Bendera Merah Aidit dan Partai-partai Masa Nasakom

SELAIN Angkatan Darat ada sejumlah kekuatan politik lainnya menjadi partner taktis Soekarno, terutama sejak diletakkannya titik dasar baru bagi kekuasaannya melalui Dekrit 5 Juli 1959. Setidaknya ada tiga kelompok kekuatan signifikan, yakni kelompok politik Islam yang terutama diwakili Partai NU, kemudian PNI dan PKI, yang mewakili kelompok politik ideologi nasionalis (marhaenis) dan ideologi komunis. Ketiga-tiganya termasuk 4 besar Pemilihan Umum 1955 bersama Masjumi –yang tersingkir setelah dinyatakan sebagai partai terlarang oleh Soekarno karena dianggap terlibat pemberontakan PRRI-Permesta.

Di antara 4 kaki penopang kekuasaan Soekarno dalam penggalan masa itu, Tentara dan PKI bagaimana pun adalah yang paling fenomenal. Pusat kekuasaan yang sebenarnya pada masa 6 tahun itu ada di tangan Soekarno-Angkatan Darat-PKI. Realitas kekuasaan segitiga seperti ini yang ‘terikat’ dalam politik perimbangan yang dimainkan Soekarno, sekaligus menempatkan pula PKI yang dipimpin DN Aidit dan Tentara (di bawah Jenderal Nasution dan Letnan Jenderal Ahmad Yani) ke dalam suatu persaingan kekuasaan yang berkepanjangan. #mediakaryaanalisa

Hingga sedemikian jauh, tidak terlalu sulit bagi Soekarno memegang kendali political game kala itu, karena terdapatnya sejumlah faktor historis dan kondisi objektif krusial yang mewarnai hubungan tentara dengan PKI. Secara historis, tentara dan kaum komunis, kerap bersilang jalan dan bahkan harus berhadap-hadapan seperti misalnya pada Peristiwa Madiun 1948 dan beberapa insiden internal Angkatan Darat yang melibatkan perwira-perwira militer ‘berhaluan’ komunis sebagai trouble makers. Pihak tentara mencatat berkali-kali dalam berbagai kesempatan PKI telah mencoba menyusupkan tangan ke tubuh Angkatan Darat. Sebaliknya, PKI pun mencatat adanya sikap antipati yang laten sejumlah perwira tentara kepada partai, terutama dalam kaitan ideologis di samping sejumlah pengalaman traumatis.

PRESIDEN SOEKARNO. Di antara 4 kaki penopang kekuasaan Soekarno dalam penggalan masa itu, Tentara dan PKI bagaimana pun adalah yang paling fenomenal. Pusat kekuasaan yang sebenarnya pada masa 6 tahun itu ada di tangan Soekarno-Angkatan Darat-PKI. Realitas kekuasaan segitiga seperti ini yang ‘terikat’ dalam politik perimbangan yang dimainkan Soekarno, sekaligus menempatkan pula PKI dan Tentara ke dalam suatu persaingan kekuasaan yang berkepanjangan. (Gambar lead, DN Aidit, download) #MediaKarya

PKI adalah salah satu kekuatan sipil yang paling berperilaku bagaikan duri dalam daging sejak awal kelahirannya dan melajur sepanjang kehidupan bernegara menurut sudut pandang dan ‘kesadaran nasional’ para elite Angkatan Darat. Itulah pula sebabnya, terutama ketika memiliki wewenang istimewa dengan berlakunya SOB sejak 1957, pimpinan Angkatan Darat yang terisi dengan perwira-perwira anti komunis dari waktu ke waktu, banyak menggunakan wewenang khususnya itu untuk membendung berkembangnya PKI di berbagai wilayah, bahkan bilamana perlu seperti yang terlihat dalam beberapa kasus, para penguasa militer tak segan-segan menindaki partai komunis itu, begitu ada alasan pembenar, sekecil apapun. Mulai dari tindakan-tindakan pembekuan pengurus PKI di berbagai daerah, pembreidelan organ pers PKI sampai kepada penangkapan-penangkapan atas tokoh-tokohnya di berbagai tingkat kepengurusan.

Partai Nasional Indonesia yang menjadi representan utama dari unsur Nasional, antara 1959 hingga 1965, pada hakekatnya hanyalah partai ‘milik’ Soekarno yang tak punya kemauan dan sikap politik mandiri karena tak bisa keluar dari lindungan bayang-bayang kharisma pribadi Soekarno. Selain itu, suatu ‘penyusupan’ yang amat signifikan terjadi atas dirinya, terutama dari unsur komunis, yang tercermin antara lain dari didudukinya posisi Sekertaris Jenderal partai oleh Ir Surachman yang berhaluan kiri dan lebih patuh kepada PKI. Ali Sastroamidjojo, sang Ketua Umum, tersandera dalam rangkaian kebimbangan antara suara arus bawah dari sebagian warga kepala banteng itu yang menyuarakan keinginan keterbebasan dan pengambilan inisiatif peran politik disatu sisi, dan pada sisi lain ‘keharusan’ patuh terhadap pemikiran dan tindakan politik Soekarno yang begitu dekat dengan PKI.

Pada masa demokrasi terpimpin 1959-1965 itu, dengan demikian setidaknya ada dua kelompok yang berseteru di dalam tubuh PNI, antara yang setuju dan yang tidak setuju dengan kecenderungan politik kiri serta kehadiran unsur komunis di tubuh partai. Mereka yang tidak berkenan dengan pengaruh komunis di tubuh partai, ada pada posisi minor, karena terdesak oleh dominasi kelompok kiri bersamaan dengan kuatnya kecenderungan oportunistik secara internal. Pengelompokan itu melajur hingga lapisan terbawah partai, sehingga melumpuhkan insiatif politik partai di berbagai tingkat dan di berbagai daerah.

Sementara itu, partai-partai politik berideologi agama –Islam maupun Kristen dan Katolik– juga secara de facto menjadi unsur yang cukup lemah dalam konstelasi politik Nasakom. Parkindo dan Partai Katolik, terkendala ‘kompleks’ dan konotasi minoritas mereka, walau cukup terdapat pemikiran politik maju, ‘radikal’ dan progresif di dalam diri mereka. Partai Katolik bahkan adalah partai yang kendati memiliki postur tubuh yang tak besar, menyimpan dalam dirinya think tank dengan performa tinggi dan mengesankan. Serta memiliki pengorganisasian kepartaian yang signifikan sehingga cukup tangguh. Ketangguhan ini akan terbukti kelak melalui kader-kadernya dalam suatu proses perubahan politik yang terjadi beberapa tahun kemudian, mampu berperan bagaikan mayoritas pada posisi pijakan minoritas.

Bersama Ali Moertopo, sebagian dari kader-kader Katolik ini, ditambah suatu peran khusus kisah ‘belakang layar’ yang dijalankan Pater Joop Beek yang seorang rohaniwan Katolik, hampir-hampir menjadi legenda dalam pengendalian kekuasaan politik dalam satu kurun waktu tertentu kala itu. Sedangkan partai ideologi Islam terbesar NU –setelah dinyatakannya Masjumi sebagai partai terlarang, 17 Agustus 1960– lebih memilih bersikap mempertahankan status quo, terutama karena kebutuhannya untuk selalu berada sejajar berdampingan dengan kekuasaan, agar selalu disertakan dalam posisi-posisi pada pemerintahan, dalam posisi sekunder sekali pun. Jatah tradisional mereka dalam pemerintahan adalah Departemen Agama, ditambah pengikutsertaan rutin seorang tokoh NU selama beberapa tahun dalam kabinet Soekarno maupun selaku unsur pimpinan MPRS.

Partai-partai Islam lainnya, pun cenderung memilih jejak langkah ‘taktis’ NU yang terbukti aman. Bagi partai-partai ini dan sejumlah partai lain di luar PKI dan ‘separuh’ PNI, berlaku adagium ‘kalau tak mampu memukul lawan, rangkullah lawan itu’. Adalah beberapa di antara tokoh-tokoh unsur A ini yang berperan dalam akrobat politik, seperti misalnya penganugerahan gelar Waliyatul Amri untuk Soekarno. Sementara itu, penetapan Soekarno sebagai Presiden “seumur hidup” adalah akrobat politik lainnya lagi yang dilakukan beramai-ramai oleh setiap kekuatan politik dalam konstelasi Nasakom.

Situasi perilaku para pemimpin politik umat ini sebenarnya paradoksal dengan kenyataan bahwa pada tahun-tahun 1963, 1964 hingga pertengahan 1965, di berbagai daerah di tingkat bawah, pendukung partai-partai Islam ini, khususnya NU, menjadi sasaran utama aksi-aksi sepihak PKI, terutama dalam masalah pertanahan. Karena elite partai-partai Islam ini tak mampu, untuk tidak menyebutnya tak berani, terang-terangan membela akar rumputnya –dengan beberapa pengecualian– maka tercipta ‘api dalam sekam’ berupa kebencian terpendam dari mereka yang teraniaya dan secara tragis sekaligus tak terlindungi oleh para pemimpinnya. Suatu ketika, semua ini meledak dalam bentuk pelampiasan dendam yang tak terduga-duga kedahsyatannya.

Segera setelah Peristiwa Gerakan 30 September 1965, proses penghancuran PKI terjadi dengan cepat. Ingatan tentang Peristiwa Madiun 17 tahun sebelumnya, ditambah tumpukan kebencian yang tercipta akibat sepak terjang partai ini ketika berada di atas angin selama bertahun-tahun dalam berbagai bentuk, mulai dari kekerasan fisik maupun psikologis, menjadi pendorong utama gerakan penghancuran yang melibatkan anggota masyarakat secara luas. Dan penghancuran itu berlangsung berdarah-darah. Korbannya bukan hanya di kalangan massa PKI, melainkan juga di kalangan non PKI. Terbanyak, justru di kalangan massa yang tak tahu menahu dan tak terkait dosa politik apapun kala itu. (media-karya.com – Diolah kembali dari buku Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966) #mediakaryaanalisa

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s