Tag: Yasonna Laoly

Golkar Dalam Arus Kemerosotan Politik dan Kepartaian Indonesia

TAK sampai terhempas total, penurunan perolehan suara pada 5 pemilihan umum pasca Soeharto lebih dari cukup untuk membawa Partai Golkar ke posisi tanpa peran dalam kekuasaan negara. Selama 20 tahun terakhir perolehan suara Golkar tergelincir ke bawah dari tradisi kemenangan mutlak 60-an persen ke atas di masa Soeharto, menjadi kelas di bawah 20-an persen sejak tahun 1999 dan mencapai titik terendah 12,31% pada Pemilihan Umum 2019.

Di era paradigma baru Golkar –di bawah Akbar Tandjung, Marzuki Darusman, Fahmi Idris dan kawan-kawan– partai berlambang beringin itu masih bisa berada di urutan ke-2 dengan perolehan suara 23.41.749 (22,3%) yang signifikan di tahun transisi 1999. Sementara itu PDIP menikmati bonus 35.689.073 suara (33,7%) akibat ‘kejatuhan’ Soeharto. Golkar bisa menapak kembali ke urutan 1 pada pemilihan umum 2004 dengan 24.480.757 suara (21,57%) mengatasi PDIP yang kehilangan sekitar 14 juta suara dibanding 1999 menjadi 21.026.629 (18,53%). Meski prosentase suara lebih rendah dibanding 1999, Golkar memperoleh kenaikan jumlah kursi di DPR dari 120 di tahun 1999 menjadi 128 di 2004. Sebaliknya PDIP merosot perolehan kursinya dari 153 kursi di tahun 1999 menjadi 109 di 2004.

Turun dan turun

Sempat tumbuh harapan di tubuh Golkar, bahwa dengan sumber daya manusia yang lebih berkualitas, Golkar seterusnya akan terus menapak ke atas mengatasi partai(-partai) yang yang tadinya ‘sekedar’ diuntungkan momentum berakhirnya kekuasaan Soeharto di tahun 1998. Tapi di tahun 2009 justru perolehan suara Golkar di bawah kepemimpinan Ketua Umum Muhammad Jusuf Kalla, anjlok menjadi 15.031.497 (14,45%). Kehilangan 22 kursi dibanding 2004. Melanjut dengan sedikit kenaikan menjadi 18.432.312 suara (14,75%) di tahun 2014, di masa Ketua Umum Aburizal Bakrie. Tapi perolehan kursi hanya 91 dari 560 kursi DPR, yang berarti kursi Golkar berkurang lagi 15. DPP Golkar di bawah Aburizal Bakrie dalam menyongsong Pemilihan Umum legislatif dan Pemilihan Presiden 2014, sempat bergabung dalam Koalisi Merah Putih yang mendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa sebagai Calon Presiden/Wakil Presiden. Ini dipersalahkan oleh banyak unsur dalam Golkar, karena kader Golkar Jusuf Kalla menjadi calon Wakil Presiden bersama Joko Widodo, sehingga seyogyanya Aburizal tak mendukung calon lain. Tapi pada sisi lain, pencalonan Jusuf Kalla itu sendiri tak melalui prosedur dan mekanisme partai. Continue reading “Golkar Dalam Arus Kemerosotan Politik dan Kepartaian Indonesia”

‘Follow The Triumphants’, Terdorong ke Politik Penghambaan?

DI ATAS kertas, menghadapi Pemilihan Presiden April 2019, Joko Widodo lebih gagah perkasa dibandingkan saat akan menghadapi event serupa di tahun 2014. Didukung koalisi 6 partai –PDIP, Partai Golkar, PKB, PPP, Nasdem dan Hanura– dengan akumulasi perolehan suara 62,16 prosen, Joko Widodo hanya menyisakan satu peluang calon pasangan presiden-wakil presiden lain terkait dengan ketentuan presidential threshold. Tahun 2014, koalisi partai pendukung Joko Widodo –Koalisi Indonesia Hebat– jauh lebih langsing, tanpa Partai Golkar dan PPP. Namun mungkin berkat ‘kerja-kerja-kerja’, melalui satu intervensi berbalut kain sutera, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly ‘berhasil’ mengelola perselisihan internal di dua partai, Golkar dan PPP, untuk keuntungan penguasa. Hasil ‘rebus ulang’ dua partai itu kemudian menciptakan resultante akhir lepasnya dua partai itu dari Koalisi Merah Putih dan berpindah ke Koalisi Kerjasama Partai Pendukung Pemerintah. Follow the triumphant.

Partai-partai dan kelompok politik maupun perorangan yang pragmatis, lazimnya memang akan menempatkan sikap follow the triumphant –mengikuti yang unggul– sebagai pilihan teratas. Dalam urusan pencalonan presiden, karena begitu banyaknya yang memilih sikap follow the triumphant dan pada waktu yang sama ada presidential threshold berangka tinggi, maka kecenderungannya adalah penyempitan arena kontestasi. Bisa-bisa malah, bila hasrat mengekori sang unggul terlalu berlebihan, hanya akan ada satu pasangan pemain, yaitu Joko Widodo dan Wapres pilihannya, yang bisa maju ke gelanggang. Dalam rangkaian Pilkada yang baru lalu, beberapa pasangan calon terpaksa berhadapan dengan kotak kosong. Dan ada yang kalah menghadapi kotak kosong. Continue reading “‘Follow The Triumphants’, Terdorong ke Politik Penghambaan?”

Joko Widodo dan Korupsi Kepresidenan

AKHIRNYA awal pekan ini (2/7) Presiden Joko Widodo menjawab sebuah tanda tanya besar yang mengapung di tengah publik –dan sedikit menimbulkan salah paham– selama 33 hari terkait komitmennya terhadap pemberantasan korupsi. Ketika Komisi Pemilihan Umum mengintrodusir Peraturan KPU yang melarang mantan narapidana mengikuti pemilihan umum legislatif, Presiden Joko Widodo sempat bersikap senada dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Menteri menolak mengundangkan peraturan KPU itu –begitu pula beberapa tokoh partai pendukung pemerintah– karena dianggap menabrak perundang-undangan yang sudah ada.

Menanggapi rencana KPU mengeluarkan peraturan melarang mantan narapidana korupsi mencalonkan diri dalam pemilu legislatif 2019, Presiden Joko Widodo Selasa 29 Mei 2018 mengatakan itu adalah soal hak. “Hak seseorang untuk berpolitik.” Konstitusi menjamin memberikan hak kepada seluruh warga negara untuk berpolitik, termasuk mantan narapidana korupsi. Presiden menganjurkan KPU menelaah kembali peraturannya. Pernyataan Presiden ini ditafsirkan sebagai restu terhadap penolakan Menteri Hukum dan HAM untuk mengundangkan Peraturan KPU itu. Sikap penolak juga ditunjukkan Menteri Dalam Negeri dan Badan Pengawas Pemilihan Umum serta sejumlah politisi pendukung pemerintah di DPR. Bila Kementerian Hukum dan HAM tak mau mengundangkan PKPU itu, maka peraturan itu takkan berlaku dan “batal demi hukum” kata Yasonna Laoly di Istana Kepresidenan 26 Juni lalu. Continue reading “Joko Widodo dan Korupsi Kepresidenan”