PERBUATAN dusta atau bohong, adalah sebuah perilaku khas yang telah mengiringi manusia menempuh peradaban dalam berbagai episode sejarah. Kitab suci beberapa agama besar, menuturkan adanya perilaku bohong dan agama pun melarang kebohongan. Sementara itu dalam berbagai tingkat sejarah evolusi manusia, perbuatan menyangkal menjadi salah satu bagian penting dari mekanisme defensif seseorang saat menjadi tertuduh oleh manusia lainnya. Mekanisme defensif itu sendiri kemudian telah berkembang menjadi tak sekedar menyangkal, namun menuduh balik sang ‘seteru’ sebagai pembohong dan telah melakukan fitnah.
Selama 350 tahun bangsa ini dibohongi kaum kolonial dan penguasa feodal, sehingga terpuruk seraya dibiarkan bodoh tak terorganisir agar mudah dikuasai. Dan selama 7 dekade lebih Indonesia merdeka, kalangan akar rumput jatuh bangun sebagai korban dari satu kebohongan ke kebohongan lain oleh berbagai partai politik dan kalangan kekuasaan bangsa sendiri.
Senjata kebohongan dalam suasana pembelahan
Dan, sungguh luar biasa, 4 atau 5 tahun terakhir ini kehidupan politik Indonesia seakan tiba di suatu titik nadir dalam iklim pembelahan masyarakat yang berkepanjangan. Bermula dari peseteruan dalam Pemilihan Presiden 2014 yang siap berlanjut menuju Pemilihan Presiden 2019. Secara terbuka dan kasat mata berlangsung persaingan perebutan hegemoni negara yang bergelimang penggunaan senjata kebohongan berkadar tinggi.
Kebohongan dalam setengah dekade terakhir ini menjangkit bagai epidemi menyerang secara massal komunitas politik Indonesia secara bersamaan. Ini bisa terjadi ketika komunitas politik Indonesia memiliki kerentanan yang tinggi terhadap penyakit ini, karena tingkat kekebalan belum sempat untuk dibangun. Tak ada pendidikan politik yang memadai, tak ada kedalaman pemahaman etika dan moral untuk mendukung cita-cita (tepatnya, ambisi). Sementara itu pragmatisme makin dipahami sebagai jalan keluar solusi kepentingan pribadi dan tak mengetahui keperluan adanya altruisme bila terjun dalam pengelolaan masyarakat.

Suasana itulah yang menciptakan suatu fenomena menakjubkan dalam kehidupan bangsa ini. Belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah politik kontemporer Indonesia pasca kolonial ada seorang Presiden yang di satu sisi dipuja dan dipuji luar biasa dengan fanatik, tapi pada sisi lain dituntut habis-habisan agar tak lanjut ke masa jabatan kedua. Dua sisi pembelahan memiliki kekuatan massa yang relatif seimbang, kendati secara dini selalu ada klaim menyatakan kubunya lebih unggul. Tapi itu baru bisa dipastikan setelah 17 April 2019 mendatang.
Kedua kutub juga selalu sama-sama menuduh kubu sebelah telah menggunakan senjata hoax dan menebar fitnah. Joko Widodo yang merasa dipojokkan isu keterlibatannya dengan PKI, sempat gusar dan mengatakan akan mencari dan menabok si penyebar fitnah. Tetapi ketika La Nyalla Mattalitti yang tadinya ada di kubu Prabowo-Sandi tiba-tiba muncul mengaku sebagai penebar fitnah PKI terhadap Jokowi, justru dimaafkan dan tak dituntut secara hukum.
Partai baru PSI menggunakan kesempatan untuk menarik perhatian. Mereka memberikan Kebohongan Award kepada Prabowo Subianto, Sandiaga Uno dan Andi Arief dari Partai Demokrat. PSI di bawah Ketua Umum Grace Natalie ex penyiar TV, menilai ketiga orang itu sering melakukan kebohongan publik. Prabowo dituduh menyebarkan kebohongan mengenai selang cuci darah di RSCM yang dipakai 40 kali. Sandiaga Uno dianggap berbohong telah membangun Tol Cipali tanpa utang. Belakangan Sandi menjelaskan, memang Tol Cipali dibangun tanpa utang luar negeri seperti dilakukan pemerintah saat membangun tol.
Buntutnya empat pimpinan PSI –yang oleh LSI diperkirakan hanya akan memperoleh 0,1 persen suara dalam Pemilu mendatang– dilaporkan ke Bareskrim. Keempatnya adalah Grace Natalie, Sekjen Raja Juli Antoni, Tsamara Amany dan Dara Nasution. Seorang pengamat politik, Firman Tresnadi dari Indonesia Development Monitoring, menyebut jika serius, sebaiknya PSI memberikan Award Kebohongan itu kepada Joko Widodo. Seraya itu ia menyebut adanya beberapa kebohongan kecil Joko Widodo sampai kebohongan besar seperti kasus mobil Esemka, penyelesaian kasus HAM, kasus impor pangan dan sebagainya.
Sebelumnya tokoh PKS Hidayat Nur Wahid menyenggol balik PSI yang menyampaikan doa agar Prabowo Subianto tak lagi berbohong di 2019. Hidayat mengingatkan janji-janji kampanye Joko Widodo yang belum dipenuhi. “Itu sama saja dengan kebohongan.” (2/1). Ace Hasan Syadzily dari TKN-01 menyawab hendaknya “PKS bisa membedakan janji dan hoax.” (4/1). Ace lanjut menyergah “Mereka justru sibuk menebar kabar bohong mulai dari Ratna Sarumpaet, selang cuci darah, jalan tol Cipali dan paling akhir soal 7 kontainer kartu suara.”
Kisah 7 Kontainer Surat Suara
Terbaru dari tuduh menuduh soal hoax ini, memang adalah isu adanya 7 kontainer surat suara yang sudah dicoblos untuk pasangan 01 masuk di Tanjung Priok. Sebenarnya, Andi Arief dari Partai Demokrat maupun beberapa tokoh ‘oposisi’ sebatas meminta KPU maupun Polri melakukan pengecekan. Polri langsung bisa menangkap 2 orang penyebar isu dari 2 kota berbeda dan menyebut berita itu hoax. Namun, belum menemukan sumber berita.
Mantan juru bicara Presiden RI, Abdurrahman Wahid, Adhie M. Massardi menurut NusantaraNews.co menyoal proses penyelesaian isu adanya tujuh kontainer surat suara yang sudah tercoblos di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. KPU setelah mengecek kontainer di Tanjung Priok menyebut itu kabar bohong. “Untuk menjelaskan berita itu bohong, sejumlah lembaga tinggi negara dan institusi negara berkumpul –KPU, Bawaslu, Kemendagri, Polri, Bea Cukai, dan lain-lain. Padahal cukup dinyatakan staf humas KPU, itu bohong! Kenapa jadi demikian rumit sih?,” tanya Adhie Massardi melalui akun twitter @AdhieMassardi, Kamis (3/1/2019) sore. Dan, menanggapi hal itu, Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah mencurigai adanya hal-hal yang hendak ditutupi. Apakah yang hendak ditutupi adalah kasus tersebut atau di balik kasus tersebut, Fahri tidak memperincinya. “Saya curiga ada yang mau ditutupi…,” kata Fahri membalas tweet Adhie M. Massardi, Jumat (4/1).
Mutlak menemukan sumber hoax
Menjadi pengetahuan umum selama ini, ada begitu banyak kebenaran yang mendadak bisa berubah status menjadi hoax cukup dengan bantahan. Kritik pun dipatahkan dengan tuduhan hoax atau fitnah. Sebaliknya, banyak berita yang tadinya dianggap hoax ternyata ada kebenarannya. Misalnya, berita menggelembungnya DPT dengan jutaan pemilih ganda. Semula disangkal, tetapi setelah diteliti dan ditelusuri ulang oleh KPU memang terdapat pemilih ganda dalam jumlah besar. Artinya, ada asap pasti ada api. Selain itu ada kasus penemuan E-KTP berceceran dan ada kasus blanko E-KTP.
Semua itu tak pernah mendapat penjelasan tuntas, karena selalu diakhiri cukup dengan bantahan. Maka di titik ini menjadi penting, bila ada kasus hoax atau fitnah, hendaknya diselesaikan tuntas secara hukum, tak bisa diselesaikan di bawah tangan di luar jalur hukum. Mutlak diusut dan ditemukan siapa sumber hoax. Penyelesaian seperti sekarang, sekedar bantah membantah, bahkan sekedar maaf memaafkan, hanya akan mengaburkan kebenaran perkara dan mempertebal distrust di masyarakat. Untuk sementara semua pihak bisa menjadi suspect. Soalnya, siapa yang kini bisa memastikan dirinya sebagai pihak yang paling terpercaya di dalam kegoncangan kepercayaan publik terhadap para politisi maupun institusi? Suatu situasi yang potensial berbahaya bagi kelangsungan hidup bangsa ini ke depan. (media-karya.com)#mediakaryaanalisa