LUPUT dari kemungkinan “kehilangan kepala” di masa pendudukan tentara “Matahari Terbit”, para tokoh PKI bawah tanah mencoba berkiprah dalam perjuangan menjelang proklamasi. Tidak dalam posisi-posisi yang vital dan signifikan, dengan Tan Malaka sebagai pengecualian. Dipa Nusantara Aidit sementara itu, meskipun memang sebagai pemuda telah aktif di lingkungan kaum pergerakan untuk kemerdekaan menjelang proklamasi tidak lah menjalankan suatu peran penting.
Namun, Aidit berhasil menciptakan kedekatan pribadi dengan Soekarno dalam kasus dokumen testamen Soekarno-Hatta. Keberadaan testamen ini disebut-sebut untuk mewariskan kendali kekuasaan negara kepada Tan Malaka, bila ada sesuatu terjadi pada diri Dwi Tunggal Soekarno-Hatta. Dokumen testamen yang asli berjudul “Amanat Kami”, ditandatangani Soekarno-Hatta, bertanggal 1 Oktober 1945, mencantumkan “pewaris” kolektif yang terdiri dari Tan Malaka, Iwa Koesoema Soemantri, Sjahrir dan Wongsonegoro. Tetapi kemudian beredar versi pewaris tunggal Tan Malaka, yang menimbulkan kontroversi.
Mohammad Hatta menyebutkan adanya keterlibatan tokoh pemuda Chaerul Saleh pada kelahiran Testamen versi pewaris tunggal itu. Aidit berhasil memperoleh dokumen “asli” dari versi pewaris tunggal dan membawanya kepada Soekarno yang langsung merobeknya. Menurut Sajoeti Melik, Aidit pun pernah mengambil dari tangannya naskah ketikan asli teks proklamasi lalu menyimpannya untuk beberapa lama. Tetapi Sajoeti Melik yang menduga Aidit punya tujuan tidak baik dengan menyimpan teks proklamasi itu, bersusah payah meminta lagi dokumen itu dan berhasil mendapatnya kembali melalui cara yang tidak mudah. Continue reading “Bendera Merah PKI di Indonesia (4)”