masa lampau, yang digunakan kalangan kekuasaan untuk mematahkan dan memenjarakan lawan politik dan lawan kepentingan lainnya. Menjaga UU Anti Terorisme berjalan di jalan lurus dan benar, merupakan hak, kewajiban dan tugas bersama (media-karya.com).
Dengan berbagai aksi teror yg terjadi belakangan ini, tak terhindarkan trauma publik SDH sampai pd titik yg disasar..ketakutan di syaraf paling peka.. Korban teror bom pd pesawat Lion expres bisa menjadi fakta..meski ktnya canda.. tak urung menimbulkan jg korban luka dr calon penumpang..
LikeLike