SADAR atau tidak, rangkaian panjang diskursus kampanye menuju 17 April 2019 telah menciptakan semacam situasi yang sangat tidak nyaman dalam kehidupan politik belakangan ini.
Surut ke masa lampau, seorang kolumnis Indonesia, pasca Soekarno menggambarkan dalam sebuah tulisannya, betapa pada tahun 1964-1965 paranoia hadir dalam kehidupan politik Indonesia. Menerpa ke arah kalangan aktivis anti Soekarno dan anti PKI. Paranoia seakan berkecamuk bagai penyakit menular akibat teror mental yang dilancarkan PKI dan BPI (Badan Pusat Intelejen) hampir setiap saat kala itu. Tapi pada waktu yang sama, para penguasa dan partai pendukung kekuasaan itu sendiri sebenarnya mengidap gejala paranoia atau paranoid. Ketakutan-ketakutan mereka terhadap situasi yang dihadapi, membuat mereka merasa perlu menebar teror untuk menghancurkan mental lawan politik atau para penentang. Dengan demikian mereka merasa seolah-olah bahaya telah tersingkirkan. Kini situasi seakan berulang.
Gangguan kepribadian
Paranoid adalah sebuah gangguan kepribadian yang membuat penderitanya terus menerus memiliki rasa curiga dan tak mempercayai orang lain di sekitar. Suatu gejala yang untuk sebagian juga dimiliki para penderita schizoprenia. Paranoia berasal dari bahasa Yunani. Dari segi bahasa, paranoia bisa diartikan tidak punya pikiran sehat, pikirannya bertentangan sama sekali dengan pikiran yang bijaksana, pikirannya tidak berdasar kenyataan. Singkat kata, pribadi yang dihinggapi paranoia adalah seorang yang selalu salah mengerti.
Dalam ensiklopedia Grosset Webster (New York 1953), paranoia adalah penyakit mental yang kronis ditandai oleh perasaan dikejar-kejar dan pada sisi lain seringkali merasa orang besar, padahal perasaan itu palsu belaka.

Menurut definisi lebih baru dalam ensiklopedia Samuel Andelman MD (1975) paranoia adalah sebuah psikosis. Penderita telah membangun delusi yang persisten, tidak fleksibel, dan tidak masuk akal secara logis, disertai rasa takut akan serangan. Emosi, ucapan, dan tindakan seseorang yang paranoid mungkin tampak normal kecuali ketika mereka dipengaruhi oleh keyakinan delusinya. Tetapi karena kepercayaan ini menjadi hal yang paling penting dalam hidupnya, itu mempengaruhi interpretasinya tentang peristiwa maupun daya penilaiannya. Penderita dapat mencapai titik merasa dirinya adalah sasaran dari konspirasi yang luas. Baginya setiap orang asing bisa menjadi ‘mata-mata’, dan bahkan orang-orang terdekatnya pun dicurigai sebagai bagian dari suatu plot. Ia merasa ada makna tersembunyi di semua peristiwa. Kadangkala kefasihannya menjelaskan apa yang dianggapnya kebenaran mutlak dari idenya meyakinkan, karena seorang yang menderita paranoia memang seringkali memiliki kecerdasan superior.
Harus diakui kancah politik praktis Indonesia beberapa tahun terakhir ini, khususnya saat makin dekatnya Pemilihan Presiden –dan legislatif– 17 April 2019, ditandai oleh diskursus penuh intrik dan tekan menekan berkadar tinggi. Mereka yang ditekan menjadi ketakutan, sementara yang menekan juga sebenarnya terdorong oleh ketakutan kehilangan kekuasaan dan eksistensi politiknya. Mungkin bisa diisebut sebagai suatu paranoia politik.
Para pelaku –elite politik maupun pengikutnya– dalam paranoia politik menjadi hipersensitif, tak mampu menerima kritik. Setiap kritik langsung digali motifnya yang terselubung. Karena kuatnya rasa curiga, tak ada kepercayaan bahwa kritik bisa positif. Kritik dianggap serangan dan paling tidak, bagian dari fitnah. Pernyataan biasa pun coba dicari ada makna buruk apa di belakangnya. Tak ada pencarian esensi persoalan, melainkan belok membelokkan makna yang sebenarnya dibutuhkan dalam dialektika bangsa.
Tak ada kemampuan memaafkan dan selalu menyisakan dendam. Gampang marah dalam konteks diskursus demokratis sekalipun, lalu cepat memberi reaksi dan melakukan serangan balasan. Setiap data dan argumen lawan diskursus dengan mudah dinyatakan sebagai hoax, sementara apa yang diutarakannya sendiri ia tuntut diakui sebagai kebenaran. Tak memiliki lagi rasa humor, karena ruang untuk humor sudah penuh sesak dengan semangat ejek mengejek. Tawa segar yang biasa ditimbulkan oleh humor, berubah menjadi senyum dan tawa mengejek. Semua ini –dan beberapa perilaku lainnya– betul-betul memenuhi kriteria paranoia.
“Aku percaya karena absurd”
Tak kalah menarik adalah fenomena pengiring berupa menguatnya gejala feodalistik yang ditandai dengan pengkultusan dan pemitosan pemimpin, padahal lebih dari sekali bangsa ini menderita pengalaman pahit. Pernah lahir pemimpin otoriter dan tiran di negeri ini akibat pengkultusan dan pemitosan. Bagian terburuk dari pengkultusan dan pemitosan adalah sikap pembenaran terhadap seluruh sabda pemimpin. Makin absurd ucapan pemimpin, makin ‘dipercaya’ dalam akrobat politik. Sebuah kalimat bersayap Quintus Tertullianus (155-223M) seakan dipinjam dan terpakai. “Aku percaya karena absurd –Credo quia absurdum.” Kata absurd dalam kalimat Quintus yang seorang penulis masalah religi sesungguhnya merujuk kepada Dia yang Maha Kuasa. Tak diperuntukkan bagi manusia biasa. Maka, bila itu digunakan dalam politik praktis, dan ditujukan kepada kepemimpinan manusiawi, pengertiannya berubah menjadi sesuatu yang bukan-bukan.
Apakah tulisan ini bertujuan memperbesar pesimisme? Tidak. Harus ada yang mengingatkan. Jangan bersikap bagai burung unta, cepat-cepat menggali tanah lalu membenamkan kepala bila ada masalah di depan mata…… (media-karya.com) #mediakaryaanalisa