Peralihan Dengan Benturan
Merupakan fenomena menarik, peralihan kekuasaan antar presiden di Indonesia selalu bermasalah, tak pernah berlangsung dengan betul-betul mulus. Tiga proses peralihan bahkan melalui konflik berkadar tinggi, yakni antara Soekarno-Soeharto, Soeharto-BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid-Megawati Soekarnoputeri. Sedang dua lainnya, yaitu antara BJ Habibie-Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputeri-Susilo Bambang Yudhoyono, juga bukannya tanpa masalah. Peralihan antara Susilo Bambang Yudhoyono dengan Joko Widodo, sempat diwarnai kecurigaan tentang adanya manipulasi keunggulan angka perolehan suara pasangan Jokowi-Jusuf Kalla atas pasangan Prabowo-Hatta Rajasa.
Peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto, terjadi dalam satu kejadian sejarah yang luar biasa. Didahului Peristiwa 30 September 1965. Suatu benturan akhir bersegi banyak yang bersumber dari suatu konflik yang laten berkepanjangan terutama antara tahun 1959 hingga 1965. Menurut buku Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 (Rum Aly, Kata Hasta Pustaka), pada hakekatnya apa yang terjadi pada penggalan masa itu tak lain adalah pertarungan politik dan kekuasaan berjangka panjang, yang terkristalisasi di antara tiga unsur utama segitiga kekuasaan negara: Soekarno-PKI-Angkatan Darat. Semua unsur membawa prasangka yang berasal dari masa sebelumnya. Dan ini merupakan suatu kemalangan tersendiri. Semua itu menjadi lebih rumit karena friksi pun terjadi di antara kelompok-kelompok di luar segitiga kekuasaan, yang juga tak terlepas dari hasrat kekuasaan.
“Tiga unsur utama dalam segitiga kekuasaan 1959-1965, tumbuh dan besar dalam satu rangkaian akumulasi ekses, bertahun-tahun lamanya, yang untuk sebagian besar berasal dari masa lampau mereka. Akumulasi ekses itu, pada akhirnya menciptakan citra demonic dalam perilaku politik dan perilaku dalam menjalankan kekuasaan yang ada di tangan mereka masing-masing. Para pelaku dalam pertarungan kekuasaan itu nyaris sempurna dalam mempraktekkan pola perilaku yang digambarkan Niccolo Machiavelli di tahun 1513. Machiavelli telah menulis dalam buku Il Principe tentang segala apa yang seharusnya dilakukan penguasa agar dapat bertahan. Tujuan menghalalkan segala cara. Negara harus kuat, penguasa harus menjalankan politik dengan tegas ditopang kekuatan tentara dan uang. Tak ada pilihan untuk berada pada posisi netral, tak ada keputusan yang ditunda-tunda. Dan mereka yang mengendalikan kekuasaan, tak boleh mengikuti hati nurani. Biarlah orang lain yang menggunakan hati nurani, mengemukakan kebenaran, dan biarlah pula mereka sendiri yang menderita karena itu.”

PKI secara empiris telah menunjukkan kepada rakyat Indonesia, betapa ia adalah partai yang menggunakan kekerasan dalam kadar tinggi. Serangan-serangan politik dan agitasinya berhasil mencipta ketakutan mental yang meluas dan dalam. Kekejaman kemanusiaan yang dilakukan kaum komunis dalam Peristiwa Madiun 1948, takkan terlupakan. Aksi-aksi sepihak yang dijalankan PKI di berbagai daerah, yang mengalirkan darah dan merenggut nyawa manusia, tahun 1960-1965, menjadi catatan ingatan tak terlupakan bagi lapisan generasi lama, mengakumulasi kebencian dan dendam, ibarat api dalam sekam yang tinggal menunggu angin untuk berkobar menjadi api besar. Dan itu terjadi pasca 1965.
Militer Indonesia, dalam pada itu, di samping sejarah dan jasa perjuangannya yang gemilang, juga punya sisi gelap melalui sejumlah ekses yang dilakukan para tentara terutama di daerah-daerah pergolakan atas nama penegakan keamanan: Pembunuhan, perkosaan dan keterlibatan dalam berbagai kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oknum-oknum sebagai akibat syndrom kekuasaan maupun dampak psikologis kebiasaan terlibat pertumpahan darah. Ada rentang masa yang panjang di mana tentara sebagai orang-orang bersenjata, terlibat penyalahgunaan kekuasaan, atas nama penyelesaian keamanan yang tak kunjung teratasi, mencipta aneka ekses yang menjadi beban penderitaan di atas punggung rakyat. Masa-masa darurat dengan segala ‘keleluasaan’ yang disebabkannya, membuat tentara terbiasa menempatkan diri di atas hukum, sehingga mengakumulasi kebencian rakyat.
Dalam masa puncak kekuasaan 1959-1965, Soekarno adalah pemimpin yang berangsur-angsur meninggalkan rasa adil. Kekuasaan terpusat pada dirinya karena keberhasilannya memainkan kendali persaingan di antara kekuatan politik yang ada, dan memelihara rivalitas itu sebagai benefit bagi kekuasaannya. Perubahan dirinya dari pemimpin perjuangan menjadi sekedar penguasa otoriter yang menikmati kekuasaan, telah menjerumuskan rakyat Indonesia dalam kesengsaraan ekonomi dan kesengsaraan ketidakadilan politik dan hukum. Kebenaran diabaikan, dan ia menjadi kebenaran itu sendiri. Soekarno dalam enam tahun itu menjelma menjadi otoritarian sejati. Soekarno tak segan-segan memenjarakan lawan politik, tanpa diadili bertahun-tahun lamanya, meskipun masih selalu ada mitos bahwa para tahanan politik lawan Soekarno itu tetap diperlakukan dengan baik dalam tempat-tempat tahanan. Tapi perampasan kemerdekaan pribadi tetap saja perampasan hak azasi betapa pun bagusnya ia dibungkus. Esensi kejahatannya tidaklah berkurang. Lagi pula, faktanya, tak selalu para tahanan diperlakukan dengan baik. Perlakuan baik bersifat selektif dan kadang-kadang artifisial.
Kebutuhan biaya politik memicu korupsi dan kolusi
Pemerintahan Soekarno, pun adalah pemerintahan yang korup, dana dikumpulkan dan dikerahkan, atas nama kepentingan revolusi. Mungkin saja benar kalau dikatakan Soekarno tidak memperkaya diri pribadi, tetapi tak benar bila dikatakan ia tak menikmati kekuasaan untuk kepentingan subjektifnya, seperti misalnya melalui pesta-pesta tari lenso malam hari di istana sebagai satu contoh kecil. Di bawah Soekarno, bekerja sejumlah menteri yang menjalankan perilaku korupsi, perilaku pribadi yang tercela menyangkut uang dan perempuan, serta pemborosan atas nama revolusi.
Di kemudian hari perilaku-perilaku itu dianggap dicontoh oleh para pengikut rezim Soeharto –yang menggantikan Soekarno dalam kekuasaan– yang dinamai KKN (Korupsi-Kolusi-Nepotisme). Tetapi sungguh menarik, semua cerita itu lebih merupakan cerita dari mulut ke mulut, daripada misalnya fakta di meja pengadilan. Tetapi begitu kuatnya narasi-narasi KKN itu, sehingga hampir seluruhnya seakan diterima sebagai kebenaran untuk sampai kepada kesimpulan bahwa rezim Soeharto adalah rezim luar biasa korup.
Bahwa rezim itu korup –mana ada rezim tidak korup, sejauh ini– tak perlu disangkal. Namun ada sedikit ketidakadilan pandang di sini. Korupsi yang terjadi di rezim-rezim berikutnya hingga kini cenderung dianggap kecil saja bila diperbandingkan dengan korupsi masa Soeharto. Padahal, korupsi masa kini berskala triliunan. Korupsi yang terjadi cenderung dikecilkan sebagai korupsi perorangan, meski hasilnya umumnya dinikmati ramai-ramai, maka kaum oligarch politik dan pimpinan rezim dilepaskan dari tanggungjawab.
Nyaris setiap minggu ada korupsi besar-kecil terungkap oleh KPK –meski banyak yang meyakini bahwa itu semua barulah menyentuh pucuk gunung es di permukaan. Pasti korupsi pasca Soeharto terjadi massive dan sistematis, bahkan terstruktur, bila dikaitkan fakta betapa fantastisnya biaya politik belakangan ini. Pemilihan kepala daerah mulai dari kabupaten/kota, provinsi hingga pemilihan presiden-wakil presiden, berskala biaya spektakuler –akumulatif menembus skala bertrilyun-tilyun. Belum lagi biaya pemilu legislatif berbagai tingkat yang melibatkan puluhan ribu orang sebagai kontestan. Dari mana datangnya biaya raksasa itu? Sejauh ini belum terlihat adanya jalan halal yang memadai untuk bisa memperoleh dana besar-besaran untuk biaya politik tinggi itu.
“Behind every great fortune lies a great crime – Derrière chaque grande fortune se cache un grand crime,” kata Honoré de Balzac. Dalam konteks politik, di belakang angka-angka biaya yang begitu besar sangat mungkin ada kejahatan…. (media-karya.com – Berlanjut ke Bagian 4) #mediakaryaanalisa