BUKAN hanya tubuh manusia yang bisa terkena paralysis atau kelumpuhan. Kehilangan fungsi otot dan kehilangan kepekaan terhadap sensasi. Kelumpuhan itu bisa disebabkan oleh cedera atau penyakit yang mempengaruhi sistem saraf. Dalam satu metafora, tubuh politik dan demokrasi pun bisa terserang paralysis. Terjadi disfungsi infrastruktur politik. Tercipta degradasi dalam kehidupan politik dan demokrasi, berupa mati rasa terhadap nilai kebenaran dan ideal dari kegiatan berpolitik berdemokrasi.
Meminjam cara penguraian dunia medis, kelumpuhan politik dan demokrasi itu, bisa disebabkan oleh setidaknya empat picu sebab.
Menelusur empat sebab
Pertama, faktor eksternal berupa bekerjanya ‘zat-zat’ dan kepentingan ‘asing’ maupun ‘vested interest’ ekonomi –yang kerap berkolusi dengan kekuasaan– dengan daya rusak terhadap tubuh politik dan demokrasi.
Pada separuh dari dekade-dekade awal Indonesia merdeka, kekuatiran terhadap faktor eksternal lebih dikaitkan dengan faktor ideologis. Kewaspadaan ditujukan kepada perembesan ideologi-ideologi asing. Atau komunisme atau ideologi liberal kapitalistis.

Kini, fokus beralih kepada faktor-faktor kepentingan asing, yang bisa masuk melalui terjangan bisnis asing yang melebih takaran, atau kerawanan kedaulatan ekonomi nasional melalui jeratan utang luar negeri di luar proporsi. Semangat quantum leap elite kekuasaan bisa menjadi ladang kerawanan bila tak terkendali. Pengendalian di sini mencakup pula pengertiaan pengendalian peranan ‘perantara’ ekonomi yang semata memikirkan bagaimana menarik keuntungan sebesar-besarnya dari mengalirnya pinjaman luar negeri. Ada uang, ada proyek, yang berarti ada kue yang bisa dibagi-bagi. Entah dengan ikut memungut bagian dari mark-up pembiayaan, entah melalui jasa-jasa khusus lainnya.
Sebaliknya mungkin, ketakutan berlebihan terhadap pinjaman luar negeri juga bisa menutup peluang bertumbuh karena ketiadaan biaya pembangunan.
Penyebab kedua, saraf politik dan demokrasi yang terpotong atau terjepit. Biasanya akibat kelalaian dalam praktek politik dan kekuasaan, karena kegagalan bernalar, berpikir satu arah tak mengenal dialektika demokrasi. Jepitan terhadap saraf politik dan demokrasi banyak terkait dengan proses eskalasi fenomena wealth driven. Dimulai dari wealth driven economy, merambah menjadi wealth driven politic dan wealth driven government. Untuk pada akhirnya menghasilkan derivate wealth driven law. Dalam bius wealth driven, terjadi banyak kegagalan bernalar dan kemampuan berdialog diganti dengan kemahiran negosiasi bagi-bagi rezeki.
Picu ketiga, serangan virus yang menggerogoti tubuh politik dan demokrasi. Atau penyakit progresif akibat ‘kekeliruan internal’ sistem kekebalan tubuh politik dan demokrasi, menyerang selaput pelindung saraf dalam otak dan saraf tulang belakang sistem politik dan demokrasi itu sendiri. Kekeliruan internal sistem kekebalan tubuh politik dan demokrasi, bisa terjadi bila aparatur negara penjaga kekebalan tubuh bangsa kehilangan integritas sehingga tak mampu berlaku adil bagi semua warga negara. Para penjaga kekebalan tubuh bangsa ini tak lain adalah aparat penegak hukum (khususnya terutama Polri) dan aparatur sipil negara. Termasuk di sini, institusi-institusi milik rakyat lainnya seperti TNI, maupun kalangan intelektual di masyarakat dan perguruan tinggi. Dan tentunya lembaga-lembaga legislatif.
Malapetaka keempat, yang terberat, apabila terjadi cedera pada sistim saraf pusat –otak dan sumsum tulang belakang. Misalnya karena tumor yang menyerang sumsum tulang belakang –yaitu rakyat sebagai akar rumput kehidupan bernegara– dari tata demokrasi. Dan atau terjadi ‘stroke’ di otak kehidupan politik –yaitu elite partai dan kaum intelektual bangsa. ‘Stroke’ ini bisa terjadi akibat terlalu banyaknya asupan ‘lemak berbahaya’ terkait kepemilikan akumulasi uang berlebihan dalam penguasaan kelompok kepentingan eksklusif. Juga, terkait bius berat hasrat kekuasaan. Salah satu jenis tumor paling ganas saat ini adalah perilaku korupsi yang selain untuk memperkaya diri pribadi atau kelompok, digunakan untuk mengejar dan atau mempertahankan kekuasaan. Lalu, pada gilirannya, kekuasaan itu digunakan lagi untuk melanjutkan dan memperbesar kegiatan korupsi. Lingkaran setan dengan hasil akhir korupsi paripurna terhadap seluruh isi negara.
Bersama membendung
Celaka dua belas, korban terbesar dan paling menderita dari paralysis politik dan demokrasi, tak bisa tidak adalah kalangan akar rumput bangsa. Salah satu jenis paralysis adalah paralysis agitans –yang di dunia medis dikenal sebagai penyakit Parkinson. Dalam metafora politik dan demokrasi, bila paralysis agitans menyerang dan berkecamuk di tengah akar rumput, maka akan ditemukan rakyat yang gemetaran, lamban, seringkali mendadak ‘membeku’ tak mampu melakukan sesuatu saat berkegiatan dalam ekonomi. Wajah seperti topeng; semua ekspresi hilang. Membungkuk ketika berdiri, tak mampu tegak di depan keperkasaan penguasa. Tak mengayunkan lengan saat berjalan. Bicaranya menjadi lambat, kabur, bahkan akhirnya tak mampu lagi bersuara. Kritik dan kontrol sosial tak lagi berharga. Metafora kegagalan berdemokrasi.
Mari bersama membendung proses menuju paralysis politik dan demokrasi itu, sebelum pada akhirnya itu akan menggulung republik ini….. (media-karya.com) #mediakaryaanalisa